-- D Supratikto*
RIBUT-RIBUT mengenai perlindungan atas barang lokal terus saja muncul. Seperti soal batik, rawon, dan lagu "Rasa Sayange" yang digunakan untuk kepentingan Malaysia. Lantas soal perhiasan perak Bali yang dipatenkan oleh pengusaha Kanada dan perusahaan AS. Belum lagi kopi-kopi lokal Indonesia yang dipatenkan oleh Jepang dan Belanda, dan tempe yang dipatenkan oleh AS dan Jepang.
Sebetulnya, soal-soal di atas ini sudah lama menjadi kekhawatiran sejak disepakatinya Persetujuan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPS) - WTO pada 1994.
Sulit bagi negara berkembang untuk mengikuti persyaratan TRIPS dalam upaya melindungi barang lokalnya, karena negara berkembang tidak punya budaya mencatat, sementara negara maju telah lama melakukannya.
Padahal, pencatatan adalah syarat mutlak untuk melakukan registrasi. Persetujuan TRIPS bisa dikatakan sangat dimanfaatkan oleh negara maju dalam menunjang kepentingan bisnis globalnya.
Kesulitan tersebut semakin rumit dengan adanya pola pendekatan yang berbeda antara Uni Eropa dan AS dalam melindungi barang lokalnya. Uni Eropa menggunakan instrumen Geographical Indications (GI). Bagi Uni Eropa, instrumen GI dimaksudkan sebagai alat untuk melindungi barang lokal, yang merupakan kekayaan budaya. Lebih pasnya, untuk melestarikan warisan budaya kolonialnya yang sudah ratusan tahun.
Meskipun menyepakati Persetujuan TRIPS, dalam melindungi barang lokal AS tidak menggunakan instrumen GI. Bahkan, AS cenderung enggan untuk melaksanakan notifikasi dan registrasi sesuai dengan ketentuan Multilateral Notification and Registration for wines and Spirits. Bagi AS, mungkin saja tidak ada manfaat melakukannya, karena barangnya tidak mempunyai kaitan sejarah dan kekhasan lokal.
Namun, hal ini tidak menjadikan keduanya terganggu dalam praktik perlindungan riil. Uni Eropa tetap memanfaatkan instrumen GI untuk melindungi barang lokal, seperti: anggur dan cognac di Prancis. Sementara AS juga terus melakukan registrasi paten, hak cipta dan merek dagang untuk barang lokalnya. Dengan memanfaatkan Patent Cooperation Treaty (PCT) dari World Intellectual Property Organization (WIPO) tentunya akan semakin memudahkan bagi AS dalam memberikan perlindungan terhadap barang lokal dengan mengajukan aplikasi paten di negara-negara lain.
Pengaruh Kepentingan
Memang tidak mudah bagi negara berkembang untuk berhadapan dengan situasi di atas. Pengaruh kepentingan AS dan Uni Eropa tidak mudah dihindarkan. Apalagi, draf Geographical Indications - Extension (GI-Extension) belum rampung dibahas di WTO. Padahal, GI-Extension dimaksudkan sebagai payung hukum multilateral untuk memperluas cakupan. Geographical Indications tidak hanya untuk wines dan spirits, tetapi juga untuk barang lokal lainnya. Pembahasan draf GI-Extension, yang diperjuangkan oleh negara berkembang, sampai saat ini masih mandek, karena AS tidak mau berunding berhubung tidak ada mandat seperti yang dikatakan Juru Runding Dagang AS Susan Schwab di sela-sela perundingan Putaran Doha di Jenewa, Juli lalu.
Indonesia, sebetulnya telah cukup tanggap terhadap perkembangan tersebut. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 khususnya Pasal 56 yang memuat Geographical Indications. Dan undang-undang ini masih dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2007 yang secara spesifik menjelaskan bahwa barang GI tidak hanya terbatas pada wines and spirits, tetapi juga mencakup barang kerajinan, hasil pertanian, produk olahan, dan barang lainnya. Namun, kelengkapan instrumen hukum ini masih memerlukan tindak kongkret.
Sebagai suatu positive rights, tidak bisa tidak harus dilakukan registrasi atas semua barang lokal. Tindakan ini tampaknya akan jauh lebih murah daripada hanya menyandarkan pada negative rights, seperti ketika India harus mengeluarkan biaya besar hanya untuk membatalkan kunyit yang dipatenkan AS. Makanya, langkah pemerintah untuk menyusun database kekayaan budaya wajib untuk didukung. Penyusunan database hendaknya dapat diperluas tidak hanya untuk barang budaya, tetapi juga untuk semua barang lokal.
Memang, ini bukan pekerjaan mudah, karena harus memilah-milah kategori barang yang mempunyai kekhasan lokal. Di samping itu, harus terus dikaji secara cermat tingkat kesulitan dalam melakukan registrasi GI, terkait dengan kepemilikan dan biaya registrasi. Kepemilikan merupakan persoalan tersendiri, karena harus benar-benar mewakili masyarakat yang menghasilkan barang komunal tersebut.
Biaya registrasi bisa saja jauh lebih mahal, karena persyaratan pemetaan geografis. Mungkin hal ini bisa menjadi pertimbangan kapan sebaiknya Indonesia melakukan notifikasi atas ketentuan Multilateral Notification and Registration for Wines and Spirits.
Lebih dari itu, proses registrasi barang lokal hendaknya terus dipermudah dengan memanfaatkan semua instrumen, termasuk celah dalam menerapkan asas national treatment. Kalau perlu ada suatu program nasional - seperti halnya pemutihan sertifikat tanah - untuk melakukan registrasi atas semua barang lokal. Berkaitan dengan kegiatan ini, tidak hanya Ditjen HKI yang direpotkan, tetapi juga menuntut peran serta semua pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah.
Memang masih sulit diharapkan inisiatif datang dari para pemilik barang lokal. Oleh karena itu, perlu langkah proaktif untuk mengedukasi mereka. Dan langkah ini harus terus diupayakan kalau kita tidak ingin soal perlindungan barang lokal semakin sulit ditangani.
* D Supratikto, bekerja di Departemen Luar Negeri. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 21 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment