Sunday, October 13, 2013

Catatan Festival Teater Dewan Kesenian Indragiri Hulu: Menukang Teater Idragiri Hulu

-- Hang Kafrawi

BELAKANGAN ini, denyut kehidupan teater di Riau semakin kencang; bergairah. Kenyataan ini dapat diamati dari pementasan teater yang dipegelarkan. Pada tahun 2013 ini, di Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Serai, sudah 4 kelompok teater Riau memperlihatkan keberadaan mereka. Riau Beraksi dengan sutradara Willy Fwy mementaskan ‘’KOOR’’ (Kidung Orang-orang Rakus) pada tanggal 20-24 Februari 2013. Teater Matan mengusung Monda Gianes menggarap naskah berjudul ‘’Protagonis’’ pada tanggal 22-24  Maret 2013. Kunni Masrohanti menyutradarai naskah berjudul ‘’Sengketa Cinta’’ (naskah ditulis G.P. Ade Dharmawi) pada 20-21 Juni 2013. Teater Selembayung dengan sutradara Fedli Aziz mementaskan naskah Nano Riantiarno berjudul ‘’Opera Primadona’’ pada tanggal 29-31 Agustus 2013.

Kenyataan ini tentu saja menciptakan semangat para pekerja teater lainnya. Dewan Kesenian Indragiri Hulu pada tanggal 3-6 Oktober 2013, dengan mengusung tema ‘’Teraju Gawai Teater Indragiri’’ menyediakan ‘gelangang’ untuk pekerja teater di daerah itu. Sebanyak 14 kelompok teater Indragiri Hulu membentangkan kreativitas mereka di Gedung Seni Rengat. Ke 14 kelompok teater Inhu ini pun mencoba menawarkan pertunjukan teater yang berkembang di daerah mereka.

Indragiri Hulu dengan ibu Kota Kabupatennya Rengat, menjadi menarik untuk diperbincangkan dalam kreativitas seni teater. Bagaimana tidak, Rengat merupakan tempat lahirnya seniman-seniman teater modern Riau. Rengat menjadi sumbu kegemilangan teater Riau. Idrus Tintin merupakan salah satu tokoh teater Riau, lahir dan dibesarkan di Rengat dan di daerah inilah Idrus Tintin awalnya ‘menukang’ teater dan membangun kreativitas kesenimanannya. Tidak diragukan lagi, Idrus Tintin menjadi ikon teater Riau dan setiap kali memperbincangkan teater, maka nama Idrus Tintin tidak dapat tidak tetap disebut-sebut. Tidak salahlah nama Idrus Tintin diabadikan menjadi gedung seni pertunjukan di kawasan Bandar Seni Raja Ali Haji.

Selain Idrus Tintin, nama Taufik Effendi Aria tidak bisa ditinggalkan begitu saja ketika kita bicara teater Riau, terutama teater Rengat. Taufik Effendi Aria dengan ketekunan turut menukangi teater di daerah ini. ‘’Menanti Hari Panen’’ merupakan judul naskah Taufik dan telah dipentaskan di mana-mana bersama kelompok teaternya di Rengat. Nama M Simanjuntak juga ikut menghiasi kegemiangan teater di Rengat. Pada tahun 1967, M Simanjuntak telah dinobat sebagai aktor terbaik Provinsi Riau, dan sebagai guru, M Simanjuntak melahirkan pekerja teater di daerah ini. Salimi Yusuf, Mailiswin merupakan tokoh teater di Rengat yang lahir dari keinginan tokoh-tokoh teater yang ada di kawan itu.

Menyadari bahwa Indragiri Hulu, khususnya Rengat, pada masa lalunya telah banyak melahirkan tokoh-tokoh teater Riau, Dewan Kesenian Indragiri Hulu dengan keyakinan penuh menaja Festiva Teater se Kabupaten Inhu. Menarik, festival teater yang berlangsung selama 4 hari ini, membuktikan bahwa masih banyak lagi potensi seniman teater di kawasan Inhu. Inilah alasan Dewan Kesenian Inhu mengadakan Festival Teater Se Inhu membongkar potensi anak muda di bidang teater. Dan tidak tanggung-tanggung 14 sutradara muda daerah ini muncul dengan gagasan dan konsep penyutradaraan yang berbeda-beda.

Dari 14 penampilan itu, memang harus diakui perlunya pembinaan secara terus menurus, sehingga dapat menghasilkan karya-karya seni teater yang molek. Kebanyakan sutradara dalam helat yang ditaja Dewan Kesenian Indragiri Hulu ini, hendak menawarkan konsep menggabungkan tradisi dengan modern, namun meninggalkan elemen terpenting, yaitu; aktor. Aktor seakan terbiarkan begitu saja. Padahal aktor menjadi ‘nyawa’ dalam pementasan teater. Dari kehandalan aktor beraktinglah pesan-pesan menjadi ‘hidup’ dan masuk ke ‘jantung’ penonton.

Berawal dari Realisme
Tidak dapat dipungkiri bahwa teater realisme merupakan wadah seorang aktor mengasah kemampuan aktingnya. Dalam teater realisme, seorang aktor memang dituntut untuk menjadi tokoh yang diperankannya. Dengan demikian, seorang aktor harus mampu menciptakan tubuhnya menjadi media untuk penyampai pesan. Tubuh, vokal sang aktor realis harus dapat menyakini penonton. Bukan sesuatu yang mudah menyampaikan dialog orang lain (percakapan dalam naskah) kepada penonton. Diperlukan kepekaan, penjiwaan, keyakinan seorang aktor, sehingga dialog tersebut terkesan milik sang aktor, bukan milik orang lain. Aktor menjadi tokoh yang diperankannya.

Kendala terbesar peserta pada Festival Teater se Indragiri Hulu, yang dibungkus dengan tema Teraju Gawai Teater Indragiri ini, adalah aktornya belum ‘menjadi’. Kebanyakan sutradara pada helat ini, terkesan ingin melompat jauh pada tatanan gagasan dan membiarkan para aktor. Aktor terbiar tanpa ada sentuhan dasar-dasar akting oleh sang sutradara. Dengan ‘terbiarnya’ aktor menyebabkan pementasan terasa monoton, tak memiliki daya pikat. Aktor hanya menghafal dialog tanpa ‘bermain’, seperti robot, kaku. Dialog-dialog yang melompat dari mulut tanpa intonasi; tekanan dan penjiwaan terasa sangat kurang.

Seharusnya sebelum mencapai pada garapan non realis, sutradara hendaknya memahami teater realisme terlebih dahulu. Dalam realis, sutradara dituntut menciptakan aktor yang siap beraksi di atas panggung. Aktor ‘dibina’ dengan dasar-dasar akting yang kuat, dan diberi pemahaman tentang naskah yang dipentaskan. Bukankah aktor menjadi ruh dalam pementasan teater? Gagal aktor menjadi tokoh yang diperankannya, maka gagal pula pementasan tersebut.

Memang ada beberapa kelompok yang menyajikan naskah teater realis, namun permasalahannya tetap sama; aktor tidak terbentuk menjadi aktor. Penjiwaan, pengucapan terasa kosong. Dalam garapan naskah Menanti Hari Panen naskah Taufik Effendi Aria, yang dibawakan oleh kelompok teater STIE Indragiri Hulu, para aktor hanya manghafal dialog dan mengingat bloking. Tokoh ayah, tidak terlihat sebagai sosok ayah; pilihan warna vokal, gestur, karakter, bentuk pisik belum terbentuk. Sehingga tokoh ayah tetap menjadi anak muda yang memerankan tokoh tersebut. Begitu juga tokoh Ramlah, Bambang dan Ramli belum mampu diperankan oleh para aktor.

Begitu juga penggarapan naskah berjudul Opresai karya Putu Wijaya yang dibawakan oleh Sanggar Seni Danau Raja. Aktor ‘dipaksa’ berakting dengan bentuk karikatural, sehingga terlihat aneh pementasan tersebut dan ‘batang’ cerita pun menjadi tidak jelas. Padahal tugas aktor adalah membawkan cerita sehingga penonton dapat memahami apa yang mereka sampaikan. Hal ini disebabkan aktor pemula disuguhkan dengan sesuatu yang mereka belum pahami. Sebaiknya sebelum memasukkan ide-ide besar, sutradara terlebih dahulu ‘meraut’ aktor, sehingga benar-benar mengerti dengan keaktorannya.  Memang untuk menciptakan aktor yang handal bukanlah hal mudah. Selain campur tangan sutradara, seorang aktor juga dituntut berlatih, mencari dan membaca buku-buku tentang keaktoran. Dengan demikian, aktor memiliki persiapan untuk ditawarkan kepada sutradara. Aktor itu seniman di atas panggung, dia berkarya dengan akting yang disuguhkan kepada penonton.

Tradisi yang Mengakar
Perhelatan Festival Teater se Inhu yang ditaja Dewan Kesenian Indragiri Hulu ini, kesan saya, merupakan upaya memperkokoh tradisi sebagai teraju memperkuat identitas di zaman modern. Sebanyak 14 kelompok teater yang ikut jadi peserta, meletakan tradisi sebagai tempat berpijak. Hal ini membuktikan bahwa pekerja teater di Inhu menyadari bahwa untuk muncul kepermukaan, mereka harus menggali seni tradisi yang mereka punya. Inilah kekuatan teater di Inhu, menggabungkan tradisi dengan pikiran kekinian, sehingga muncullah garapan baru.

Menjunjung tradisi memang bukanlah harga mati bagi pekerja seni pada hari ini. Namun demikian, identitas suatu garapan sangat diperlukan. Tradisi menyediakan ruang untuk ditafsir ulang, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tidak terkubur bersama waktu yang sudah berlalu. Bagi pekerja seni yang kreatif, tradisi dapat dijadikan ruh karya mereka pada hari ini. Gambaran inilah yang terlihat pada perhelatan Teraju Gawai Teater Indragiri yang ditaja Dewan Kesenian Indragiri Hulu.

Namun demikian, bukan pula tiada lemahnya menjadikan tradisi sebagai tempat berpijak teater hari ini. Perlu kejelian sutradara menggabungkan tradisi dengan kaedah teater modern, sehingga pementasan teater hari ini tidak terjebak pada tempelan belaka; tradisi menjadi bahan perlengkap saja. Banyak juga kelompok yang mengikuti festival ini terjebak dalam pemilihan naskah, sehingga apa yang mereka tawarkan dengan konsep tradisi tidak masuk. Malahan tradisi menjadi pelemah garapan mereka. 

Semuanya adalah proses. Dibutuhkan ketunakan dan wawasan yang lebih, sehingga teater tetap berkembang di tanah Melayu ini. Apa yang dikerjakan Dewan Kesenian Indragiri Hulu hari ini, memang harus mendapat apresiasi lebih. Sebab, sepengahtuan saya, Teraju Gawai Teater Indragiri ini baru yang pertama dilaksanakan. Mudah-mudahan tetap bertahan, sehingga teater Riau tidak saja berpusat di Pekanbaru. Daerah memiliki andil memajukan teater di Riau. Bukankah tokoh-tokoh teater kita masa lalu muncul dari daerah? Mari untuk Teater Riau. n

Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, FIB, UnilakKetua Teater MATAN

Sumber: Riau Pos, Minggu, 13 Oktober 2013

No comments: