JAKARTA, KOMPAS - Akurasi merupakan syarat mutlak karya sejarawan. Akurasi tercapai antara lain dengan mengindahkan masukan dari piranti bantu, seperti arkeologi, epigrafi, paleografi, kronologi, dan statistik. Demikian salah satu butir orasi ilmiah Dr A Eddy Kristiyanto OFM dalam acara pengukuhan sebagai guru besar Sejarah Gereja di aula Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (25/10). Sidang Terbuka Senat STF Driyarkara dipimpin Pembantu Ketua I Dr JB Hari Kustanto.
Fakta itu suci, opini itu bebas, demikian Eddy, tetapi banyak orang tahu cara paling efektif untuk memengaruhi massa, yaitu dengan menyeleksi dan menyusun fakta secara tepat.
Prof Eddy merasa ”enggan” menggunakan pendekatan dekonstruksionisme yang disederhanakan sebagai deskripsi hitam putih yang menuntut, kebenaran sejarah adalah kesesuaian ungkapan dan fakta sehingga kebenaran harus dibongkar. Pendekatan itu ada baiknya diperhatikan agar pendasaran teori sejarah bisa seobyektif mungkin. Pendekatan ini tidak sekadar deskripsi hitam putih, tetapi sebuah karya sejarah yang memungkinkan sejarawan memiliki cara penggambaran, penafsiran, dan pola memaknai yang berbeda-beda meskipun peristiwa yang disorot sama.
Fakta hanya berbicara apabila sejarawan mencari, menemukan, dan mengolahnya. ”Hanya sejarawan yang memutuskan apakah Supersemar itu suatu fakta historis, kendati pada tanggal yang sama ada sekian juta orang yang menulis surat. Kenyataan ini bisa saja tidak digubris oleh sejarawan.”
Menurut Ketua STF Driyarkara itu, sejarawan mutlak perlu melakukan seleksi atas fakta. Fakta menyangkut interpretasi. Amat sering sejarah dicemari fakta nonhistoris, sehingga bidaah dalam sejarah pun bermunculan, karena sejarah kemudian terdiri atas himpunan fakta yang tidak dapat ditolak dan tidak obyektif. Sejarah merupakan perekayasaan dalam pikiran sejarawan. Penyusunan masa lalu tergantung dari data empiris, yang mengharuskan seleksi dan penafsiran fakta historis. Menulis sejarah merupakan satu-satunya jalan membuat sejarah.
Dengan proses di atas, untuk mendeskripsikan masa lalu dengan akurat dan obyektif, sejarawan dituntut konsisten menaati prinsip-prinsip penelitian dengan semangat ”kebenaran ilmiah”, tidak berat sebelah, jauh dari purbasangka, bebas dari kepentingan nonilmiah, dan bersifat induktif. Persyaratan hanya dilakukan lewat interpretasi.
Sesuai judul orasinya ”Sejarah sebagai locus philosophicus et theologicus”, Prof Eddy menyimpulkan, menjadi seorang sejarawan filsafat berarti mengolah filsafat dari si subyek. Menjadi seorang sejarawan teologi berarti mengolah teologi dari si subyek. Di antara para filsuf dan teolog ada ketegangan bahkan konflik, perlu disadari pada dasarnya bersatu padu, yakni di dalam Tuhan yang adalah asal usul sekaligus tujuan eksistensi segala sesuatu yang ada, yang kini ada, dan yang akan ada.
Lahir di Ngemplak, Sleman, DI Yogyakarta, 5 Juli 1958, doktor sejarah Gereja lulusan Universitas Gregoriana tahun 1996 dan masuk Ordo Fransiskan sejak 1978, Romo Eddy Kristiyanto sejak 2007 adalah Ketua STF Driyarkara. Beberapa karya buku, di antaranya, Sakramen Politik. Mempertanggungjawabkan Memoria (2008) dan Visi Historis Komprehensif, Sebuah Pengantar (2003). (STS)
Sumber: Kompas, Senin, 27 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment