SEBUAH lagu Bob Marley berjudul Natural Mystic mungkin sudah tak asing lagi bagi pecinta reggae. Terkandung unsur "mistis" yang membuat lirik demi lirik mampu merasuki hati setiap rastafarian.
Tentu saja ada pertimbangan khusus karena tema dapat menentukan kesuksesan atau sebaliknya penderitaan.
Terlepas dari judul itu, Agung mencoba eksis. Ia menghadirkan 28 fragmen pada pameran yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, pada 17-27 Oktober.
Tentu saja, meski mengambil judul lagu dari sang legendaris Jamaika itu, Agung mencoba untuk tidak menghadirkan nuansa reggae pada pamerannya.
Namun, pada saat pembukaan, pertengahan pekan ini, seorang penyanyi melantunkan lagu reggae dengan iringan akustik.
Menengok setiap fragmen yang terpajang malam itu cukup memberikan sebuah persepsi baru tentang Agung dan dunianya. Ada kesuÂnyian, kematian, hingga kekaguman akan alam semesta.
Pada karya Don’t Mind the Man: Behind the Curtain (10 cukilan lino, 27x36 cm, 2013) jelas terlihat Agung sangat jeli untuk menghadirkan objek di atas kertas yang berukuran selebar daun siri.
Pada salah satu cukilan lino Behind the Curtain 1 terlihat seekor anjing sedang duduk. Bayangannya memantul di tanah. Bulan selingkar penuh di atas langit semakin membuat malam hari semakin temaram.
Meski terlihat sepintas seperti anjing—atau mungkin serigala—yang tak bertuan, ada objek-objek lain seperti daun ganja dan pasir laut. Tentu saja itu sebagai sebuah penafsiran bebas setiap penikmat seni.
Di balik karya itu, ada yang menarik karena objek pemandangan itu terlihat dari sebuah jendela plus kain gorden. Agung mencoba untuk melihat lebih luas lagi tentang makna bulan, anjing, dan daun ganja.
Pada Behind the Curtain #10 terlihat dua kaki manusia yang tergeletak. Sementara itu, sebilah pisau terdampar di antara dua jasad itu. Ada semacam kejadian pembunuhÂan. Hal itulah yang membuat fragmen ini terasa berbobot. Apalagi di dalamnya terdapat poster yang menggambaran tentang orang yang memegang pisau.
Terlepas dari pemikiran-pemikiran Agung yang begitu radikal, ada hal yang ia tunjukkan dalam dunia grafis, terutama metode cukil habis (reduction-print). Itu merupakan sebuah metode berlapis yang efektif dalam ruang seni grafis untuk menghasilkan cetakan-cetakan berwarna dengan memanfaatkan hanya satu plat cetak.
Metode itu dilakukan dengan menyusutkan permukaan plat hingga akhirnya habis. Teknik ini sebenarnya bukan hal baru. Pablo Picasso (1881-1973) merintis teknik itu sehingga tampak pada karya-karya grafis akhir 1950-an.
‘Simbol-simbol dalam Natural mystic bisa dipahami sebagai mitos-mitos yang diproduksi oleh peradabÂan manusia. Hidup kita hari ini dikepung oleh mitos-mitos’, tulis kurator Aminudin TH Siregar.
Pada fragmen Natural Mystic (44x36 cm), Agung menghadirkan 28 cukilan lino. Berbagai objek sangat beragam. Mulai dari binatang, tumbuhan, hingga manusia. Cukup menarik karena dia tak sekadar menghadirkan objek.
Ada juga analisis yang dilakukan secara ilmiah. Itu telihat pada fragmen Blue Print of Pseudo-science No I-XLII. Karya tersebut terdiri dari 42 fragmen yang segera mengajak pengunjung untuk masuk ke ‘ruang-ruang laboratorium’ seorang ilmuwan.
Inilah yang membut karya Agung cukup lekat dengan kehidupan di sekitarnya.
“Ada pengalaman atas hidup yang saya alami sehingga tertuang ke dalam fragmen-fragmen,†jelas pegrafis muda alumnus program studi Seni Rupa, Studio Seni Grafis, FSRD, ITB (2010), itu.
Terlepas dari kejelian dan keterampilan menghadirkan cukilan lino, Agung masih perlu menjaga ritme dan mencari lebih jauh tentang teknik lainnya. Hal tersebut berguna agar karya seninya dapat terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 20 Oktober 2013
Tentu saja ada pertimbangan khusus karena tema dapat menentukan kesuksesan atau sebaliknya penderitaan.
Terlepas dari judul itu, Agung mencoba eksis. Ia menghadirkan 28 fragmen pada pameran yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, pada 17-27 Oktober.
Tentu saja, meski mengambil judul lagu dari sang legendaris Jamaika itu, Agung mencoba untuk tidak menghadirkan nuansa reggae pada pamerannya.
Namun, pada saat pembukaan, pertengahan pekan ini, seorang penyanyi melantunkan lagu reggae dengan iringan akustik.
Menengok setiap fragmen yang terpajang malam itu cukup memberikan sebuah persepsi baru tentang Agung dan dunianya. Ada kesuÂnyian, kematian, hingga kekaguman akan alam semesta.
Pada karya Don’t Mind the Man: Behind the Curtain (10 cukilan lino, 27x36 cm, 2013) jelas terlihat Agung sangat jeli untuk menghadirkan objek di atas kertas yang berukuran selebar daun siri.
Pada salah satu cukilan lino Behind the Curtain 1 terlihat seekor anjing sedang duduk. Bayangannya memantul di tanah. Bulan selingkar penuh di atas langit semakin membuat malam hari semakin temaram.
Meski terlihat sepintas seperti anjing—atau mungkin serigala—yang tak bertuan, ada objek-objek lain seperti daun ganja dan pasir laut. Tentu saja itu sebagai sebuah penafsiran bebas setiap penikmat seni.
Di balik karya itu, ada yang menarik karena objek pemandangan itu terlihat dari sebuah jendela plus kain gorden. Agung mencoba untuk melihat lebih luas lagi tentang makna bulan, anjing, dan daun ganja.
Pada Behind the Curtain #10 terlihat dua kaki manusia yang tergeletak. Sementara itu, sebilah pisau terdampar di antara dua jasad itu. Ada semacam kejadian pembunuhÂan. Hal itulah yang membuat fragmen ini terasa berbobot. Apalagi di dalamnya terdapat poster yang menggambaran tentang orang yang memegang pisau.
Terlepas dari pemikiran-pemikiran Agung yang begitu radikal, ada hal yang ia tunjukkan dalam dunia grafis, terutama metode cukil habis (reduction-print). Itu merupakan sebuah metode berlapis yang efektif dalam ruang seni grafis untuk menghasilkan cetakan-cetakan berwarna dengan memanfaatkan hanya satu plat cetak.
Metode itu dilakukan dengan menyusutkan permukaan plat hingga akhirnya habis. Teknik ini sebenarnya bukan hal baru. Pablo Picasso (1881-1973) merintis teknik itu sehingga tampak pada karya-karya grafis akhir 1950-an.
‘Simbol-simbol dalam Natural mystic bisa dipahami sebagai mitos-mitos yang diproduksi oleh peradabÂan manusia. Hidup kita hari ini dikepung oleh mitos-mitos’, tulis kurator Aminudin TH Siregar.
Pada fragmen Natural Mystic (44x36 cm), Agung menghadirkan 28 cukilan lino. Berbagai objek sangat beragam. Mulai dari binatang, tumbuhan, hingga manusia. Cukup menarik karena dia tak sekadar menghadirkan objek.
Ada juga analisis yang dilakukan secara ilmiah. Itu telihat pada fragmen Blue Print of Pseudo-science No I-XLII. Karya tersebut terdiri dari 42 fragmen yang segera mengajak pengunjung untuk masuk ke ‘ruang-ruang laboratorium’ seorang ilmuwan.
Inilah yang membut karya Agung cukup lekat dengan kehidupan di sekitarnya.
“Ada pengalaman atas hidup yang saya alami sehingga tertuang ke dalam fragmen-fragmen,†jelas pegrafis muda alumnus program studi Seni Rupa, Studio Seni Grafis, FSRD, ITB (2010), itu.
Terlepas dari kejelian dan keterampilan menghadirkan cukilan lino, Agung masih perlu menjaga ritme dan mencari lebih jauh tentang teknik lainnya. Hal tersebut berguna agar karya seninya dapat terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 20 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment