MASIH ingat dongeng Sangkuriang? Dongeng ini bercerita tentang alam, hubungan antarmanusia, dan interaksi manusia dengan hewan. Banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik dari kisah tersebut.
Legenda yang awalnya hanya diwariskan secara lisan itu makin dikenal dunia sejak dibukukan dalam sebuah karya sastra. Berbekal ide cerita legenda tersebut, lahirlah film berjudul serupa yang dibintangi Suzanna, artis kenamaan yang belum lama berpulang.
Kendati kisahnya sudah turun-temurun diceritakan, belakangan makin sukar mencari buku cerita Sangkuriang dan buku sastra daerah sejenis itu.
Pertanda apa ini? Dendy Sugono, kepala Pusat Bahasa, melihat fenomena itu sebagai bentuk pergeseran budaya. Sastra daerah memang sedang terpinggirkan. ''Kini eranya audio-visual. Budaya membaca sudah tergerus oleh budaya nonton,'' katanya pada temu pers Kongres IX Bahasa Indonesia, di Jakarta, Rabu (22/10) lalu.
Selain itu, makin terbatasnya peluang untuk mendongeng juga turut andil dalam melemahkan posisi sastra daerah. Orang tua masa kini tidak lagi membudayakan dongeng di keseharian anaknya. ''Padahal, lewat dongeng yang diambil dari karya sastra daerah, mereka bisa secara efektif menanamkan budi pekerti dan memperluas cakrawala berpikir anak,'' kata Dendy.
Dongeng dari sastra daerah berpotensi membentuk karakter anak. Seperti yang dialami Dendy pada masa kecilnya. ''Nilai-nilai yang terkandung dalam dongeng yang dibacakan ibu semasa kecil tertanam di pikiran saya hingga kini,'' katanya.
Tak menyeluruh
Meski begitu, Dendy melihat kecenderungan itu tidak terjadi menyeluruh di pelosok negeri. Di daerah yang masih memiliki banyak penutur bahasa daerah, sastra daerah masih hidup. ''Seperti di Madura, Gayo, dan Bali,'' papar Dendy.
Di Bali, Dendy mencontohkan, sastra daerah bisa hidup dan berkembang. Itu karena peran warga setempat. ''Lembaga adat di Balilah yang bekerja melestarikan dan mengembangkan budaya Pulau Dewata itu.''
Keberadaan sastra daerah, lanjut Dendy, erat kaitannya dengan keberadaan penuturnya. Akan menjadi sulit bagi sastrawan untuk hidup berkarya di daerah yang tidak lagi lekat dengan budaya aslinya. Jika peminatnya sedikit, produksi sastra daerah juga seret.
Persoalannya, jumlah bahasa daerah yang masih banyak penuturnya bisa dihitung dengan jari. Artinya, bahasa daerah yang terancam punah jauh lebih banyak ketimbang yang memungkinkan untuk dilestarikan. ''Seperti bahasa daerah di suatu kawasan di Sulawesi dan Maluku Utara yang terpantau sudah punah,'' ungkap Dendy.
Perubahan perilaku dan berbahasa juga turut mempengaruhi nasib sastra daerah. Di keseharian, bahasa daerah perlahan digeser oleh bahasa pergaulan. Akibatnya, bahasa remaja yang dipakai di sinetron lebih akrab di telinga ketimbang bahasa daerah.
Selain itu, bahasa daerah juga bersaing dengan bahasa Indonesia nan formal dan bahasa asing. Padahal, jika ditelisik, akar bahasa Indonesia ada pada bahasa-bahasa daerah. ''Kita akan kehilangan sumber pengayaan bahasa Indonesia andaikan bahasa daerah terus luntur dan pudar,'' kata Dendy.
Pusat Bahasa mencatat setidaknya ada 746 bahasa daerah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya 420 yang terpetakan dengan jelas. ''Baik jumlah penuturnya, ragam dialeknya, dan sejauh apa penggunaannya di keseharian masyarakat,'' jelas Dendy.
Kepemilikan atas ratusan ragam bahasa daerah sekaligus memosisikan Indonesia sebagai bangsa terkaya dari segi budaya bahasa. Dua belas persen bahasa di dunia ada di Indonesia. ''Semestinya dalam kehidupan, kita bertumpu pada budaya sendiri. Jika tidak, kita akan membuatnya punah atau bahkan diambil oleh orang lain,'' kata Dendy.
Apresiasi sastra daerah sejatinya akan berdampak positif bagi peningkatan rasa nasionalisme anak bangsa. Karena itu, Dendy menganggap sastra daerah harus disosialisasikan keberadaannya. ''Sastra daerah pun harus terus dikembangkan.''
Dengan cara apa sastra daerah dikembangkan? Dendy melihat sastra daerah menggarap ide cerita yang sama dengan cerita moderen. Entah hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, manusia dengan alam, atau manusia dengan Tuhan. ''Kita bisa menggali kearifan lokal dan mengangkatnya ke ranah sastra.''
Muncul dengan muatan sarat nilai, karya sastra daerah dapat beradaptasi dengan pola sastra moderen. Dalam hal ini, membiarkan akhir cerita menjadi terbuka untuk diinterpretasi. ''Biarkan saja pembaca yang menentukan akhir ceritanya. Dengan begitu, pembaca akan terlibat berimajinasi. Satu pembaca dengan lainnya bisa beragam penyelesaian ceritanya.''
Dendy mengakui sastra daerah terbatas diminati oleh mereka yang berusia 50 tahun lebih. Satu generasi akan kehilangan akar budayanya jika tak ada upaya pemeliharaan. ''Di Jawa, ada peluang cerita-cerita rakyat dimuat di koran atau majalah. Lantas, karya sastra tersebut diadaptasi ke bahasa Indonesia. Kesempatan seperti itulah yang membuat sastra daerah setempat terpelihara dan produksi karya baru bergulir.''
Apa yang terjadi jika sastra daerah hilang dari kehidupan masyarakat? Dendy memprediksi Indonesia bakal kehilangan multikulturalisme sebagai dampaknya. ''Salah satu multikultural kita yang dikagumi dunia ialah karya sastra daerahnya, berupa cerita, dongeng, naskah masa lalu, peribahasa, atau kiasan.''
Lantas, bagaimana cara melestarikan sekaligus mengembangkan sastra daerah? Sejauh ini, pemerintah mencoba melakukannya lewat pengajaran bahasa dan sastra daerah di kelas. ''Di lain pihak, orang tua juga harus berani untuk mengubah budaya nonton menjadi budaya membaca. Sediakan bacaan yang menarik bagi anak,'' saran Dendy. (reiny dwinanda)
Sumber: Republika, Minggu, 26 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment