Thursday, October 30, 2008

Tak Setiap Barang Budaya Bisa Dikomodifikasi

Solo, Kompas - Pemaknaan terhadap ekonomi kreatif bukan dengan melakukan komodifikasi terhadap produk yang dihasilkan dari ranah seni budaya, melainkan bagaimana meninggikan posisi tawar produk budaya.

Demikian benang merah dari Sarasehan ”Solo ke Depan” (Solo toward Future) yang diadakan di pendapa Istana Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, dalam kaitan penyelenggaraan Konferensi dan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia (WHCCE), Rabu (29/10). Tampil sebagai pembicara adalah Prof Timbul Haryono, Marco Kusumawijaya, Radhar Pancadahana, Dyah Pitaloka, dan moderator Yayah Khisbiyah.

Marco Kusumawijaya, ahli tata kota, menyatakan, kebijakan pemerintah melalui Menteri Perdagangan yang mengampanyekan tentang ekonomi kreatif tidak harus dimaknai bahwa semua produk seni-budaya diperlakukan sebagai barang pasar.

”Ekonomi kreatif didasarkan pada kreativitas yang masuk dunia industri, tetapi sebenarnya bukan hanya menyangkut seni- budaya, melainkan juga ilmu pengetahuan. Di dalam ilmu pengetahuan terkandung pula kreativitas. Kita harus menyikapi secara proporsional,” kata Ketua Dewan Kesenian Jakarta ini.

Budayawan Radhar Pancadahana menyatakan, di tengah kecenderungan komodifikasi terhadap produk seni-budaya, seakan setiap produk bisa diproduksi secara masif. ”Seharusnya, yang masif itu harganya,” katanya.

Radhar menambahkan, para seniman dan pencipta seharusnya tidak larut dalam arus pasar, sebaliknya harus menguasai pasar. Menurut Marco, produk seni- budaya tak harus dipasarkan lewat jalur khusus, yang penting memberdayakan seniman dan memelihara nilai-nilai filosofis dan spiritualitas di dalam karya budaya.

Marco mengibaratkan Kota Solo sebagai ”sumur” kreativitas tradisi yang airnya tak pernah kering. ”Sejumlah seniman berbakat lahir dari kota ini. Yang diperlukan adalah mengolah sumber daya yang ada secara kreatif,” katanya.

Kota Solo yang memiliki moto ”Solo in the Past is Solo in the Future”, dalam pandangan guru besar arkeologi UGM, Timbul Haryono, memiliki identitas yang jelas. Solo sebagai kota pusaka memiliki warisan budaya yang bersifat nonbendawi (intangible) hasil karya nenek moyang di masa lalu. Hal itu, termasuk karya sastra dan spiritual, harus diselamatkan dan dilindungi.

Ia juga menyinggung soal konflik kepentingan dalam pengelolaan warisan budaya. ”Dalam setiap warisan budaya selalu terkandung kepentingan akademis, ekonomis, dan ideologis. Karena itu, dibutuhkan manajemen sumber daya budaya untuk mengurangi konflik,” ujarnya.

Dalam pandangan Radhar, Solo yang mengklaim sebagai ”The Spirit of Java” secara historis, kultural, dan demografis memiliki peran strategis ke depan. Ia mengingatkan nilai-nilai budaya Jawa hingga hari ini terbukti tidak terkikis oleh zaman.

”Budaya Jawa yang merupakan representasi dari budaya-budaya masyarakat sekitar tidak dimaknai sebagai budaya yang beku, melainkan mampu beradaptasi dan mengadopsi budaya baru. Jadi merupakan budaya tradisi yang berproses terus,” ujarnya.(ASA)

Sumber: Kompas, Kamis, 30 Oktober 2008

1 comment:

Joddie said...

Jadi inget ama solo nih.. kota kelahiran dan belajarku..
Kalo aku.. boleh berpendapat.. - dalam hal budaya - Solo sebenernya masih lebih maju dari Bali... Pengalamanku disini membuktikan bahwa Bali 'lebih kesulitan' lagi menjaga budaya & identitasnya.. Arus globalisasi yang terus-menerus menyerang membuat Bali - perlahan namun pasti - mulai kehilangan Balinya.. (miris yah..)