MATAHARI terik memanggang Jakarta. Ismail Saleh berjalan perlahan dengan tongkatnya. Ia tidak hirau pada pejalan kaki lain yang berjalan cepat dan bahkan ada yang menyenggolnya. Tiba di lobi Kompas, Ismail menyodorkan KTP-nya dan menyebut hendak bertemu dengan seorang wartawan. Ketika diminta menunggu sebentar, Ismail mengangguk dan berjalan menuju kursi. Ia menunggu dengan sabar.
Tidak ada yang mengenal Ismail di lobi itu. Ia pun tidak berusaha menyampaikan kepada resepsionis latar belakangnya.
Sejak merampungkan tugas sebagai Menteri Kehakiman (1984-1993), Ismail Saleh hidup sebagai awam yang sederhana. Purnawirawan letnan jenderal Angkatan Darat yang di antaranya pernah menjadi Sekretaris Kabinet, Ketua BKPM, pemimpin Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, dan Jaksa Agung (1981-1984) ini mengembangkan talentanya di bidang tanaman dan suiseki (batu elok) sambil menulis buku dan artikel di pelbagai media massa. Ia pun selalu menyempatkan diri mengunjungi temannya yang sakit.
Ismail bukan seorang dengan pikiran-pikiran amat besar sebagaimana Soekarno, Gandhi, De Gaulle, atau Mandela. Ia seorang pemikir ”hal-hal kecil” yang amat tekun. Kalau mempunyai satu ”gagasan kecil”, ia pasti akan mengawal ide itu hingga terlaksana tuntas. Inilah yang membuatnya mempunyai nama besar di kalangan pemerhati hukum selain sikapnya yang keras, berani berbeda, pantang menyerah, dan hidup steril. Ia tidak tersentuh cerita miring tentang korupsi, kolusi dan nepotisme.
Ketika memimpin Kantor Berita Nasional Antara, ia melihat beberapa hal penting, wartawan perlu rumah, juga perlu diajak berbicara persoalan kemanusiaan. Ia membangun perumahan untuk wartawan Antara, menyediakan kendaraan bermotor, menyelenggarakan pertemuan yang menggugah élan wartawan. Ia fasih berbicara tentang kebutuhan minyak tanah di rumah, anak minum susu apa, makan ayam goreng berapa kali sepekan, seragam anak sekolah, dan sebagainya. Ia pun menaruh perhatian pada pendidikan dalam dan luar negeri untuk wartawannya. Tanpa ia sendiri sadari, ia membangun fondasi kokoh untuk kantor berita itu.
Dari hal kecil
Tatkala menjadi Jaksa Agung, Ismail membawa Kejaksaan Agung mencapai puncak prestasi. Dan, untuk mencapai ini, Ismail mulai dengan hal-hal kecil. Ia sangat memerhatikan aspek pendidikan, uang saku, serta ”kelakuan” jaksa.
Ia bangun perumahan untuk jaksa, mencarikan anggaran legal untuk kendaraan dan bahkan membangun gedung bundar untuk tindak pidana khusus. Ia lalu menggariskan hal penting, yang masih dijalani sampai sekarang, yakni ekspose perkara.
Dengan wajib ekspose, jaksa tidak akan mudah mendakwa atau menuntut seorang terdakwa. Jaksa harus menyusun surat dakwaan yang berlandasan hukum kuat agar tidak mudah dimentahkan lawan. Untuk mengajukan tuntutan hukum pun harus ekspose dulu, dan yang hadir bukan hanya atasannya, tetapi juga para pemikir Kejaksaan Agung/kejaksaan tinggi/kejaksaan negeri.
Ismail Saleh tidak main-main dengan gagasan ini. Siapa yang tidak taat, langsung ia geser ”ke laut”. Jaksa korup langsung dipecat. Jaksa malas diparkir di ruang tata usaha. Ia juga memerhatikan hal-hal kecil. Tengah asyik raker, ia bisa tiba-tiba menyatakan break, dan tanpa dapat dicegah ia memeriksa kendaraan jaksa peserta raker. Ia cek apakah ada olinya, apakah remnya blong, joknya bolong, ruang mobilnya busuk atau tidak. Jika ternyata mobil tak terawat, jaksa pemilik mobil dikenai sanksi.
Di ruang WC, ia marah besar karena WC mampat dan tinja manusia tersebar di mana-mana. Aromanya, jangan ditanya. Saking kesalnya, Ismail sampai menyikut perut kepala rumah tangga. ”Apa kerja kau?” ujar Ismail dengan raut merah padam.
Di ruang cukur jaksa, ia sempat-sempatnya cukur rambut dan menanyai tukang cukur itu. Misalnya, siapa saja jaksa yang kaya raya, siapa yang suka bolos, siapa yang cukur tidak bayar, jaksa mana yang selingkuh dan suka utang. Jaksa mana masuk kantin ”petantang-petenteng”, suka kawin, dan sebagainya.
Rajin sidak
Cerita tentang sikap Ismail yang memerhatikan masalah kecil dan ekstra galak menyebar ke seluruh Tanah Air. Jika ia melakukan kunjungan di luar Jakarta, kejaksaan yang akan menerimanya langsung berbenah. Mencium hal ini, ia melakukan sidak. Ia datangi daerah yang ia tahu tidak siap. Langgam Ismail yang tertib, keras, dan galak inilah yang kemudian membuat birokrasi di lembaga kejaksaan berubah total.
Tanpa melakukan revolusi, dan tanpa pengumuman reformasi birokrasi, ia mampu mengubah kinerja birokrasi kejaksaan. Di era Ismail Saleh-lah, jaksa bangga sebagai jaksa. Wibawa kejaksaan amat tinggi. Jaksa yang cerdas, berani, dan relatif bersih diberi ruang lapang.
Kader Ismail yang menonjol di antaranya Baharuddin Lopa, Singgih (keduanya pernah menjadi Jaksa Agung), dan Anton Suyata (pernah jadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus).
Tatkala menjadi Menteri Kehakiman, Ismail masih datang dengan sikapnya itu. Institusi Kehakiman pun menjadi lembaga berwibawa dan dikenal mempunyai administrasi terbaik.
Ismail Saleh telah berpulang Selasa (21/10). Keteladanannya mestinya diikuti Hendarman dan kawan-kawan. Banyak bekerja, sedikit bicara. (Abun Sanda)
Sumber: Kompas, Minggu, 26 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment