”Pasar (ekonomi kreatif) hanya akan terbentuk jika kita punya IT literacy tinggi dan sebesar-besarnya masyarakat mengakses IT”.
(Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, INAICTA 2008, 08/8/2008)
Menonton film Laskar Pelangi tak diragukan lagi merupakan pengalaman menggetarkan. Penonton tergetar karena ketegaran menyambut tantangan masa depan yang diperlihatkan anak-anak muda Belitung. Selebihnya, yang menggetarkan adalah panorama alam Indonesia yang diangkat oleh sineas Tanah Air ke layar perak. Segalanya tampak polos, alamiah.
Itu tentu sudah pencapaian yang bagus. Sukses Laskar Pelangi setelah Ayat-ayat Cinta meneguhkan apa yang disampaikan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengenai kebangkitan industri kreatif di Tanah Air. Seperti disampaikan dalam kuliah umum di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di Tangerang, 5 September silam, sekarang ini ada 14 bidang yang diunggulkan dalam industri kreatif di Indonesia. Hal itu meliputi periklanan; arsitektur; barang seni; kerajinan; desain; mode; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; radio dan televisi; riset dan pengembangan; serta film, video, dan fotografi.
Kita bangga film dan musik bangsa sendiri kini sudah bangkit dan ternyata bila digarap dengan baik mampu menarik hati audiensi di Tanah Air, bahkan di kawasan regional. Benar juga kalau dikatakan bahwa industri kreatif baik untuk dikembangkan karena selain membuka potensi ekonomi juga bisa mengangkat citra bangsa dan menyemaikan sumber daya terbarukan. Indonesia tidak keliru memilih industri ini karena potensi berupa kekayaan seni budayanya amat tinggi.
Apa setelah ”Laskar Pelangi”?
Dari sisi industri, dunia perfilman sebagai salah satu industri kreatif potensial harus tertantang untuk terus melangkah maju. Pada film asing, kini selain cerita yang menyentuh juga dihadirkan animasi dan efek yang diharapkan mampu meningkatkan tingkat kualitas hiburan. Dengan itu pula ibaratnya rentang kemungkinan ekspresi artistik diperluas dan diperdalam.
Sekadar contoh, lalu muncul film seperti sekuel The Jurassic Park, Matrix Revolution, atau Terminator, dan yang belum lama ini Kung Fu Panda. Kita ingat, dalam film Jurassic Park penonton dibuat terpana menyaksikan bagaimana makhluk- makhluk purba yang sudah punah 65 juta tahun silam bisa dibuat hidup lagi, sedemikian hidupnya hingga efek menakutkan dan mencekam amat nyata. Pada Kung Fu Panda, itulah animasi par excellence.
Tetapi, kita paham betul apa yang ada di balik semua kecanggihan itu, dan itu tidak lain tidak bukan adalah teknologi komputer, atau teknologi informasi (TI) pada umumnya. Batasnya adalah imajinasi, ini yang sering dikemukakan para ahli komputer.
Kita berharap film Indonesia setelah Laskar Pelangi juga dapat terus melangkah ke dimensi lebih canggih tanpa meninggalkan cerita yang tetap merupakan unsur utama dalam industri kreatif ini.
Teknologi yang diperlukan
Dalam ungkapan ringkas, lingkup peranan dan keterkaitan industri kreatif dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) disampaikan dalam kutipan di awal tulisan ini. Sebagaimana juga dikutip oleh Restituta Ajeng Arjanti (dalam situs QB Creative), Menteri Perdagangan juga menyebutkan tiga aspek penting TIK dalam menciptakan industri kreatif, yakni TIK sebagai industri, TIK sebagai alat untuk menciptakan industri, dan TIK sebagai alat untuk mengerti tentang pasar dan konsumen.
Menperdag bahkan memperlihatkan TIK sebagai jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi industri musik dewasa ini, yakni pembajakan.
Sebagaimana juga disampaikan dalam kuliah di UMN, Mari juga menyebutkan, industri iklan pun beralih ke internet, dalam hal ini melalui milis dan blog, yang juga banyak digunakan untuk ”menghakimi” satu produk baru. Dengan cara ini, iklan tradisional di koran atau TV tak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi untuk menilai satu produk baru.
Berdasarkan ilustrasi di atas, pekerjaan rumah yang tak terelakkan dalam upaya pengembangan industri kreatif adalah menguasai TIK. Di sini pun tiga aktor utama dalam industri kreatif—pemerintah, bisnis, dan lembaga penelitian, atau sering juga disebut triple helix, atau juga ABG (academician, business, government)—punya peran penting masing-masing.
Pemerintah berperanan membuat elemen TIK, termasuk tarif bandwidth untuk akses internet semurah mungkin, sementara lembaga penelitian mendukung penyediaan teknologi dan riset, adapun dunia bisnis berperan memfasilitasi komersialisasi produk industri kreatif.
Hanya dengan inilah kita bisa berharap di bidang film, misalnya, satu hari nanti akan muncul film Indonesia yang didukung rumah animasi yang mengingatkan orang pada DreamWorks Animation yang membuat Kung Fu Panda.
Dalam dunia yang sudah terbuka, penonton film Indonesia tentu juga akan membanding- bandingkan sehingga kalau memang di Amerika pembuatan film didukung oleh komputer dengan prosesor multicore, yang bisa menghadirkan efek dramatik yang membuat orang menahan napas, di sini pun kelak akan muncul tuntutan serupa.
Tanpa akses dan penguasaan terhadap TIK, kegeniusan insan kreatif Indonesia akan terkendala karena kreativitasnya mentok di plafon yang mandek. Dalam kaitan inilah terlihat perlunya melangkah dari Laskar Pelangi ke laskar (industri) kreatif yang didukung oleh TIK, alat yang akan membantu insan animator dan ahli efek memecahkan tantangan artistik.
Sumber: Kompas, Rabu, 15 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment