-- Ach. Basyir*
YOGYAKARTA sekarang adalah hamparan mal dan supermal yang berderet di sepanjang jalan-jalan perkotaan. Yogyakarta yang dulu dikenal keunikannya karena mampu menjaga tradisi tradisional khas yang dimilikinya, sekarang mulai digeser oleh ideologi global yang bernama kapitalisme. Becak dan sepeda, empat puluh tahun yang lalu adalah panorama yang mempunyai daya tarik bagi wisatawan domestik dan mancanegara.
Globalisasi yang tandai oleh semakin berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi yang diperankan oleh negara-negara industrial dunia pertama, ternyata membawa dampak tersendiri bagi negara-negara berkembang, atau yang lazimnya sering digolongkan pada negara-negara dunia ketiga.
Struktur sosial dan pola hidup masyarakat mengalami shock, ketika harus menghadapi dunia yang oleh sosiolog Inggris, Antony Giddens, disebut sebagai run away world, yaitu dunia yang sedang lari tunggang langgang. Tak ketinggalan, Yogyakarta yang dulu menyandang predikat sebagai kota budaya, kini pun harus terombang-ambing antara menjaga tradisi sebagai nilai-nilai luhur kebangsaan dan terseret pada arus globalisasi yang menjadi keniscayaan sejarah.
Globalisasi tak dapat ditolak kedatangannya, dan memang tak perlu ditolak. Itulah kesimpulan akbar S. Ahmed. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita mampu mewarnai globalisasi dengan tradisi-tradisi yang telah mengakar dalam kehidupan kita. Sehingga kita tak hanya jadi objek kehidupan global yang tak mengenal toleransi dan kemanusiaan. Tanpa berpegang pada kebudayaan asli kita, globalisasi akan menyeret kita pada disaquilibrium society atau masyarakat yang tidak berkeseimbangan.
Apa yang terjadi pada Yogyakarta sekarang adalah tidak lain dari gejala-gejala yang akan berakibat pada ketidakseimbangan masyarakat. Masa depan pasar tradisional, tukang becak, pedagang kaki lima, industri rumah tangga dan yang lainnya sudah mulai terancam dengan pola kehidupannya yang baru, yang didesain dengan menarik dan praktis oleh para pemegang modal yang ingin menumpuk harta kekayaannya. Berdirinya mal-mal, supermarket yang diramaikan oleh pusat-pusat investor-investor dari luar, terbukti telah menyedot masyarakat menjadi bergaya hidup yang konsumtif.
Pada sisi lain, pasar tradisional yang menjadi kegiatan ekonomi rakyat yang berbasis kultural mengalami keterpurukan, karena telah digeser perannya oleh pusat-pusat perbelanjaan yang megah dengan citraan modern dan status sosial yang tinggi. Beberapa dekade yang lalu, pasar-pasar tersebut adalah ikon bagi pariwisata yang melekat pada budaya Yogyakarta.
Tidak hanya itu, pasar-pasar tradisional dengan aktivitas di dalamnya adalah kenangan unik tersendiri bagi para pendatang. Pedagang-pedagang kecil yang berdatangan dari perdesaan dengan aneka jajanan yang khas, adalah bentuk ekonomi kerakyatan yang murah dan ramah lingkungan.
Ibu-ibu yang yang melakukan transaksi di dalamnya secara tidak langsung menjalin hubungan emosional antara pedagang dan pembeli tampak memandang status sosial dalam masyarakat. Ibu-ibu pedagang, mereka adalah tulang punggung ekonomi keluarga yang yang menghidupi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Namun ketika posisinya telah digeser oleh bangunan mal yang berdiri dengan angkuh dan sombong, bukan hanya tradisi Yogyakarta yang akan menemui ajal kematian, melainkan rakyat kecil atau pelaku ekonomi pasar tradisional pun akan terpangkas. Jika ini berlarut, pendapatan nasional pun akan menurun. Sebab, pemusatan pendapatan pada para pemengang kekuasaan ekonomi makro jelas akan menurunkan pendapatan perkapita rakyat.
Nasib para pengguna sepeda yang dulu pernah populer di Yogyakarta, kini pun terancam dengan merebaknya sepeda motor yang menjadi produk baru kapitalisme. Sepeda onthel yang sempat mendapat tempat di hati para wisatawan, kini harus mati karena telah dilabelisasi atau diidentikkan kemiskinan atau tradisional oleh ideologi global.
Gaya baru kendaraan bermesin, yang kini menjadi tren masyarakat, telah mengakibatkan dampak negatif yang berupa semakin mahalnya biaya hidup. Di jalan, pengendara sepeda mendapatkan perlakuan yang kurang sopan dan toleran, karena mereka seakan-akan telah dicap sebagai kelompok masyarakat pinggiran (marginal) yang miskin dan tradisional. Dengan keangkuhannya, para pengendara kendaraan bermesin melecehkan mereka yang takrama lingkungan dan melakukan pemborosan berupa minyak bumi sebagai bahan bakarnya.
Para pengrajin industri rumah tangga, yang selama ini dikerjakan dengan permodalan yang pas-pasan ternyata mampu mewarnai kekhasan kota Yogyakarta sebagai kota yang mempunyai daya kreativitas yang lebih di banding dengan daerah lain. Inilah yang membedakan antara Yogyakarta dan kota-kota metropolis lainnya. Yogyakarta sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah selatan ditujukan tetap menjadi kota budaya, kota pariwisata, dan kota pendidikan.
Berdirinya mal-mal berarti penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran terhadap kemiskinan. Di tengah perekonomian bangsa yang memprihatinkan, seharusnya pemerintah melakukan pemberdayaan ekonomi yang berbasis pada rakyat kecil, bukan melakukan pembangunan besar-besaran yang memberikan fasilitas kepada para pemodal yang berlaku kejam terhadap rakyat miskin.
Daya tarik suatu daerah atau kota, bukanlah karena berdirinya bangunan-bangunan yang megah, berseliweran mobil-mobil mewah, menggusur potensi rakyat, tetapi bagaimana berupaya kebudayaan Yogyakarta yang dulu menjadi kota tujuan pariwisata. Jika sekarang yang terjadi adalah kekaguman terhadap globalisasi, lantas apa yang bisa menjadi daya tarik Yogyakarta?
Tradisi dan adat Yogyakarta tetap harus dipertahankan dan dikembangkan sebagai bentuk perlawanan terhadap kejamnya arus modernisasi yang dijadikan alat kapitalisme modal untuk memberikan standar-standar terhadap semua aspek kehidupan.
Keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan yang selalu dijadikan senjata oleh kapitalisme untuk memberi label kepada mereka yang tidak mengikuti skenario mereka, harus kita pangkas dengan benar-benar sepenuhnya sadar bahwa itu semua adalah kebohongan semata.
Eksistensi manusia tidak ditentukan oleh kemewahan hidup atau hal-hal yang bersifat material, tetapi akal budi yang sehat dan berlandaskan hati nuranilah yang akan membentuk kemanusiaan itu sendiri.
* Ach. Basyir, Peneliti pada Pusat Kajian Kebijakan Publik Fak. Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment