Sunday, October 27, 2013

[Tifa] Kebebasan Warga Desa Menafsir Karya

-- Adang Iskandar

Ini seperti sebuah suguhan yang dihidangkan chef restoran berbintang, kemudian disajikan, ditafsir, dan dipresentasikan oleh warga dari beragam profesi masyarakat perdesaan.

FESTIVAL JARF. Grup musik People Clay memainkan alat musik yang
sebagian besar terbuat dari bahan dasar genteng (tanah liat) saat
penyambutan kegiatan Jatiwangi Artists in Residency Festival (JARF), di
Desa Loji, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Sabtu (26/6).
ANTARA/Taufik Mohammed
MALAM itu, Sabtu (19/9), beberapa anak muda tengah berkumpul di sebuah rumah. Mereka, yang tergabung dalam Jatiwangi Art Factory (JAF), tengah menggodok persiapan akhir menjelang pelaksanaan kegiatan pameran yang akan diselenggarakan menyambut ulang tahun kedelapan komunitas itu.

JAF merupakan sebuah organisasi nirlaba yang fokus terhadap kajian kehidupan lokal perdesaan lewat kegiatan seni dan budaya, seperti festival, pertunjukan, seni rupa, musik, video, keramik, pameran, residensi seniman, diskusi bulanan, siaran radio, dan pendidikan.

Mereka bermarkas di Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Setelah cukup lama bersawala, mereka akhirnya memutuskan bahwa sebanyak 42 rumah warga di Desa Jatisura dilibatkan dalam pameran bertema Kediaman yang tidak ingin tinggal diam itu pada 27 September-19 Oktober 2013.

Arief Yudi Rahman, salah satu pentolan JAF, mengatakan warga yang rumahnya dipilih sudah dimintai konfirmasi dan mereka siap menerima untuk memajang salah satu dari 16 rangkaian karya para perupa yang sengaja didatangkan dari Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta.

Kecuali informasi bahwa karya mereka akan ditempatkan di rumah warga setempat, para seniman itu dibiarkan untuk menentukan sendiri karya yang akan dikirim. Proses pemajangan karya pun menjadi sangat 'mencekam' karena beberapa seniman yang dilibatkan tidak pernah diizinkan pihak JAF untuk meninjau lokasi, merancang, atau membuat karya yang sengaja disesuaikan, termasuk juga dalam proses pemajangan, kecuali saat pembukaan. Tanpa rencana, karya-karya tersebut ditawarkan kepada warga yang berminat untuk memilih dan disalurkan secara intuitif seketika karya tiba di desa.

Pameran tersebut mengundang para perupa seperti Ade Darmawan, Agus Suwage, Anggun Priambodo, Asmudjo J Irianto, Dikdik Sayahdikumullah, FX Harsono, Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, Mahardika Yudha, Radi Arwinda, Reza ‘Asung’ Afisina, Rudi Mantofani, Rudi St Darma, Titarubi, Yani Mariani Sastranegara, dan Yusra Martinus.

Setiap karya mereka nantinya dipandu dan dipresentasikan oleh warga dengan beragam profesi, seperti petani, pekerja bengkel, pensiunan militer, buruh genting, warga senior, penjaga warung, dan ibu rumah tangga, yang notabene belum pernah bertemu atau berkomunikasi satu sama lain.

Mencuri perhatian

Saat pelaksanaan hingga penutupan pada Sabtu (19/10), pameran pun berhasil mencuri perhatian banyak pihak karena karya-karya yang dipajang merupakan hasil karya dari para seniman dengan reputasi terbaik dalam pembacaan, pemetaan, dan perkembangan seni rupa di Indonesia. Bahkan beberapa seniman yang terlibat memiliki prestasi internasional. Selain itu, kemasan pameran ini menjadi sulit diduga dari kejauhan sehingga publik harus datang sendiri untuk menyaksikan.

Dida Ibrahim Abdurrahman, salah seorang pengamat seni rupa, tak kuasa untuk tidak menyaksikan pameran itu. Dida yang juga dosen di Jurusan Seni Rupa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung, menganalogikan pameran itu seperti sebuah suguhan sekelas chef pada restoran berbintang yang kemudian disajikan, ditafsir, dan dipresentasikan oleh warga setempat dengan beragam kemungkinan profesi masyarakat perdesaan, tanpa mengurangi selera para pelanggannya untuk tetap menikmati hidangan.

"Ragam ketegangan terus bermunculan saat warga terkondisikan untuk mengamati karya dan latar pemikiran perupa yang nyata berada di dalam rumahnya. Dengan kemampuan yang dimilikinya, warga sangat cekatan dalam menafsir karya yang terpajang di rumahnya dengan menelusuri dan membaca jejak visual, kemudian merelasikan diri dengan tradisi yang dimilikinya tanpa diberi petunjuk, informasi, atau arahan dari perupa maupun penyelenggara. Yang disimulasikan hanyalah bagaimana mereka akan menghadapi pengunjung," Dida menjelaskan.

Menurut Dida, mengamati kekaryaan seni rupa tentunya merupakan upaya membaca fenomena sosial dan budaya dengan paradigmanya. Melalui pengamatannya, warga--tanpa disadari--tengah membaca Bandung, membaca Jakarta, membaca Yogyakarta, membaca Indonesia, bahkan membaca dunia.

Distribusi karya

Tanpa diduga, beberapa karya perupa yang didistribusikan ke warga seolah tepat secara tema serta menjadi representasi penghuni rumah tersebut.

Seperti pada tiga karya Agus Suwage yang ditempatkan di rumah Matasih, seorang perempuan berusia 67 tahun yang saat ini hidup sebatang kara. Karya tersebut menggambarkan seekor harimau yang sedang duduk sendiri, seekor anjing yang sedang berlari, dan seekor anjing yang sedang bermain tapi tetap terkesan bermain sendiri.

Selain itu, ada pula karya Asmudjo J Irianto, yang ditempatkan di rumah warga yang berprofesi sebagai tukang las. Secara medium, karya itu seperti menjadi bagian dari artistik bengkel lasnya, yang dimeriahkan dengan iringan musik dangdut pesisir. Karya Radi Arwinda serta Ade Darmawan yang menampilkan angka-angka yang ditempatkan di rumah warga yang berprofesi sebagai buruh genting dan tani, yang dimaknai sebagai gambaran mistik pesugihan dan perhitungan primbon untuk menghitung waktu panen ataupun menanam.

Ginggi Syarif Hasyim, Kepala Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, menambahkan, sebagai wilayah yang tradisi penghidupan warganya sedang bergeser, Jatiwangi sebagai salah satu produsen genting dengan reputasi terbaik semakin khawatir akan eksistensinya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari pemangku kepentingan, Ginggi sangat mendukung JAF, yang menjadikan seni sebagai pilihan untuk mengangkat kembali reputasi Jatiwangi dan menempatkan warganya sebagai masyarakat yang siap menghadapi pergeseran.

Di sisi lain, Dida melihat bahwa secara tidak langsung, melalui pameran ini, Jatiwangi menjadi arena pertemuan sekaligus pertarungan yang nyata, sekaligus menempatkan dirinya sebagai bagian dari pemetaan wilayah, perkembangan, dan pembacaan kecenderungan praktik kekaryaan seni rupa secara umum.

Menurut Dida, itu karena biasanya publik selalu merasa terintimidasi oleh mitos 'kesaktian' dan 'kehigienisan' karya seni. Eksistensi karya diarahkan menjadi perangkat ‘formal’ disposisi semu yang akan menggeser watak, cara pandang, dan karakteristik sosiologi kemasyarakatan secara nyata. Perdebatan klasik tentang seniman sebagai agen perubahan sedang terjadi di sini. (M-2)

adang@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Oktober 2013

No comments: