-- Subhan SD
KETIKA sejumlah pelajar Indonesia asyik memainkan lagu Rayuan Pulau Kelapa dalam alunan musik kolintang pada pembukaan Indonesia Expo di Kedutaan Besar Indonesia di Moskwa akhir September lalu, seorang lelaki tiba-tiba berdiri dan menyanyikan lagu ciptaan Ismail Marzuki itu dalam bahasa Rusia.
Pria itu, Prof Dr Alexey Drugov, merasa selalu rindu Indonesia. Maka, saat mendengar alunan musik kolintang, ia meminta pengeras suara. Tanpa sungkan, ia bernyanyi di hadapan ratusan undangan. Kerinduannya kepada Indonesia tak terungkapkan dengan kata-kata. Kedekatannya dengan Indonesia hanya bisa dirasakan di dada. Drugov yang mahir berpantun itu adalah salah satu benang sejarah hubungan Indonesia dan Rusia.
Oleh karena itu, ia melakukan penelitian tentang Indonesia, khususnya sejarah politik. Guru besar dan peneliti utama pada jurusan bahasa dan sejarah di Lembaga Ketimuran Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia sejak tahun 1960 ini melahirkan sejumlah buku (dalam bahasa Rusia) mengenai sejarah dan politik Indonesia modern, terutama terkait dengan rezim penguasa di Indonesia. Studi itu dia lakukan secara intens sejak zaman Demokrasi Terpimpin hingga kini.
Menurut Drugov, sejak reformasi menjadi panglima dalam 10 tahun terakhir, terlalu banyak tuntutan yang ditimpakan di pundak pemimpin Indonesia. Sosok pemimpin diharapkan segera menyelesaikan semua persoalan yang membelit sejak negeri ini dilanda krisis ekonomi. Padahal, problem bangsa Indonesia begitu kompleks sehingga tugas itu tak mudah.
”Baru saja bangsa Indonesia memasuki sistem demokratis. Bukan hanya Presiden Yudhoyono, siapa pun tak akan sanggup (menangani problem bangsa yang kompleks). Seharusnya semua pihak punya tanggung jawab,” kata ayah satu anak dan kakek dua cucu ini.
Butuh waktu lama
Dari potret presiden yang telah memimpin Indonesia, sebenarnya bisa dengan mudah ditarik pelajaran. Fenomena Soekarno sungguh menarik karena bisa diamati bagaimana tokoh itu tampil jaya, kemudian tumbang serta bangkit kembali dalam pemikiran-pemikirannya.
Menurut Drugov, Soeharto memiliki hubungan dengan upaya pemberangusan banyak orang pada masa Orde Baru. Sedangkan BJ Habibie terkenal pintar, tetapi dikenal dekat dengan Soeharto. Baginya, Presiden Abdurrahman Wahid adalah bukti Islam yang demokratis. Sedangkan Megawati Soekarnoputri memiliki hubungan dengan pemikiran Soekarno.
Bagaimana dengan Susilo Bambang Yudhoyono? Kata Drugov, Yudhoyono tidak hanya memikirkan kemajuan ekonomi, tetapi ia juga memerhatikan sisi kepribadian atau watak bangsa.
Memang, tambahnya, sebagai sebuah bangsa, kemajuan di bidang ekonomi menjadi sasaran utama. Bagaimanapun, kesejahteraan rakyat adalah cita-cita luhur dari sebuah entitas yang mengikat diri sebagai bangsa. Namun, bangsa itu akan maju jika fondasinya, watak kebangsaannya kuat.
Jika mengejar salah satu di antaranya, yang terjadi adalah ketimpangan. Bangsa yang timpang justru akan mudah terpuruk. Bangsa itu menjadi rentan akan ancaman atau gangguan. Runyamnya, membutuhkan waktu yang lama untuk bisa bangkit.
Oleh karena itu, Drugov yang tak mampu menahan diri untuk ikut bernyanyi bila mendengar lagu Bengawan Solo ini mengingatkan, pembangunan ekonomi dan watak bangsa Indonesia haruslah seiring sejalan. Pembangunan yang terlalu berorientasi pada sendi-sendi ekonomi sebagaimana digencarkan pada masa Orba ternyata berfondasi keropos dan mudah rapuh.
”Ketika krisis, justru Indonesia yang terkena paling dahsyat di Asia Tenggara,” kata lelaki yang meraih gelar doktor pada tahun 1999 ini.
Begitu juga sebaliknya, bila pembangunan watak tak diimbangi pembangunan ekonomi sebagaimana pada masa Orde Lama, kekuatan bangsa pun mudah terkoyak. Kepercayaan terhadap pemimpin dengan mudah goyah dan ujung-ujungnya menyisakan problem besar. Ini sebagaimana dialami Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an.
Menjadi juru bahasa
Sejarah Indonesia, bagi Drugov, tak ubahnya bagian sejarah hidupnya. Wajarlah bila kerinduannya dengan Indonesia begitu tinggi. Apalagi, karena ia pernah berhubungan langsung dengan para tokoh Indonesia.
Persinggungannya dengan tokoh-tokoh Indonesia pada masa lalu terjadi ketika ia menjadi juru bahasa misi militer Uni Soviet di Indonesia selama tahun 1962- 1964. Saat peta politik Indonesia memanas itu, ia tinggal di Jakarta. Ia menjadi saksi pergolakan politik dan ideologi tiga titik: nasionalis, agama, dan komunis.
Ketika itu, ia menjadi salah satu kunci komunikasi kemesraan antara Indonesia dan Uni Soviet. Setiap kali pejabat Uni Soviet bertemu dengan petinggi Indonesia, dialah yang menjadi penerjemah. Sampai sekarang pun ia masih terkenang saat menjadi juru bahasa bagi Presiden Soekarno, Jenderal AH Nasution, Jenderal Ahmad Yani, Laksamana RE Martadinata, dan Marsekal Omar Dhani.
”Waktu itu banyak tokoh Soviet datang dalam rangka Trikora,” kata Drugov.
Sebelumnya, karena punya kemampuan berbahasa Indonesia, Drugov menjadi juru bahasa saat Festival Pemuda digelar di Moskwa tahun 1957. Salah satu pemuda yang datang kala itu, seingatnya, adalah penyair WS Rendra.
Tahun 1961-1962 ia menjadi juru bahasa perwira Angkatan Laut RI yang belajar tentang kapal selam di Vladivostok. Ia menjadi saksi kerja sama militer kedua negara saat pelatihan, tentang persenjataan, tank, hingga pesawat tempur seperti Sukhoi didatangkan ke Indonesia.
Ketertarikannya pada studi Indonesia sesungguhnya tanpa sengaja. Kala itu, saat komunisme dengan sistem yang kaku tak memungkinkannya memilih studi sesuai minatnya, studi jurusan Bahasa Indonesia adalah pilihan yang sudah ditentukan kampusnya, Moscow Institute of Foreign Relations yang berada di bawah Departemen Luar Negeri Uni Soviet pada tahun 1954.
Ketika itu, kenang Drugov, orang yang belajar bahasa Indonesia hanya sedikit, lima-enam orang Rusia, satu orang Ceko, seorang Jerman Timur, dan seorang Tionghoa. Siswa asal Jerman Timur, Gunther Galich, lalu menjadi Dubes Jerman Timur di Indonesia.
Kini, teman-teman seangkatan Drugov yang mampu memahami Indonesia, baik dalam bahasa maupun peta politik, semakin sedikit. Orang-orang lama di masa yang melambangkan romantika hubungan Indonesia-Uni Soviet kian berkurang.
Kalau saja ada yang bisa dipetik dari sejarah, betapapun kelamnya, mestinya bisa memunculkan tunas-tunas yang mampu menjalin hubungan baru di antara kedua bangsa. Itulah pula yang menjadi kerinduan Drugov.
Biodata
Nama: Alexey Drugov
Lahir: Moskwa, 12 April 1937
Istri: Natalia
Pendidikan: Moscow Institute of Foreign Relations, jurusan Bahasa Indonesia
Pekerjaan: Guru besar di Lembaga Ketimuran Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia
Buku:
1. ”Indonesia dalam Masa Demokrasi Terpimpin”, 1969
2. ”Indonesia Sesudah 1965”, 1972
3. ”Rezim Politik di Indonesia”, 1987
4. ”Rezim dan Budaya Politik Indonesia”, 1998
5. ”Indonesia” (buku ajar untuk mahasiswa), 2005
6. ”Indonesia Zaman Reformasi 1987-2006”, masih dalam proses
Sumber: Kompas, Senin, 20 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment