-- Theresia Purbandini
DALAM perkembangan puisi Indonesia terkini, tema pahlawan boleh dikata kurang mendapat perhatian. Ini berbeda bila kita membaca karya-karya puisi era 1945, 1966, atau kurun waktu sebelumnya, di mana tak sedikit penyair menuliskan semacam ode atau pujian terhadap sosok-sosok yang dianggap berjasa merebut kemerdekaan, sekaligus sebagai cara untuk memaknai kecintaan pada tanah air.
Chairil Anwar, salah satu yang penyair angkatan 45 yang menuangkan ekspresi kekagumannya terhadap sosok Diponegoro, menggambarkan getar api revolusi yang membara dari petikan puisinya terhadap pahlawan nasional asal Pulau Jawa itu.
Sajak Diponegoro menurut penyair Raudal Tanjung Banua adalah sebuah monumen pemahlawanan dalam puisi. Karena syairnya yang lugas layaknya orasi , seirama dengan semangat zaman berupa momen-momen politik yang mendera pada masa itu. “Sajak Diponegoro seperti sajak mimbar, jelas sekali menyuarakan kepentingan politik sekaligus kekaguman kepada sosok Diponegoro sebagai pahlawan nasional.” tegas Raudal yang aktif di Komunitas Rumahlebah Yogyakarta, AKAR Indonesia, dan jurnal Cerpen Indonesia ini.
Maka bukan hal yang aneh, di saat batin kemanusiaannya begitu merindukan semangat menghadapi hidup yang absurd, dengan gagah berani tiba-tiba Chairil mendapati sosok legendaris Pangeran Diponegoro sebagai konkretisasi dari kegairahannya mempertahankan hidup.
Proses perjalanan hidup Chairil pula yang mengilhami penulisan sajak Diponegoro, pada Februari 1943. Meski sama-sama berbicara tentang kematian, sajak-sajak yang ditulis Chairil menjelang akhir hayatnya lebih sublim dan intens. Dan sajak-sajak seperti Krawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Aku, dan Diponegoro inilah yang menurut Raudal membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia.
Sementara penyair asal Bali, Warih Wisatsana mengatakan, tema kepahlawanan telah berkembang sejak puisi era Pujangga Baru, bahkan jauh sebelumnya, meski kandungannya lebih berupa lagu pujian untuk tanah air. Semisal karya-karya Mohamad Yamin, Rustam Effendi, STA, Sanusi Pane, dan lain-lain. Mereka dianggap Warih sebagai pelopor puisi bertema pahlawan.
Penyair yang juga berdomisili di Bali (Denpasar), Tan Lioe Ie mengutarakan bahwa sajak-sajak perjuangan didominasi oleh Chairil Anwar (Diponegoro), Toto Sudarto Bachtiar (Pahlawan Tak Dikenal), Rendra (Gerilya). “Kreativitas mereka cukup banyak melahirkan prosentase puisi dan bentuk kepedulian yang besar terhadap tema pahlawan dengan kualitas berima seperti balada pada umumnya,” ungkap penyair yang melakukan eksplorasi atas ritual dan mitologi Tionghoa untuk puisi Indonesia ini.
“Puisi Toto mengajak dan mengingatkan pembacanya untuk kembali merenung kan peperangan yang begitu kejam, sedangkan Rendra menceritakan pengorbanan kepentingan pribadi pahlawan demi membela negara. Mereka memeliki kepedulian yang tinggi dan dengan tanpa beban mereka merasa terpanggil untuk menulisnya,” Tan menambahkan.
Sering perputaran roda waktu, pergeseran makna pahlawan nampaknya telah meluas menjadi konotasi yang lebih plural. Bagi Tan Lioe Ie secara pribadi, arti pahlawan baginya tak hanya sekadar pahlawan nasional yang telah gugur di medan perang.
“Bagi saya, pahlawan tak terbatas dalam sebuah sosok saja melainkan sebuah gambaran realita yang memberikan kontribusinya juga adanya pengorbanan bagi banyak orang, seperti seorang petani yang berjasa akan beras bagi kebutuhan pokok bangsa kita, para TKI yang jauh dari sanak saudara dan menyumbangkan devisa pula bagi negara ini, guru sebagai pahlwan tanpa tanda jasa bahakan seorang ibu memegang peranan besar Karena telah melahirkan dan membesarkan orang-orang hebat dan masih banyak lainnya.”ungkap pengarang kumpulan puisi tunggalnya “Kita Bersaudara”.
Senada dengan analisis yang dikemukakan oleh Raudal, menurutnya tema pahlawan ini telah berkamuflase menjadi sajak sosial dimasa sekarang ini. “karenanya tidak ada patokan dari segi tema ini secara jelas, maka penempatan tokohnya makin beragam, tak hanya berdiri pada satu sosok melainkan masyarakat pun bisa menjadi pahlawan bila dilihat dari cara pandang yang lain.”ungkap pria kelahiran Sumatera Barat, 19 Januari 1975.
Warih dalam mengintrepretasikan makna pahlawan bagi hidupnya, “Saya merasa kini yang layak disebut pahlawan adalah rakyat biasa, wong cilik dalam arti yang sebenarnya, yang nerimo ing pandum, yang diperlakukan tidak adil tetapi tak mengeluh dan melakoni nasib untuk tetap berdaya upaya demi keluarga dan lingkungan terdekatnya. “tuturnya.
Bila ditinjau ke masa kini, menurut Tan hampir tak terdeteksi penyair-penyair muda yang ikut menyelami tema pahlawan seperti Chairil dkk. “mungkin karena masa sudah berbeda jaman, masalah yang timbul kini cenderung lebih sosial. Intensitas penyair pahlawan secara murni dapat dikatakan tidak ada namun lebih beragam dengan semangat heroik yang tetap terjaga secara implisit.”menurutnya.
Ditambahkan oleh Raudal, walaupun tema kepahlawanan telah bergeser namun sajak-sajak sosial yang lebih umum lebih meluber tanpa batasan karena terbayang oleh situasi jaman yang bergejolak saat ini. tak hanya secara heroik namun juga secara liris.”
Puisi tematik ini seringkali diangkat ketika datangnya hari bersejarah. Para penyair berlomba-lomba menulis puisi dengan tema kepahlawanan ketika momentumnya tiba. “padahal tema ini bisa saja diangkat kapan saja, perlunya ditumbuhkan kesadaran tinggi akan hal ini karena banyak karya bagus justru lahir.”diakui oleh Tan.
“Sajak pahlawan yang dilombakan pada hari bersejarah ini belum sampai pada estetika konteks sehari-hari, melainkan sebgai sajak seremoni. Padahal dengan berbagai upaya untuk menengok kebelakang tema pahlawan ini bukan hanya sekadar heroik namun sebagai kesadaran bersama.”ditambahkan oleh Raudal.
Sajak yang ideal menurut Raudal adalah sajak yang seharusnya diimbangi oleh sajak kamar, dimana sajak yang mampu menjadi bahan perenungan diri dan dapat dinikmati sendiri dan sajak mimbar yang secara lugas dan tegas dapat berpretensi untuk menyemangati pembacanya.
Sedangkan sajak yang ideal menurut Warih yang tergabung dalam Komunitas Sanggar Minum Kopi, dimana seorang penyair berhak membangun dunianya sendiri dalam puisi, termasuk di dalamnya penilaian yang subyektif terhadap sosok, figur atau sejarah. “Yang patut diperjuangkan penyair adalah bagaimana puisi itu tampil dengan penuh kualitas secara estetik maupun secara pesan yang merangkum kedalaman dan tugas penyair adalah melahirkan puisi yang bagus, apapun temanya. Selebihnya, tanggapan dan penilaian diserahkan kepada publik serta para apresiator.”
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 12 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment