Sunday, October 19, 2008

Cultuurtaal Aspek Ekstralinguistik

-- Saifur Rohman

JAUH-JAUH hari sebelum Sutan TakdirAlisyahbana menuliskan peribahasa ”Bahasa adalah jiwa bangsa” (dalam Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia, 1957: 109) dan ungkapan ”Bahasa menunjukkan bangsa” tulisan M Jamin yang menjadi sangat terkenal dalam pidato kongres pemuda I pada 1926, seorang Belanda bernama GF Pijper telah menulis tentang bahasa dalam Het Boek er Duizend Vragen (1924).

Menurutnya, Het Maleisch is bestemd de cultuurtaal te worden van den indischen Archipel (1924: 231). Artinya, bahasa Melayu pastilah menjadi bahasa kebudayaan di Kepulauan Hindia. Cultuurtaal atau bahasa kebudayaan pertama-tama harus dimengerti sebagai sebuah representasi linguistis dari lanskap kebudayaan yang hendak dihadirkan (diimajinasikan, istilah Ben Anderson).

Sebagai sebuah representasi, bahasa Melayu telah memanggul identitas kebangsaan di masa pemerintahan Hindia Belanda (konsep archai), mengidap fakta masa itu sebagai lingua franca (konsep ousia), dan sekaligus mengandung masa depan sebuah kebudayaan (konsep telos).

Sebab, sebagai representasi yang mengandung archai, ousia, dan telos itu pula maka bahasa Indonesia sesungguhnya bukanlah kebudayaan itu sendiri (an sich) karena unsur kebudayaan bukan hanya bahasa. Selama ini,dalam berbagai kesempatan ilmiah ataupun nonilmiah, istilah ”bahasa menunjukkan bangsa”telah menjadi aforisme yang tak terelakkan untuk mendukung argumentasi tentang pentingnya menjaga kelestarian.

Akan tetapi, di saat yang sama, jarang dipikirkan bahwa bahasa merupakan substratum dari satu sistem kebudayaan yang lebih luas.Perilaku bangsa itulah yang melahirkan bahasa sehingga dapat memformulasikan karakter bangsa di dalam gramatika bahasa.

Karena itu, Sumpah Pemuda pada 1928 haruslah dimengerti sebagai medium dari spirit kebangsaan yang berada di luar kaidah-kaidah kebahasaan. Itulah sebabnya pengutipan, penelitian, serta penulisan rumusan Sumpah Pemuda (dalam gramatika ”bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung satu bahasa”—bukan berbahasa satu) hanya akan semakin kering dari makna karena tanpa proses tafsir yang mengikutsertakan aspek-aspek di luar titik koma (ekstralinguistik).

Aspek ekstralinguistik dalam konsepsi Raymond Thallis adalah unsur yang tidak terkatakan, tersimpan di balik kesadaran, tetapi lekat, aktual, dan memberikan karakter kebudayaan. Karakter kebudayaanlah yang memformulasikan dirinya di dalam sintaksis sumpah pemuda.

Karakter seperti nasionalisme M Jamin, modernitas Sutan Takdir,transformasi kultural India model Sanusi Pane,dan tradisionalisme Armijn Pane tidak pernah terumuskan di dalam struktur gramatika, tetapi kehadiran mereka menjadikan bahasa resmi negara menjadi seperti sekarang ini.

Bila argumentasi itu benar, karakter kebangsaan masa kini adalah determinan dari kondisi kebahasaan masa depan.Indikasi-indikasi empiris tentu bisa dilihat dalam minat generasi muda di dalam institusi bahasa dan sastra Indonesia, pemakaian judul acara di media massa (tunjuk saja televisi), keterampilan berbahasa asing bukan lagi tuntutan khusus dalam sebuah institusi serta perkembangan bahasa prokem dalam teknologi yang meledak tak terkendali.

Indikasi itu serbasedikit memberikan gambaran tentang pengaruhpengaruh mendasar dalam perkembangan bahasa kita. Pengaruhpengaruh itu, dalam kaca mata kebudayaan, dapat dirumuskan dalam empat pengaruh mendasar. Pertama, visi politik kebangsaan para elite politik. Kedua, perilaku berbahasa media massa,yang ketiga, globalisasi, dan keempat adalah kehadiran teknologi informasi dan sejenisnya.

Marilah empat hal itu dilihat dari teori kebudayaan Kluckhon, bahwa unsur terkuat adalah yang pertama,sedangkan unsur pengaruh yang mudah berubah adalah yang keempat. Visi politik kebangsaan masa kini memang mulai bergeser.

Idealitas, spirit, dan karakter yang diawetkan para pendiri di dalam rumusanrumusan gramatika Pancasila mengalami pergeseran di tangan penerusnya. Jajak pendapat KOMPAS (30/9) membuktikan lebih dari 25% masyarakat tidak hafal gramatika Pancasila.

Sila yang paling dilupakan adalah kerakyatan (sila ke-4) sebesar 30.2%, disusul sila keadilan (sila ke-5) 28,8%, kemanusiaan (sila ke-2) 27,8%, persatuan (sila ke-3) 23,8%, dan ketuhanan (sila ke-1) 9,0%.

Konkretnya, rumusan gramatika para pendiri bangsa itu tidak ditemukan di dalam teks-teks yang disusun elite politik.Konsepsi hak asasi (kemanusiaan yang adil dan beradab) tidak ditemukan di dalam pasal-pasal yang mengangkat kemanusiaan sebagaimana terlihat dalam UU No 39/1999 tentang HAM.Istilah ”adil dan beradab” diganti dengan konsepsi HAM model Barat yang ”beradab, setara, dan bersaudara”.

Istilah ”keadilan sosial” telah berganti dengan ”keadilan atas penanaman modal asing” sebagaimana termaktub di dalam SK Menteri Perindustrian No 107/MPP/Kep/2/1998. Istilah ”persatuan Indonesia” diwujudkan dengan ”partai lokal”. Istilah ”kerakyatan” telah berganti spirit dengan ”kerakyatan berdasarkan iklan”.(*)

* Saifur Rohman, Dosen Bahasa Indonesia di Universitas Semarang Hari

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 19 Oktober 2008

No comments: