-- Richard Oh*
PADA tahun 1876, sebuah festival diselenggarakan di Bayreuth atas prakarsa King Ludwig II, Bavaria, untuk menggelar karya-karya komposisi Richard Wagner. Seorang filsuf tak dikenal pada waktu itu diundang untuk menghadiri festival ini.
Filsuf itu hadir di festival Bayreuth karena, selain sebagai sahabat dekat sang komposer, dia memang penggemar berat karya-karya Richard Wagner. Namun, apa yang disaksikannya di Festival Bayreuth itu justru membuat dia jatuh pingsan di tengah keramaian.
Apa yang terjadi dalam festival itu sungguh mengguncang sistem pemikiran sang filsuf sehingga membuat dia menelaah kembali secara kritis apa yang disaksikannya di festival itu.
Kegundahan intelektualitasnya membuahkan dua karya pemikiran filsafat yang sangat terkenal, yakni Human, All-too- Human dan Ecce Homo. Dua karya yang mengecam habis-habisan kemerosotan kebudayaan dan kebobrokan moralitas kelas borjuis. Hubungan filsuf ini dengan panutannya, Richard Wagner, sejak saat itu meretak. Filsuf ini bernama Nietzsche.
Hari ini kita paham cikal bakal kegundahan Nietzsche pada Wagner dan Festival Bayreuth berlandasan pada kemuakkannya pada orang-orang borjuis yang dianggap terlalu mengagung-agungkan seorang pencipta karya seni. Juga frustrasi sekaligus kekecewaannya pada Richard Wagner yang, di matanya terlihat sebagai seorang seniman sejati, semestinya tidak membiarkan dirinya dielu-elu bagaikan seorang mahadewa.
Dua abad kemudian kita perlu mengutak-atik kembali pemikiran Nietzsche. Di abad ke-21 ini hanya para rocker dan bintang layar lebar Hollywood yang menikmati layanan istimewa seperti yang disesalkan oleh Nietzsche itu. Pemikir, ilmuwan, komposer, bahkan rupawan paling terkenal sekalipun saat ini tidak bisa lagi mengimbangi kejayaan yang pernah dinikmati oleh Sartre, Einstein, Wagner atau- pun Picasso pada masanya. Saya yakin hanya sejumput manusia yang kenal baik nama-nama ini: WB Sebald, Garreth Lisi, Alain Badiou, dan Gerhard Richter.
WB Sebald adalah penulis sastra yang dianggap salah satu penulis terbesar saat ini. Garreth Lisi dengan makalahnya, A Very Simple Theory of Everything, dianggap fisikawan yang telah menemukan sebuah solusi elegan untuk menyatukan teori relativitas dan teori partikel yang telah mengganggu para ilmuwan sejak masa Einstein.
Alain Badiou adalah seorang filsuf yang dianggap berhasil mengembalikan filsafat ke jalur baru, sejak filsafat diluluhlantakkan oleh para pemikir pascamodern. Gerhard Richter adalah rupawan Jerman yang dianggap rupawan paling hebat di masa ini.
Hari ini mereka hanya dikenal sebagai dewa di kelompok masing-masing. Bagi orang awam, mereka hanya nama-nama tidak berarti sama sekali. Pada saat ini, hampir mustahil, seorang pemikir bisa menggapai ketenaran yang begitu berpengaruh seperti Sartre ataupun mereka yang nama-nama saya sebutkan di atas.
Wacana yang menyerpih
Di era serba fragmentaris ini, yang digambarkan oleh Nietzsche sebagai abad ”Tuhan yang telah mati”, sangatlah sulit bagi seorang seniman, ilmuwan atau- pun pemikir besar untuk mendominasi wacana publik. Suara orang-orang istimewa ini sudah kehilangan geregetnya. Walaupun internet memungkinkan kita menyebarluaskan sebuah wacana ke seluruh dunia dalam sekejap, ia juga berhasil memecahbelahkan pusat perhatian dunia sehingga dampak sebuah wacana menjadi serpihan-serpihan tak berarti.
Di dunia cerai-berai seperti sekarang ini, komik, seni rupa, seni performa, apa saja yang mudah dicerna dan tidak membuat jidat mengerut menjadi penguasa di bidangnya. Alasannya sangat sederhana, mereka mempunyai daya tarik massal yang tinggi. Semakin berpengaruh massa itu, semakin sederhana tuntutan manusia pada sebuah karya seni.
Manusia modern tidak lagi memiliki waktu untuk menafsir sebuah karya seni secara saksama. Semuanya harus supra cepat dan tidak bertele-tele.
Maka kapasitas berpikir dan daya ingat pun menjadi semakin dangkal dan manusia pun kehilangan toleransi dan kesabaran. Dalam list bestseller New York Times sekarang nama-nama seperti John Grisham dan Daniel Steele mendominasi.
Di zaman sekarang, asal kasar, melawan konvensi dan tebal muka, karya-karya tersebut akan diserap langsung oleh masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini, maka tidak heran dan perlu kita syukuri keagresifan negara-negara berkembang dalam mempromosikan kebudayaan dan pencipta seni ataupun pemikirnya. Mereka dianggap sebagai aset-aset nasional yang perlu didukung karena mereka menonjolkan kebudayaan dan memperkenalkan keunikan peradaban masing-masing negara, yang pada ujungnya merupakan sebuah tindakan yang bersifat politis dan pragmatis karena ia meningkatkan turisme dan pemasukan devisa. Apa yang ditakutkan oleh Nietzsche, dua abad kemudian menjadi sebuah hal yang perlu kita dukung secara mutlak.
Di negara-negara yang lebih maju, di mana bergelimang kekayaan pribadi, banyak filantropis yang bermunculan. Kepedulian mereka tidak hanya di tingkat kepantasan seorang individu mengembalikan ke negaranya apa yang telah mereka keruk darinya. Alasan mereka kini jauh lebih pribadi dan mendalam: bagi sebagian filantropis urusannya bukan lagi altruisme, tetapi sebuah kecintaan mendalam pada bidang-bidang kesenian yang mereka dukung. Beberapa nama belakangan bermunculan menjadi pahlawan filantropis: Bill Gates, Oprah Winfrey, dan Maurice Saatchi.
Agresivitas budaya
Tidak heran bila kemudian kita menyaksikan pertumbuhan yang begitu dahsyat di berbagai bidang kesenian dan kebudayaan di negara-negara yang begitu agresif membelanya. Mengikuti jejak negara tetangganya, Jepang, Korea secara agresif mempromosikan kebudayaannya di negara kita.
Negara-negara Eropa sudah bertahun-tahun mempromosikan kebudayaan dan keseniannya di negara kita. Negara-negara Amerika Latin seperti Cile dan Brasil juga tidak mau kalah dalam mempromosikan keunikan kebudayaan mereka. Melalui prakarsa yayasan Pablo Neruda, misalnya, Cile pernah memberikan Pramoedya Ananta Toer sebuah penghargaan. Brasil saat ini sedang mempromosikan Capoera dan kulinernya kepada masyarakat kita.
Di negeri ini, sebuah aksi agresif yang mendayagunakan produk budaya sebagai senjata utama penegakan karakter dan integritas sebuah bangsa tidak tampak dalam setiap kebijakan publik maupun jargon para calon pemimpin yang sibuk untuk dipilih belakangan ini.
Tak ada semacam strategi kebudayaan yang kuat, visioner, dan progresif. Kesenian sebagai produk budaya terpenting menjadi komoditas alientif dalam retorika politik-ekonomi kita yang riuh. Terlebih kesusastraan, sebagai satu puncak kesenian, mendapatkan apresiasi yang hampir nol di kalangan elite kita.
Belum lagi posisinya yang tak hanya terpojok karena desakan teknologi digital seperti video games dan perangkat informasi-komunikasi, sastra pun menjadi bidang yang dianggap kurang menjanjikan oleh orang muda saat ini. Penulis-penulis sastra serius harus berjuang mati-matian untuk bisa mencukupi keperluan sehari-hari hanya untuk sekadar bertahan hidup dan setia pada profesi. Dan terlalu minim kebijakan publik yang mau menyentuh hal itu. Kemiskinan sastra terjadi sudah secara struktural; tertolong karena kegigihan para aktivis/pelakunya saja.
Oleh karenanya, di tengah ribut kita pada upaya promosional dengan program binaan atau penyelenggaraan berbagai olimpiade sains, betapa bermartabatnya bila juga diikuti oleh sebuah ide bagi penyelenggaraan sebuah olimpiade sastra. Yang melibatkan segala lapisan masyarakat luas, yang tak hanya menggalakkan apresiasi dan penciptaan sastra, tetapi juga kian meneguhkan karakter kebudayaan kita yang dihargai dunia sejak beberapa milenia lalu. Dalam gelapnya, sastra memerlukan bintang-bintang yang menyelamatkan pelayarannya.
* Richard Oh, Penulis novel, penggagas penghargaan sastra Kathulistiwa Award
Sumber: Kompas, Sabtu, 11 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment