DIA percaya pada takdir. Jalan hidupnya yang penuh onak dan duri diyakini bukanlah kebetulan. Ada semacam garis nasib yang membentang antara kampung halaman di pedalaman Pariaman, Sumatera Barat, hingga Leiden, Belanda, tempat ia bermukim sejak 10 tahun terakhir.
Suryadi memang tipikal perantau Minang. Ulet dan tahan banting. Hanya saja, sebagai perantau, ia tak menekuni sektor informal, sebagaimana profesi urang awak perantauan umumnya. Ia memilih jalur keilmuan melalui dunia akademik. Bidang yang ia tekuni pun tak terlalu umum: naskah-naskah lama!
Menjadi penelaah naskah dan buku klasik (bahasa kerennya filolog) memang bukan profesi yang bisa mengantarkannya menjadi selebritas, seperti fenomena para ”komentator” bidang ekonomi, politik, dan hukum di Tanah Air. Dari aspek ekonomi pun, profesi ini jauh dari menjanjikan kehidupan mewah dan berkecukupan.
Namun, di balik dunia yang sepi itu, ketika larut bersama naskah tua yang ia kaji di pojok perpustakaan di berbagai perguruan tinggi di Eropa, Suryadi mengaku menemukan ”dunia kecil”-nya itu justru luas membentang. Jalan kehidupan dia kian terbuka lebar.
”Ternyata saya tidak sendiri. Ada juga orang lain yang menyukai bidang ini, yang bisa menjadi teman dalam satu network keilmuan,” tuturnya.
Hasil penelitian yang ia publikasikan di sejumlah jurnal internasional banyak mendapat tanggapan. Kajiannya atas surat raja-raja Buton, Bima, Gowa, dan Minangkabau, misalnya, dimasukkan dalam satu proyek (Malay Concordance Project) yang berpusat di Australian National University, Camberra, Australia.
Berkat penelitiannya atas naskah-naskah lama itu pula ia kerap diundang menjadi pemakalah seminar di mancanegara. Suryadi bahkan dipercaya memimpin satu proyek pernaskahan yang didanai the British Library.
Kajian komprehensif atas Syair Lampung Karam—satu-satunya sumber pribumi tentang letusan Gunung Krakatau tahun 1883, yang diikuti gelombang tsunami dan memorak-porandakan wilayah sekitar Selat Sunda (Kompas, 12 September 2008)—hanya satu dari sekian banyak teks Melayu klasik yang sudah ia teliti.
Syair dalam tulisan Arab-Melayu alias Jawi itu kemudian ia transliterasikan ke teks beraksara Latin, sebelum dibandingkannya dengan pandangan para penulis asing (baca: Eropa).
Menggeluti naskah lama atau buku-buku klasik mengenai Nusantara ternyata memberi keasyikan tersendiri bagi Suryadi. Perpustakaan KITLV dan Universiteitsbibliotheek Leiden menjadi rumah kedua, tempat ia ”bersemedi”, intens menekuni ribuan naskah tentang Indonesia yang pada zaman kolonial diangkut ke negeri Belanda.
”Saya seperti menyelam ke masa lalu. Banyak hal menarik dari bangsa kita yang terekam dari naskah-naskah lama. Kadang, sewaktu membaca, saya tertawa sendiri,” ujarnya.
Honor seadanya
Tahun 1998 menjadi semacam titik balik bagi Suryadi. Sejak September 1998 ia menetap di Belanda, negeri tempat naskah-naskah lama tentang Nusantara menumpuk. Ia memulai bekerja sebagai pengajar di Universiteit Leiden untuk penutur asli bahasa Indonesia.
Jalan menuju ke Leiden penuh tikungan. Setelah menunggu tanpa kepastian sebagai asisten dosen di Universitas Indonesia (UI, 1994-1998), pada pertengahan 1998 lowongan (vacature) mengajar di Universiteit Leiden datang. Peluang itu langsung ia tangkap. Lamarannya diterima.
”Ini sebenarnya soal jalan hidup saja. Soal pilihan,” kata Suryadi terkait kepergiannya dari UI.
Menunggu tanpa kepastian—juga tanpa masa depan yang jelas—seperti dilakoninya semasa menjadi asisten dosen di UI, bukan hal baru. Sebelumnya, saat diajak Lukman Ali (alm)—dan didukung filolog senior Achadiati Ikram—untuk merintis pengembangan studi Bahasa dan Sastra Minangkabau di UI, Suryadi sudah tiga tahun diterima sebagai asisten dosen di almamaternya: Universitas Andalas (Unand) di Padang.
Seperti halnya saat meninggalkan UI, di Unand pun ia menunggu tanpa kepastian kapan diangkat menjadi dosen tetap. Tentang hal ini, ia hanya berkata, ”Konon, kata mereka, karena tak ada posisi. Tapi anehnya, yang belakangan lulus dari saya diangkat jadi dosen. Saya tidak tahu kenapa?”
Begitu pun di UI. Hidup di Jakarta dari honor sebagai asisten dosen tentu sulit dibayangkan. Di tahun terakhirnya di UI, ia menerima Rp 70.000-an sebulan. Ini pun jauh lebih baik mengingat pada tahun awal ia mendapat honor Rp 35.000 sebulan.
Untuk biaya kontrak rumah saja tak cukup. Menyiasati keadaan ini, Suryadi mendekati teman-teman sesama asisten dosen. Dengan semangat gotong royong ia bersama empat teman bisa menyewa rumah kontrakan di Gang Fatimah, Depok, Jawa Barat.
Bagaimana untuk hidup sehari-hari? ”Saya terpaksa mencari obyekan. Misalnya, selama beberapa tahun saya membantu Ibu Pudentia di Asosiasi Tradisi Lisan. Barangkali memang tidak ada suratan tangan saya menjadi pegawai negeri,” katanya.
Masa kecil
Hidup di tengah penderitaan bukan hal baru baginya. Terlahir sebagai anak petani kebanyakan di Nagari Sunur, Pariaman, sejak kecil Suryadi hidup hanya dengan ibunya, Syamsiar. Orangtuanya bercerai. Ibunya kawin lagi, tetapi perkawinan itu pun bubar setelah memberi Suryadi satu adik lelaki bernama Mulyadi.
Di tengah kondisi serba pas-pasan, ia menamatkan SD di Sunur (1977). Kesulitan hidup juga menyertainya saat di SMP Negeri 3 Pariaman di Kurai Taji (1981). Begitu pun ketika menyelesaikan pendidikan lanjutannya di SMA Negeri 2 Pariaman (1985).
Akibat kesulitan biaya hidup, setamat SMA Suryadi tak bisa langsung kuliah. Setahun ia menganggur, sebelum masuk Unand di Padang. ”Saya masih ingat, Ibu menjual cincin satu-satunya untuk membayar uang masuk kuliah saya.”
Selama kuliah, ia mondok di rumah saudara ibunya, Emi. Suami Emi, Duski Sirun—yang dipanggil Suryadi dengan sebutan Apak—punya beberapa toko kain di Pasar Raya Padang. Di sinilah Suryadi kerja, membantu Apak-nya sambil kuliah. Tak ada gaji, kecuali imbalan tinggal dan makan gratis di rumah sang Apak, serta dibayarkan uang kuliah.
Begitulah selama lima tahun ia kerja siang-malam, termasuk kuliah. Pagi sekitar pukul 05.00 ia bangun dan segera ke pasar untuk membuka toko. ”Kalau ada kuliah, saya ’lari’ ke kampus, lalu kembali ke toko. Malam hari, di tengah rasa capek, saya ulangi pelajaran. Kadang sampai larut, padahal pagi-pagi saya harus bangun dan ke pasar membuka toko,” ujarnya.
Hidup memang butuh perjuangan. Pengelanaannya hingga bermukim di Leiden, meretas tradisi pengajar tamu bagi penutur asli bahasa Indonesia di Leiden yang maksimal lima tahun, tetap saja membutuhkan perjuangan baru. Ia merasa seperti pengelana (wanderer) yang tak punya rumah tetap, tempat berdiam.
Tak ingin pulang? ”Pasti saya tidak selamanya di Leiden. Suatu saat saya dan keluarga tentu pulang ke Indonesia, atau mungkin pindah rantau ke negara lain. Biasanya seorang wanderer selamanya akan jadi wanderer,” tambahnya.
Itulah Suryadi. Berbeda dengan slogan seorang politisi masa kini bahwa hidup adalah perbuatan, ia masih dibelenggu masa lalu: hidup adalah perjuangan! Entah sampai kapan.... (ken)
Sumber: Kompas, Jumat, 17 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment