[JAKARTA] Jurnalisme dan sastra dapat berjalan bersamaan, meski berada pada titik yang berbeda. Keduanya akan saling mengisi untuk menghasilkan sebuah karya yang menarik. Demikian pendapat John Berendt, novelis dari Amerika Serikat yang pernah jadi nomine Pulitzer Award kategori General Nonfiction pada tahun 1995.
John Berendt (Abimanyu)
Berendt berbicara dalam diskusi terbatas dengan sejumlah jurnalis di Jakarta, Jumat (10/10). Sebelumnya, Berendt juga menjadi pembicara dalam serangkaian diskusi yang diadakan oleh Forum Indonesia Membaca dan Museum Bank Mandiri (Rabu, 8/10), dan di Komunitas Utan Kayu Jakarta (Kamis, 9/10). Kehadiran Berendt ke Indonesia ini atas undangan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Kepada sejumlah jurnalis dalam diskusi itu, Berendt menceritakan pengalamannya ketika menjadi penulis di majalah Esquire dan novelis yang berhasil meraih simpati orang banyak. Terutama saat menghubungkan teknik jurnalistiknya dengan menulis novel.
Menurut Berendt, kedua teknik itu memang berada pada titik yang berbeda, tetapi bisa saling menutupi kelemahan masing-masing. Ia membuktikan hal itu lewat dua karyanya, Midnight in The Garden of Good and Evil (1994) dan The City of Falling Angel (2005).
"Saat menulis Midnight in The Garden of Good and Evil, saya melakukan eksplorasi layaknya seorang wartawan. Sejumlah orang yang saya wawancarai tidak mengetahui kalau saya akan membuat novel. Mereka tahunya saya adalah wartawan dari majalah Esquire. Tapi itu tidak masalah, karena saya berusaha mendalami kisah yang ingin saya tulis," sebutnya.
Tidak hanya itu, salah satu teknik jurnalis yang kerap digunakannya adalah mengecek kembali data yang ia peroleh. Menurutnya, hal itu sangat penting agar saat menulis novel bisa membuat deskripsi yang baik.
Mendapat Pujian
Novel Midnight in The Garden of Good and Evil (1994) memang banyak mendapat pujian dari berbagai kritik sastra. Novel itu menceritakan tentang kejadian nyata di seputar proses pengadilan pembunuhan yang terjadi di Savannah, Georgia. Buku ini bertahan dalam daftar best seller New York Times selama 216 minggu. Puncaknya, kisah ini difilmkan oleh sutradara Clint Eastwood tahun 1997.
Banyak hal yang ia bisa peroleh dengan menggunakan ilmu jurnalistiknya dalam penggarapan sebuah karya sastra. Misalnya mengejar sumber-sumber informasinya, seperti yang ia lakukan pada penggarapan novel The City of Falling Angel.
Novel itu berkisah tentang jalinan kehidupan di Venesia setelah kebakaran yang menghancurkan gedung opera La Fenice.
"Jika turis datang melihat lokasi itu, mereka mungkin hanya melihat luarnya saja, tetapi kita harus bisa masuk ke dalam. Ke tempat turis tidak bisa melihatnya. Setelah itu, baru kita membuat fiksi seperti yang kita inginkan. Setiap orang yang kita temui, biasanya memiliki sesuatu yang berharga, dan kita harus mengejar itu," sebutnya.
Namun menurut Berendt, pada dasarnya jurnalisme dan sastra teramat jauh berbeda. Jurnalisme berkaitan dengan fakta, sementara sastra adalah fiksi yang berisi rekaan dan khayalan sang pengarang.
Meskipun, karya itu terinspirasi dari sebuah kisah nyata, menyelaraskan dua kutub ini bisa jadi sesuatu yang menarik. [K-11]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 15 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment