VOKALIS band Letto, Sabrang Mowo Damar Panuluh atau Noe (29), rupanya banyak belajar dari kehidupan warga desa. Maklum, ia memang besar di desa. Sejak TK hingga lulus SMP, ia tinggal bersama sang ibu di Yosomulyo, Kecamatan Metro, Lampung Tengah. Namun, katanya, pasca-otonomi daerah, desanya masuk wilayah Lampung Timur.
Selama sekitar 10 tahun tinggal di desa, Noe terbiasa dengan kehidupan antar-warga yang rukun dan guyub. Setelah melanglang buana dan mengunjungi banyak tempat, ia baru menyadari kerukunan dan keguyuban itu bukan hal biasa.
Di desa, perbedaan agama, suku, hingga status sosial tak pernah menjadi masalah. Masyarakat yang tingkat pendidikannya relatif rendah bisa hidup berbaur tanpa membedakan asal usul seseorang. Maka, bagi Noe, praktik pluralisme itu justru ada di desa.
”Tingkat pendidikan ternyata tak berhubungan dengan semangat pluralisme,” kata Noe di Yogyakarta, pekan lalu.
Berbekal pengalaman itu, pertengahan Oktober ini ia bertolak ke Belanda menyusul kelompok musik Kyai Kanjeng. Selama seminggu di negeri itu, ia akan membagi pengetahuannya tentang wajah pluralisme Indonesia.
Sebagai musisi, ia pun berangan-angan suatu saat bisa menuangkan semangat pluralisme itu dalam lagu. Ditunggu ya Noe.... (ARA)
Sumber: Kompas, Senin, 13 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment