Saturday, October 18, 2008

Suluk Haji Hasan Mustapa

-- Asep Salahudin

SULUK artinya jalan spiritual. Pelakunya dikatakan salik (pengembara spiritual) yang selalu mencari kebenaran. Seorang salik adalah seorang manusia soliter yang dengan khidmat melakukan komunikasi ketuhanan (transendensi) sekaligus juga manusia solider yang giat melakukan gerakan kemanusiaan (humanisasi).

Di tanah Pasundan, Haji Hasan Mustapa diakui sebagai seorang salik bahkan ia disebut-sebut sebagai The Great Sundanese Mystic (Seorang Sufi Besar Sunda). Ajip Rosidi mendeskripsikannya sebagai mistikus dan filsuf Islam yang hanya dapat dihitung dan berkembang di lingkungan yang mengenal jiwa dan kebudayaan Sunda.

Kebesarannya mencuat karena dia tidak hanya berhenti menjadi pengamal tradisi suluk (tarekat) namun juga sekaligus sebagai seorang pemikir yang dengan produktif menulis ajaran suluknya. Karyanya sangat melimpah mencapai 54 buah buku dan 10.000 guguritan dengan tema yang cukup beragam.

"Guguritan & danding"

Sebagian besar refleksi suluknya ia formulasikan dalam gaya ungkap guguritan dan danding yang kaya akan metafora dan tanda. Layaknya langgam bahasa metaforis selalu diapresiasi dengan menyisakan dua kemungkinan: pertama, keragaman makna yang menimbulkan kekayaan horizon; kedua, pendangkalan arti karena kesalahan pemahaman. Dalam telaah Roland Barthes, metafora dan tanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens).

Kepadatan perenungannya merupakan cermin pribadinya sebagai manusia pembelajar yang tidak pernah henti mencari pengetahuan. Kehausan ilmiahnya ini dibuktikan dengan perjalanan (rihlah) untuk berguru ke berbagai ulama baik yang ada di nusantara seperti Kiai Haji Hasan Basri (Kiara Koneng, Garut), Kiai Haji Yahya (Garut), Kiai Abdul Hasan (Tanjungsari, Sumedang), Kiai Muhamad (Cibunut Garut), Muhamad Ijra`i (murid Kiai Abdulkadir, Dasarema, Surabaya) dan Kiai Khalil (Bangkalan, Madura) atau ke ulama yang ada di luar negeri seperti ke Syeh Muhammad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Syeh Mustomal Afifi, Sayid Bakir, dan Sayid Abdul Janawi di Mekah. Termasuk wisata kulturalnya ke berbagai pelosok Jawa dan Madura bersama karibnya Snouck Hurgronye tahun 1889.

Pencari kebenaran

Kedalaman refleksinya adalah simpul dari kepribadiannya yang tidak pernah reureuh (berhenti) mencari k(K)ebenaran seperti dengan memukau diutarakan dalam sebuah guguritan-nya: Jung nutur-nutur suhud//Kalangkang ti sanubari//Mapay talapakan sanubari//Di mana nya mukti sari//Di mana Alloh kaula//Bisi pahili papanggih//Kadungsang-dungsang kasandung//Manggih lain manggih lain//Rek nanya nanya ka saha//Keur pada ngalain-lain//Teu kaur asa paisa//Asa enya asa lain//Di buru da lain kitu//Di lain-lain da bukti//Di jaga-jaga ka saha//Di sidik-sidik aringgis//Wantu mapay nu neangan//Kapanggih aringgis lain. Namanya juga pada konsep Martabat Tujuhnya dalam naskah Gelaran Sasaka di Kaislaman.

Yang cukup menarik, walaupun dia khatam belajar di Mekah bahkan pernah menjadi guru di Masjidil Haram, ia tidak pernah tertarik untuk mengikuti paradigma paham keagamaannya Saudi Arabia yang skripturalis, tapi justru ia suntuk melakukan "korespondensi intelektual" dengan para sufi abad pertengahan yakni Syaikh Muhyi al-Din ibn `Arabi melalui kitab al-Futuhat al-Makiyya dan `Abd al-Karim al-Jilli melalui kitab al-Insan al-Kamil fi Ma`rifat al-Awakhir wa al-Awa`il , al-Ghazali melalui kitab Ihya `Ulum al-Din.



Metafora "caruluk"

Dahsyatnya lagi, di tangan Haji Hasan Mustapa, suluk yang dikembangkannya disenyawakan dengan ruh kesundaan. Sunda dan esoterisme Islam menjadi menyatu tak ubahnya gula dan peueut-nya (manisnya). Hal ini tidak terlepas dari paradigma berpikirnya yang dengan tegas meneguhkan ihwal hubungan dialektis antara Islam dan budaya lokal kesundaan. Hubungan yang harus saling memperkaya bukan saling menegasikan. Bahasa diperlakukan Hasan Mustapa sebagai media untuk mencari kemungkinan makna-makna baru yang tak terduga, dinamis, dan terbuka . Dalam gaya ungkapnya, "Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab. Jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab.. Nya basa wayang kalangkang tapi dalangna pribadi… Kumaha alam pribadi nyusul-nyusul alam batur tangtu beda babasan perbawa ati birahi beda alam moal sarua rasana"

Dengan ungkapan yang lebih mudah, Islam tidak mesti membid`ahkan tradisi lokal, tapi harus mengakomodasi tradisi itu menjadi bagian integral dari agama itu sendiri agar seorang yang beragama tidak kehilangan akar kulturalnya. Sebagaimana dahulu Tuhan "meminjam" bahasa Arab dengan segala kekayaan kulturalnya untuk mewadahi gagasannya (Alquran). Beragama tidak musti harus menjadi Arab dengan segala atribut budaya yang mengitarinya. Bahkan menjadi Sunda sejati justru adalah cermin melakukan ziarah terhadap jantung keberagamaan itu sendiri.

Maka menjadi dapat dipahami metafora yang digunakan Hasan Mustapa adalah idiom yang hidup tumbuh dalam alam pikiran masyarakat Sunda seperti rebung dengan bambu, seperti pohon aren dengan caruluk (bahan aren) untuk menggambarkan awor-nya (melekat) hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Atau cerita-cerita lain yang berkembang di masyarakat Sunda seperti Mundinglaya di Kusumah, Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang Sumbi, untuk "mengganti" cerita tokoh-tokoh Islam, dan sebagainya.

Dengan suluknya yang penuh metafora yang kemudian dijadikannya sebagai bagian dari sejarah pengalaman kesehariannya, maka agama (Islam) dan budaya (Sunda) di tangan Hasan Mustapa benar-benar mampu tampil melampaui tapal batas formalisme dan menusuk ke jantung (mataholang) religiusitas dan tradisi.

Menghidupkan kembali suluk ala Hasan Mustapa menjadi amat penting untuk kita perhatikan di tengah situasi kebangsaan dan aras kesundaan yang akhir-akhir ini malah didominasi oleh pemikiran dan gerakan Islam yang lebih mengedepankan aspek formalitas-simbolik ketimbang substansi, lebih menonjolkan arabisme daripada jiwa kesundaannya. Padahal justru, sebagaimana ditulis Ali Harb (1996), semarak ritual keagamaan yang simbolistik hanya akan menyusutkan subtansi moralitas dan spirit keagamaan. Sebaliknya, keberagamaan yang substantif akan memperteguh nilai-nilai ideal agama itu sendiri serta menginspirasikan perubahan sosial dan budaya ke arah ruang hidup yang berharkat.***

* Asep Salahudin, pengajar di IAILM Pesantren Suryalaya Tasik dan UIN Bandung, peserta S-3 Ilmu Komunikasi Unpad.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 18 Oktober 2008

No comments: