-- Iwan Kurniawan
LATAR belakang sejarah masih menjadi tema yang kuat untuk dituangkan dalam novel. Penggunaan metode dan pendekatan literatur memang patut diperhatikan sastrawan dalam menumÂÂpahkan ide dan tema dalam bukunya.
Di satu semester pertama di tahun ini, banyak novel yang bermunculan ke publik. Namun, hanya segelintir yang menjadi perbincangan di kalangan akademisi hingga sastrawan. Semua buku memang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Dua buku yang sudah dilempar ke publik, di antaranya Sabda Paloh Geger Majapahit karya Damar Shashangka dan Luka Batin: Yang Tersisa karya Fanny J Poyk. Buku-buku tersebut menjadi bacaan yang unik. Ada tema sejarah yang menjadi titik konsentrasi hingga ada tema psikologi sastra yang menjadi tameng sebagai gula-gula dalam novel.
Seorang sahabat penikmat sastra yang sedang berada di Jerman mengaku perkembangan buku di sana cukup meÂÂlejit. Buku-buku yang diÂÂterbitkan oleh penerbit kecil ternyata memiliki kualitas yang tak kalah dengan penerbit besar. “Intinya, bukan seÂÂberapa besar toko yang menampung. Namun, novel itu harus mampu diperbincangkan di komunitas-monunitas,†ujar Hanna dalam sebuah perÂÂbincaÂÂngan, pekan lalu.
Memang, karya Damar dan Fany tidak seperti buku lain yang diterbitkan penerbit ternama. Sabda Palon diterbitkan Penerbit Dolphin (Jakarta) dan Luka Batin diterbitkan Q Publisher (Depok). Tentu sangat menarik karena lewat proses kreatif, dua noÂÂvelis ini bisa menunjukkan sebuah karya berbeda yang dapat menjadi referensi dalam kesusastraan di Tanah Air. Kendati demikian, karya fiksi sangat minim untuk dijadikan sebagai data primer untuk menunjukkan kebenaran suatu massa. Terutama, sejarah.
Plot Luka Batin, misalnya, memang sangat sederhana. Fanny mengambil latar belakang di Bali karena di sanaÂÂlah ia menghabiskan masa kecilnya. Tokoh Made Liani dan I Nyoman Sumerta menjadi titik sentral dalam novel setebal 163 halaman itu.
Magnet
Berkaca pada sastra dunia, tak hanya novelis Indonesia yang menjadikan latar belakang kedaerahan kita untuk menjadikan setingan tempat perjalanan mereka. Sebelumnya, Christopher Kock, novelis asal Hobart, Tasmania, pernah menjelajahi sebagian besar provinsi di Indonesia unÂÂtuk dituangkan sebagai peÂÂmanis dalam novelnya The Year of Living Dangerously (Vintage, Australia, 1998).
Lewat petualangan itulah, ia mampu menangkap berÂÂbagai khazanah budaya yang ada sehingga ia bumbui dalam novel setebal 296 halaman itu. Namun, Kock lebih fokus pada kehidupan masyarakat petani, terutama yang disebut Marhaen(isme).
Novel-novel berlatar belakang sejarah memang menjadi sangat unik untuk dikaji secara ilmiah. Dalam banyak perbincangan hingga kajian para kritikus hingga pemerhati sastra menilai bahwa noÂÂvel Pramoedya Ananta Toer (alm) seperti Arok Dedes, Percikan Revolusi Subuh, TetraloÂÂgi Buru, Di Tepi Kali Bekasi hingga Jalan Raya Pos Jalan Daendels menjadi bukti kuat.
Pram, sapaan Pramoedya, terbukti sebagai seorang saksi sejarah hingga ‘sejarawan’ paÂÂda masanya. Ia andal dalam meÂÂnawarkan cara pandang kriÂÂtis di dalam menggambarÂÂkan latar belakang novel-noÂÂvelnya.
Terlepas dari latar belakang sejarah yang diracik para pendahulu, novel Sabda Palon masih minim dalam penggambaran konflik. Terutama, pada Bab ke-11 (Surutnya Sang Naga) dan Bab ke-14 (Mataram Membara). Persoalan tentang Raden Kertawijaya yang dinobatkan sebagai raja Majapahit mengganti RaÂÂni Suhiti juga masih minim data-data sejarah sehingga tak membuat novel ini terasa bergeming.
Jika dibandingkan dengan karya Pincalang karya noveÂÂlis Idris Pasaribu (Salsabila: Jakarta, 2012), nilai tradisi dan sejarah dalam Pincalang masih terasa lebih kuat. Idris mampu menghadirkan kehidupan manusia laut yang tersebar di pesisir pantai utaÂÂra Sumatra dengan terperinci dan tidak membosankan.
Sementara, Luka Batin yang mampu menunjukkan sebuah perjuangan seorang tokoh I Nyoman Sumerta dalam mengarungi rumah tangga secara apik. Ada tradisi pernikahan ala Bali hingga permainan psikologi pada tokoh-tokoh yang diciptakan Fanny. Penuh imajinasi dan permainan hati.
“Tema-tema, baik sejarah maupun psikologi sastra memang menjadi pilihan kebanyakan penulis. Namun, saya melihat psikologis sastra yang masih minim diangkat penulis Indonesia,†nilai Fanny dalam sebuah pembicaraan.
Novel bertema sejarah hingÂÂga psikologi sastra memang masih menjadi pilihan bagi para pecinta sastra, umumnya dan novel khususnya, di Indonesia. Novel-novel itu teÂÂlah lahir dan beredar di puÂÂblik. Alamlah yang akan meÂÂnyeleksi. (M-2)
miweekend@mediaindonesia.com
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Oktober 2013
LATAR belakang sejarah masih menjadi tema yang kuat untuk dituangkan dalam novel. Penggunaan metode dan pendekatan literatur memang patut diperhatikan sastrawan dalam menumÂÂpahkan ide dan tema dalam bukunya.
Di satu semester pertama di tahun ini, banyak novel yang bermunculan ke publik. Namun, hanya segelintir yang menjadi perbincangan di kalangan akademisi hingga sastrawan. Semua buku memang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Dua buku yang sudah dilempar ke publik, di antaranya Sabda Paloh Geger Majapahit karya Damar Shashangka dan Luka Batin: Yang Tersisa karya Fanny J Poyk. Buku-buku tersebut menjadi bacaan yang unik. Ada tema sejarah yang menjadi titik konsentrasi hingga ada tema psikologi sastra yang menjadi tameng sebagai gula-gula dalam novel.
Seorang sahabat penikmat sastra yang sedang berada di Jerman mengaku perkembangan buku di sana cukup meÂÂlejit. Buku-buku yang diÂÂterbitkan oleh penerbit kecil ternyata memiliki kualitas yang tak kalah dengan penerbit besar. “Intinya, bukan seÂÂberapa besar toko yang menampung. Namun, novel itu harus mampu diperbincangkan di komunitas-monunitas,†ujar Hanna dalam sebuah perÂÂbincaÂÂngan, pekan lalu.
Memang, karya Damar dan Fany tidak seperti buku lain yang diterbitkan penerbit ternama. Sabda Palon diterbitkan Penerbit Dolphin (Jakarta) dan Luka Batin diterbitkan Q Publisher (Depok). Tentu sangat menarik karena lewat proses kreatif, dua noÂÂvelis ini bisa menunjukkan sebuah karya berbeda yang dapat menjadi referensi dalam kesusastraan di Tanah Air. Kendati demikian, karya fiksi sangat minim untuk dijadikan sebagai data primer untuk menunjukkan kebenaran suatu massa. Terutama, sejarah.
Plot Luka Batin, misalnya, memang sangat sederhana. Fanny mengambil latar belakang di Bali karena di sanaÂÂlah ia menghabiskan masa kecilnya. Tokoh Made Liani dan I Nyoman Sumerta menjadi titik sentral dalam novel setebal 163 halaman itu.
Magnet
Berkaca pada sastra dunia, tak hanya novelis Indonesia yang menjadikan latar belakang kedaerahan kita untuk menjadikan setingan tempat perjalanan mereka. Sebelumnya, Christopher Kock, novelis asal Hobart, Tasmania, pernah menjelajahi sebagian besar provinsi di Indonesia unÂÂtuk dituangkan sebagai peÂÂmanis dalam novelnya The Year of Living Dangerously (Vintage, Australia, 1998).
Lewat petualangan itulah, ia mampu menangkap berÂÂbagai khazanah budaya yang ada sehingga ia bumbui dalam novel setebal 296 halaman itu. Namun, Kock lebih fokus pada kehidupan masyarakat petani, terutama yang disebut Marhaen(isme).
Novel-novel berlatar belakang sejarah memang menjadi sangat unik untuk dikaji secara ilmiah. Dalam banyak perbincangan hingga kajian para kritikus hingga pemerhati sastra menilai bahwa noÂÂvel Pramoedya Ananta Toer (alm) seperti Arok Dedes, Percikan Revolusi Subuh, TetraloÂÂgi Buru, Di Tepi Kali Bekasi hingga Jalan Raya Pos Jalan Daendels menjadi bukti kuat.
Pram, sapaan Pramoedya, terbukti sebagai seorang saksi sejarah hingga ‘sejarawan’ paÂÂda masanya. Ia andal dalam meÂÂnawarkan cara pandang kriÂÂtis di dalam menggambarÂÂkan latar belakang novel-noÂÂvelnya.
Terlepas dari latar belakang sejarah yang diracik para pendahulu, novel Sabda Palon masih minim dalam penggambaran konflik. Terutama, pada Bab ke-11 (Surutnya Sang Naga) dan Bab ke-14 (Mataram Membara). Persoalan tentang Raden Kertawijaya yang dinobatkan sebagai raja Majapahit mengganti RaÂÂni Suhiti juga masih minim data-data sejarah sehingga tak membuat novel ini terasa bergeming.
Jika dibandingkan dengan karya Pincalang karya noveÂÂlis Idris Pasaribu (Salsabila: Jakarta, 2012), nilai tradisi dan sejarah dalam Pincalang masih terasa lebih kuat. Idris mampu menghadirkan kehidupan manusia laut yang tersebar di pesisir pantai utaÂÂra Sumatra dengan terperinci dan tidak membosankan.
Sementara, Luka Batin yang mampu menunjukkan sebuah perjuangan seorang tokoh I Nyoman Sumerta dalam mengarungi rumah tangga secara apik. Ada tradisi pernikahan ala Bali hingga permainan psikologi pada tokoh-tokoh yang diciptakan Fanny. Penuh imajinasi dan permainan hati.
“Tema-tema, baik sejarah maupun psikologi sastra memang menjadi pilihan kebanyakan penulis. Namun, saya melihat psikologis sastra yang masih minim diangkat penulis Indonesia,†nilai Fanny dalam sebuah pembicaraan.
Novel bertema sejarah hingÂÂga psikologi sastra memang masih menjadi pilihan bagi para pecinta sastra, umumnya dan novel khususnya, di Indonesia. Novel-novel itu teÂÂlah lahir dan beredar di puÂÂblik. Alamlah yang akan meÂÂnyeleksi. (M-2)
miweekend@mediaindonesia.com
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment