-- Warih Wisatsana*
SUDAH pasti, ditimbang dari sudut bobot, buku tentang Affandi kali ini tak tergolong ringan. Bayangkan saja, berat ketiga jilid dari seri bertajuk singkat Affandi ini adalah tak kurang dari 9 kilogram.
WWW.AFFANDIBOOK.COM/ Kompas Images
Namun, syukurlah, buku ini tak hanya berat secara fisik, isinya pun terbilang fenomenal. Tak hanya memuat ratusan gambar orisinal dari karya Affandi, melainkan juga menghadirkan sejumlah telaah dari pakar seni, baik dalam maupun luar negeri, di bawah koordinasi Eddy Soetriyono, pengamat dan kurator seni rupa yang tak kenal payah ini. Mereka adalah Astri Wright, Bambang Bujono, Helena Spanjaard, Jean Couteau, Jim Supangkat, serta tak ketinggalan Eddy Soetriyono sendiri.
Menerbitkan buku semacam ini bukanlah perkara mudah. Terlebih menyangkut sosok seperti Affandi, seorang seniman yang hidup melampaui aneka zaman, sebelum dan sesudah merdeka, dengan berbagai peristiwa kesenian serta kemelut politik yang menyertainya.
Sebagai salah seorang eksponen sebuah organisasi seni rupa pertama Indonesia, yaitu Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), kiprah anak kelahiran Cirebon tahun 1907 ini terbukti kesenimanannya tak melulu tentang upaya menggali kesejatian diri di dalam kanvas, melainkan juga terkait dengan pertumbuhan sejarah seni rupa Indonesia dan bahkan bagaimana keindonesiaan dirumuskan serta disikapi.
Memang, sedini awal, Affandi telah punya perhatian pada problematik pribadi yang tecermin dari karya-karya potret diri atau sosok-sosok di lingkungan terdekatnya, tetapi perannya pun terbukti tak terbatasi hingga di seputar tema itu saja. Berbagai periode karyanya dan juga keluasan pergaulannya menunjukkan dengan jelas pergulatannya, baik sebagai seniman maupun sebagai figur sosial. Ketokohannya, nyatalah, melampaui bidang seni.
Ini tentu bukan buku pertama tentang Affandi. Ada sekian banyak terbitan sebelumnya yang mencoba pula berbicara tentang pribadi yang eksentrik ini. Sebagai pemrakarsa buku setebal 817 halaman, Sarjana Sumichan menyadari bahwa figur semenarik Affandi tak cukup hanya diamati dari satu sisi saja.
Oleh sebab itulah dia bekerja sama dengan sejumlah ahli sebagaimana disebutkan di atas. Langkah ini mengesankan bahwa ”proyek” buku ini lebih mengedepankan capaian kualitas secara keseluruhan daripada kalkulasi dana atau keuntungan finansial semata, dan pertimbangan ini tentunya menjadi salah satu daya tarik tersendiri.
Apa yang dapat kita petik dari buku yang tak sekadar biografi ini? Pertama-tama, para penulis, meskipun diberikan tema umum tertentu, nyatanya dibebaskan untuk mendasari telaahnya dengan pola kajian masing-masing, yang sebenarnya terjalin dalam suatu benang merah, yakni kisah kehidupan Affandi sebagai manusia dengan segala hal-hal paradoks yang lekat padanya.
Dari sudut riwayat hidup dan kariernya, cukup banyak hal baru yang dapat kita simak. Misalnya Astri Wright, dalam paparannya tentang kiprah Affandi di Amerika, menegaskan bahwa pelukis yang mengakhiri masa tuanya di rumahnya di tepi Kali Code, Yogyakarta, ini telah mendapat perhatian dari publik seni rupa Amerika, yang kala itu tak lazim diberikan kepada seniman non-Eropa.
Kehadirannya menggemparkan masyarakat seni di negeri itu. Tak kurang dari majalah Time yang secara khusus membicarakannya, dan penulis terkemuka, Berger, mencatat bahwa ”Affandi menawarkan jalan keluar dari kebuntuan yang kini dialami (seni rupa) di Paris, New York, dan London.” Sebagai bukti bahwa Affandi bukan sekadar pelawat seni biasa, karya-karyanya diminati oleh kolektor-kolektor terkemuka, seperti keluarga Borkin.
Mengenai kehadiran Affandi di Eropa, tepatnya di London, Paris, Belgia, dan Italia (Venesia), dikisahkan oleh Helena Spanjaard sebagaimana versi yang telah umumnya tersiar selama ini, dan digenapi oleh Astri Wright seputar sambutan yang didapatkan Affandi di Venesia.
Pendekatan kronologis juga diacu oleh Bambang Bujono yang mencermati sosok Affandi dalam kaitannya dengan Asia. Tetapi, alih-alih membicarakan tanggapan masyarakat-masyarakat setempat yang dikunjunginya, Bambang cenderung lebih memilih mengkaji muhibah seni Affandi tersebut melalui serangkaian analisis tentang perubahan stilistik dalam karya. Sudut psikologis sang seniman, yang seabad kelahirannya belum lama ini dirayakan besar-besaran, pun tak luput jadi bahasan.
Jim Supangkat, selain mempertanyakan kategori-kategori teori rupa, mengulas lebih jauh seri potret Affandi, yang boleh dikata adalah pelopor dalam tema lukisan seperti itu. Menurut Supangkat, pada lukisan potret diri Affandi, yang secara rutin dibuatnya dari tahun 1940-an hingga 1988, tercermin seluruh perkembangan seni lukisnya. Perihal tubuh, sungguh salah satu obsesi utama Affandi. Tulisan ini sebenarnya lebih merupakan pendalaman dari ulasan Jim Supangkat sebelumnya tentang tema yang sama, yaitu self-potrait Affandi.
Satu pendekatan menarik ditawarkan oleh Eddy Soetriyono. Ia justru menimbang sosok Affandi melalui puisi Chairil Anwar, dan menandaskan bahwa seniman besar ini di dalam hidupnya yang bohemian, kuasa mempertautkan sikap individualnya dengan nilai-nilai manusia yang universal. Penyair Chairil dan pelukis Affandi, menurut Eddy, bukan hanya hidup dalam dinamika zaman yang sama, tetapi dipertemukan pula oleh kedekatan luapan erotisme masing-masing yang pada dasarnya melampaui tabu-tabu (hipokritisme) serta kungkungan kecemasan atas apa yang disebut dosa. Kedua seniman pelopor ini terinspirasi sosok perempuan, baik sebagai luapan ekspresi kemaskulinan maupun sebagai figur simbolis cerminan keluhuran.
Adapun Jean Couteau menggabungkan pendekatan geografis-historis, psikologis, dan sosiologis. Pengamat budaya yang telah lama mukim di Indonesia ini mengedepankan bahwa Bali terbukti merupakan sarana Affandi untuk mengatasi masalah-masalah psikisnya terkait keburukan fisiknya serta traumanya sebagai ”inlander” sebagaimana dialaminya semasa muda Affandi di Bandung.
Jadi Bali, bagi Affandi, masih menurut Jean Couteau, bukan sebagai tempat nan eksotis yang mempertegas ”perbedaan”, melainkan sebagai ruang katarsis tempat sang seniman menemukan ”kesamaan” antarsesama warga Indonesia dan bahkan sesama warga manusia. Dari pergulatan yang panjang itu, khususnya melalui pertemuannya dengan Bali, Affandi menemukan keindonesiaan sekaligus meraih kesadarannya sebagai warga dunia.
Sekarang, boleh saja para pakar, seniman, dan politikus berbicara secara heroik tentang pentingnya menyinergikan yang global dan yang lokal, berlomba-lomba mewacanakan masa depan Indonesia yang kosmopolitan sambil ”mewasiatkan” pentingnya tetap berpijak pada akar kulturnya sendiri. Tetapi, tidakkah hal ini, sedini Indonesia merdeka, sudah diwujudkan sebagai laku kreatif oleh pelukis terbesarnya, yakni Affandi, sang sungguh maestro ini?
Bukan suatu yang berlebihan dan bahkan benarlah bila judul buku setebal itu, tak ada kata yang paling sesuai, selain Affandi. Secara teknis, tentu saja buku ini masih mengandung kelemahan, misal soal urutan gambar, dan penjelasan periodisasinya yang kurang konsisten. Namun, yang patut diharapkan ialah bagaimana agar dari karya besar ini terbit sebuah versi Indonesianya.
Oleh sebab itu, layak diajukan pertanyaan, apakah anak bangsa tak berhak membaca tulisan tentang tokoh besar sejarahnya seperti Affandi dalam bahasa sendiri? Apakah ”pengetahuan” harus sepenuhnya menjadi milik eksklusif orang asing dan kaum kosmopolitan tertentu orang Indonesia? Tentu, ini bukan hanya tanggung jawab penerbit atau prakarsa buku ini.
* Warih Wisatsana, Penyair, Tinggal di Denpasar
Sumber: Kompas, Minggu, 19 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment