-- Fatkhul Anas*
BEBERAPA waktu lalu, Maman S. Mahayana, pengamat sastra dari Universitas Indonesia, memberikan pernyataan bahwa sastra makin terpinggirkan dari bangku sekolah (Kompas, 13-10). Pernyataan Maman ini jika diukur dari realita yang ada memang benar adanya. Sastra saat ini mengalami marginalisasi dari dunia pendidikan. Geliat untuk mempelajarinya hanya sekadar "sambilan". Bukan atas dasar suka, melainkan tuntutan mata pelajaran. Jika sang guru tidak memberi pelajaran sastra tentu si murid tidak menanyakannya. Dia acuh saja. Seolah sastra tak penting.
Nasib sastra di bangku sekolah memang sedang mengenaskan. Ibaratnya sastra hanyalah pelajaran pelengkap. Sekadar tahu, bukan untuk didalami, apalagi dijadikan hobi.
Pelajaran sastra yang biasanya digabung dengan bahasa Indonesia masih kalah pamor dengan pelajaran lain, terutama ilmu-ilmu eksak. Ilmu eksak dianggap paling bergengsi, dan siapa yang menguasainya dianggap "orang pintar". Hanya ilmu eksak dan ilmu-ilmu sosial humaniora saja yang dianggap mampu mencerdaskan. Sedangkan sastra dianggap tak mencerdaskan dan tidak bermanfaat.
Imbas Kebijakan
Persepsi terhadap sastra yang demikian "buruk" sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan pendidikan yang diterapkan selama ini. Sebab, kebijakan pendidikan yang baik akan menentukan maju dan tidaknya pendidikan. Termasuk juga sastra.
Kebijakan pendidikan, menurut Mark Olsen, merupakan kunci keunggulan bahkan eksistensi bagi negara-negara dalam persaingan global. Sehingga, kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi. Karena kebijakan pendidikan yang mampu menentukan maju dan tidaknya anak didik, diperlukan kebijakan pendidikan yang tepat.
Terkait dengan sastra, mengapa semakin lama semakin termarginalisasi? Hal ini tak lepas dari kurang tepatnya kebijakan pendidikan yang diterapkan selama ini. Sejak Orde Baru, pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan perekonomian. Saat awal orde baru, perekonomian kita begitu buruk dengan tingkat inflasi yang demikian tinggi.
Dalam buku Kebijakan Pendidikan karya H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho dijelaskan setelah mengalami krisis kehidupan dalam era orde lama, masuklah bangsa Indonesia ke dalam era orde baru yang dimulai dengan upaya meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Perlahan-lahan kehidupan masyarakat mulai membaik, infrastruktur dibangun, dan pendidikan diabdikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kebijakan era Orde Baru memang sangat efektif mengentaskan perekonomian. Namun, di salah satu sisi berakibat negatif. Terutama bagi pertumbuhan sastra. Selama Orde Baru pendidikan di-setting untuk mengentaskan perekonomian. Otomatis mata pelajaran yang menjadi unggulan saat itu adalah mata pelajaran yang berhubungan dengan perekonomian. Termasuk ilmu eksak. Dalam pekembangannya, ilmu eksak lebih diutamakan karena untuk menunjang teknologi dan industri.
Hal ini berakibat buruk bagi pelajaran yang lain karena semakin marginalnya mata pelajaran yang tidak ada hubungannya dengan teknologi dan industri seperti sastra. Pelajaran sastra tidak lagi menemukan tempat. Sastra dianggap tidak penting dan tidak mampu menyumbangkan kontribusi apa-apa. Sastra dipelajari hanyalah untuk mendukung pengembangan bahasa Indonesia agar tetap lestari. Akhirnya, sastra tidak menjadi pelajaran favorit, tetapi sebagai sampingan. Yang favorit mata pelajaran yang dianggap bergengsi, seperti ilmu-ilmu eksak.
Spirit Sastra
Memang sangat disayangkan ketika sastra semakin termarginalisasi dari bangku sekolah. Padahal, kalau boleh dibilang, sastra adalah ruh kehidupan.
Dengan bersastra kita mampu menghayati hidup. Menemukan jati diri dan mampu menentukan apa-apa yang baik dan buruk serta pantas untuk kita lakukan. Sastra juga mampu membangkitkan semangat jiwa-jiwa yang lelah. Bukankah Chairil Anwar dengan puisi-puisinya mampu membangkitkan para pemuda untuk berjuang melawan para penjajah? Para mahasiswa ketika berdemonstrasi juga melantunkan bait-bait puisi untuk membakar semangat.
Itulah sastra yang berfungsi sebagai ruh dalam kehidupan. Ruh dijadikan berpasangan dengan jasad. Jasad adalah fisik yang kering. Tanpa perasaan dan jiwa. Jika dikaitkan dengan ilmu, ilmu-ilmu eksak maupun ilmu-ilmu lain hanya mengandalkan daya pikir diumpamakan seperti jasad. Kering dan tanpa perasaan. Sastralah yang digunakan sebagai pasangan agar jasad itu hidup. Sastra yang mampu dijadikan penyeimbang (balance) bagi ilmu-ilmu eksak maupun ilmu yang hanya mengandalkan daya pikir, agar tidak kering dan mempunyai perasaan.
Ilmu yang hanya mengandalkan otak tanpa disertai perasaan akan berakibat buruk bagi pemiliknya. Ia cenderung menjadi manusia kaku, tak punya rasa salah, dan tak berperasaan. Dalam bertindak hanya menggunakan otaknya. Ia egois dan tidak memperhatikan perasaan orang lain.
Lihat saja orang-orang yang mahir ilmu-ilmu eksak di Indonesia. Saat meraih kedudukan dan pangkat, mereka malah melakukan korupsi. Mereka tidak peduli apakah hal iu salah atau benar, merugikan orang lain atau tidak, karena mereka tidak mempunyai perasaan. Mereka hanya mengandalkan otak dalam bertindak, sedangkan hatinya tumpul.
Pengalaman semacam ini sesungguhnya mampu dijadikan pelajaran bagi bangsa ini. Bahwa pemberian ilmu yang hanya mengadalkan daya otak saja tidak cukup. Perlu adanya olah jiwa. Olah jiwa tersebut bisa diraih dengan sastra. Sebab, sastra seperti puisi, cerpen, novel timbul dari perenungan jiwa. Ia adalah ungkapan perasaan yang dituangkan dalam kata-kata.
Dengan bersastra, diharapkan jiwa yang kering akan basah kembali. Perasaan yang tumpul akan peka kembali. Sehingga hidup akan senantiasa terarah, teratur, dan tidak semaunya sendiri. Ini artinya, sastra sedapat mungkin harus menjadi prioritas di bangku sekolah. Jangan hanya sekadar sambilan. Pelajaran sastra harus dibuat semenarik mungkin. Hindari memasukkan sastra-sastra absurd yang tidak dimengerti oleh anak didik karena mereka tidak akan suka. Ajak anak didik untuk berapresiasi. Dengan begitu, sastra akan mendapat tempat dan tidak lagi termarginalkan. n
* Fatkhul Anas, penikmat sastra serta peneliti pada Fakultas Tarbiyah UN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment