-- Paracelsus Ardian Agil Waskito*
SIAPA yang tidak tahu apa pun, tidak mencintai apa pun. Siapa yang tidak melakukan apa pun, tidak memahami apa pun. Barangsiapa tidak memahami apa pun, tidak memiliki arti.
Sebagai makhluk, manusia membutuhkan berbagai macam relasi. Entah antara dirinya dengan manusia lain, dengan lingkungan, dunia luas, maupun dengan Tuhan yang menciptakannya. Namun, pada mulanya, manusia hadir di bumi dalam kesendirian.
Ia pun sesuatu yang unik, keadaan yang sebenarnya membuat ia terpencil. Untuk itulah ia secara alamiah senantiasa berusaha menciptakan hubungan.
Salah satu motif, juga makna —mungkin yang terpenting, dalam berbagai hubungan itu adalah apa yang kita kenal dengan: cinta. Semacam kandungan perasaan yang timbul dari kegelisahan akan keterpisahan atau keterpencilan.
Bagi manusia dewasa, cinta merupakan perwujudan penyatuan yang esensial, yang memberi kemungkinan manusia menemukan orang lain dalam dirinya, walaupun individualitasnya tetap terjaga. Penyatuan tanpa peleburan, di mana sesungguhnya bukan situasi saling memiliki yang terjadi, tetapi keberadaan yang sejajar di antara keduanya.
Konsep ”saling memiliki” mengindikasi hilangnya subyektivitas manusia, lantaran pemosisiannya sebagai benda, obyek yang pasif. Sementara itu, cinta tidak harus melucuti posisi manusia sebagai subyek, dengan kapasitas yang sama baik dalam memberi maupun menerima.
Seperti dinyatakan Martin Buber, manusia mempunyai dua relasi fundamental, yaitu relasi dengan benda (Ich-Es) serta relasi dengan sesama manusia dan Tuhan (Ich-Du). Maka ketika manusia berusaha memiliki sesamanya, di sana tidak ada hubungan Aku-Engkau, karena yang ada adalah hubungan Aku-Itu. Di mana dunia yang dicitrakan, adalah dunia benda-benda, sesuatu yang dibendakan lewat semacam bentuk relasi yang dominatif.
Dalam konteks ini, Buber membawa istilah hubungan (erfahrung) yang dikhususkan bagi relasi antarmanusia dengan manusia, dengan dialog sebagai moda komunikasi utamanya. Sedang hubungan antara ”aku” (manusia) dengan benda senantiasa menjadikan subyek itu merasa sepi, karena lenyapnya kesetaraan. Karena pada dasarnya keberadaan ”Aku” ditentukan oleh adanya ”engkau” dalam ”Aku”.
Cinta destruktif
Kesendirian manusia tetap akan terjadi apabila tidak ada pengakuan dalam relasi di atas. Mungkin berbeda dengan pendekatan Marxis, alienasi semacam ini terjadi bukan karena manusia kehilangan dirinya, tetapi lebih pada hilangnya ”engkau”.
Begitu pun dalam relasi yang terbentuk karena cinta, kehampaan dan kesendirian terjadi bukan karena lenyapnya obyek cinta. Semacam obyektivasi yang terjadi saat kita menyatakan telah ”jatuh cinta”. Sejatinya cinta tidak pernah jatuh, sebab cinta yang jatuh memiliki bawaan yang dominatif, dan karenanya memiliki kecenderungan yang destruktif.
Cinta adalah standing in (bertahan di dalam). Dan karena cinta adalah tindakan, maka pertama-tama cinta adalah memberi, dalam artian yang produktif. Maka cinta yang hampa adalah cinta yang hanya memberi tanpa menerima.
Sementara itu, cinta yang bermakna memiliki, maka yang terjadi adalah semacam obyektivasi pasif. Cinta pun tak berbalas, dan penderitaan eksistensial pun terjadi. Seperti dikatakan Marcell, manusia yang memiliki pada dasarnya dimiliki, dan di sanalah penderitaan itu berada. Dan manusia yang memiliki cinta seperti itu hanya akan menjadi obyek dari penderitaannya.
Sedangkan apabila cinta dimaknai secara benar, maka yang akan terwujud justru integritas. Ia akan tetap menjadi dirinya sendiri, bukan satu pribadi yang sepi. Walaupun derita masih ada, ia menjadi subyek yang aktif, sadar dan berproses. Sesuatu yang terus ”menjadi”, kata Erich Fromm.
Dari hampa ke Tuhan
Bila kehampaan cinta antarmanusia tetap terjadi, seseorang mengalami apa yang disebut dengan ”kembali pada asal”. Awal dari kesunyian manusia di dunia. Sehingga seseorang pun mulai terdesak untuk mencari relasi atau hubungan-hubungan yang baru. Mencari engku-engkau yang baru, yang dianggapnya memiliki kemampuan (saling) memberi (dengannya). Pada titik ini, cinta dapat menjadi sebuah aksi pencarian yang bersinambungan.
Inilah inti dari pencarian keber”ada”an manusia dalam dunia. Mencari integritas diri yang sesungguhnya. Karenanya, betapapun hampa cinta itu, ia tetap membuat manusia bersikap produktif. Produktif dalam mencari dan memproduksi cinta yang mampu mengatasi kesendiriannya sebagai manusia. Di sini, muncullah Kierkegaard, yang menawarkan satu relasi lain yang khas: relasi manusia dengan Tuhannya.
Bagi Kierkegaard, hubungan manusia dengan Tuhanlah yang sejati dibutuhkan, bahkan tak terelakkan. Karena dalam hubungan ini, manusia senantiasa menemukan dirinya sebagai subyek. Subyek yang aktif. Aktif dalam menyempurnakan hubungan, menyempurnakan cinta, menyempurnakan dirinya.
Mungkin inilah makna terdalam dari hubungan cinta pada satu hal yang ”Maha Sempurna”: memberi peluang terbaik bagi manusia mewujudkan semua kesempurnaan.
Akan tetapi, menariknya, sebagai makhluk unik, manusia juga adalah makhluk yang kompleks. Makhluk dengan dimensi sosial, biologis, dan spiritual sekaligus. Yang dengan ketiga dimensi itu ia mencari cintanya sendiri-sendiri. Sebuah pencarian kompleks yang—tak terhindar—membuat manusia selalu berada dalam gejolak. Gejolak yang juga—tak lain—representasi dari kegelisahan purbanya itu.
Keadaan itu pulalah yang membuat hidup—dan manusia itu sendiri—senantiasa menjadi fenomena yang menarik. Pencarian cinta, yang kadang bergerak di antara satu kehampaan ke kehampaan lainnya, membuat manusia seharusnya kian matang, kian dewasa. Kian mampu, bukan hanya memaknai, tetapi juga mengatasi kehampaannya itu.
Dan beruntunglah yang berproses ”menjadi” seperti itu. Pemahaman yang graduatif-promotif tentang cinta pasti akan berdampak pada fungsinya sebagai manusia, sebagai makhluk sosial, sebagai warga dari sebuah semesta. Pada puncak dari pencarian, peran dan fungsinya itulah, kebahagiaan manusia terletak, terwujud juga secara graduatif-promotif.
Betapa bersyukurnya, ia—manusia, yang berhasil mencapai tingkat-tingkat kebahagiaan itu. Dengan selalu, memaknai—justru—kehampaan dan penderitaan cinta, sebagai modal utama dari eksistensi mereka. Eksistensi yang dengan setia selalu mendekati eksistensi lain yang ”sempurna”. Karena di situlah sebenarnya menetap, cinta yang juga sempurna.
* Ardian Agil Waskito, Peminat cinta, mahasiswa akhir Fakultas Psikologi Undip, Semarang
Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment