-- M. Yunis*
KETIKA ruang dikalahkan oleh waktu, ketika tindakan telah dipadatkan, dan di saat makna kehilangan perannya di dalam realitas, maka saat itulah terciptanya dunia Cyber yang semakin lama semakin berkuasa terhadap manusia sebagai penciptanya. Di awali dengan perlombaan mengejar nafsu; nafsu ekonomi, nafsu politik, nafsu meteri, benda-benda, hingga nafsu sexs. Alhasil, sebagian nilai-nilai mulai kehilangan makna di dalam realitas, karena realitas kini diciptakan telah melampoi batas-batas alamiahnya sebagai realitas, para ahli menyebutnya dengan hyperealitas.
Hal ini sebuah kenyataan bahwa hyperealitas masyarakat kita sudah mulai berkembang tanpa sesuatu pun dapat membendung. Ketika semua barang produksi telah dimanfaatkan di luar batas-batas kegunaannya sebagai pemuas hasrat manusia. Di sini para produsen maupun konsumen telah melakukan kesalahan fatal dan nyata, ketika para penikmat tidak menghiraukan lagi batas ruang dan waktu, semua bisa dilewati dalam sekejap. Meminjam istilah Amir Piliang (2004) umpama sehelai kertas yang dilipat, dan terus dilipat hingga kertas tersebut mencapai batas titik yang tidak bisa dilipat lagi.
Begitulah di saat manusia dikuasai oleh cyber, semua serba simpel dan instans. Waktu kian hari semakin ditaklukan, segala ruang yang harus dilewati telah disngkirkan, untuk menempuh jarak yang begitu jauh pun dapat dilakukan dengan sekejap dan tepat. Sayangnya di sini yang menjadi korban adalah makna, dan nilai-nilai yang menjdi batas kewajaran sebagai realitas. Tampaknya, siapa saja yang mampu memepermainkan tanda, dengan mengangggap penanda (subjek) sebagai pengauasa yang mengeksploitasi petanda (objek) dialah yang akan maju, sementara bagi siapa yang cenderung diam akan tergilas dalam percaturan global.
Bayangkan saja, semua informasi berskala dunia dapat diakses lewat media internet. Berita skandal sexs madona, skandal artis ngetop, free sexs, cybersexs, violence dapat diakses dengan sekejap, seakan-akan dunia ini tanpa pembatas. Namun, semuanya itu adalah kenisbian, tanpa tujuan, tanpa akhir yang nyata, semua berada pada titik kesemuan belaka. Lalu apakah yang dicari manusia? Harta benda, kekuasaan, jabatan, atau sexs? Sementara manusia itu sendiri sebagai pencipta mesin telah dikuasai oleh ciptaannya, punya ilmu pengetahuan yang tinggi tetapi diperbudak oleh ilmunya, ahli filsafat nyatanya menjadi budak filsafat, ahli kebudayaan tetapi dipenjara oleh kebudayaan itu sendiri.
Sehingga akhirnya manusia kembali pada masa primitif yang tanpa kebudayaan. Padahal kebudayaan yang telah diwariskan oleh leluhur sangatlah agung dan serat dengan niali-nilai moral, hal ini berguna sebagai tuntunan dalam hidup. Masyarakat dulu contohnya, menganal kekeluargaan, kegotongroyongan demi kemajuan bersama. Namun, masyarakat Cyber kita kehilangan segalanya.
Sekarang diciptakan kembali sistem nilai, norma-norma namun di dalamnya sudah ditunggangi oleh kepentingan akan materi dan kekuasaan saja. Kalau tidak menguntungkan, nilai dan norma-norma itu tidak akan bertahan lama. Contohnya di Sumtra Barat digagas lagi kembali kenagari dan kembali ke surau yang sekian lama hilang dari percaturan politik permerintahan. Hasil dari itu, para perangkat nagari, perangkat adat, penghulu tidak mampu lagi bertindak seidealnya seorang pemimpim. Tanah pusaka yang dijual penghulu, gela adat diperjual belikan, arsip-arsip lama yang digadaikan keluar negri, hingga spiritual jadi barang dagangan, semuanya itu nyata adanya.
Siapa yang tidak tahu ESQ power? Ini adalah bentuk nyata dari virus Cyber ciptaan manusia, kian hari kian merusak jaringan-jaringan spiritual itu sendiri. Mungkin virus ini yang mengambil alih dakwah dan berkata, ‘’wahai manusia bertobatlah, dekatkan diri kepada penciptamu, tapi dengan bayaran tentunya!’’. Begitu berharganya spiritualitas. Kenapa ini terjadi? Kemanakah pendakwah-pendakwah kita? Jika dilihat mereka itu masih ada, banyak, dan bahkan pesantern-pesantren setiap tahunnya mengasilkan lulusan terbaik, belum lagi intitusi-institusi islam juga mengahsilkan sarjana agama, namun sayangnya mereka telah menjadi produk cyber yang ujung-ujungnya tetap tidak mencapai titik spiritual.
Perhatikanlah zaman sekarang, sudah jarang terdegar para penyair yang berkata pada ilalang, bercengkrama dengan rumput yang bergoyang, bercerloteh dengan burung camar, sebab penyair sudah kehilangan makna ilalang, kehilangan makna rumput yang bergoyang, dan juga kehilangan merdunya siulan burung camar. Tiada lagi kesunyian, menyepi dalam mencari inspirasi. Kalau dulu kesunyian dapat menimbulkan iamjinasi, dapat bertemu tuhan dan berdialog dengan tuhan melalui zikir sehingga tubuh ini mengawang.
Namun sekarang tiada lagi ruang sunyi, ruang penyepi untuk beristitarahat sejenak dari kepenatan dunia, sebab dimanapun kita berada, dunia sunyi mana yang dipilih tetap saja dkejar oleh kecanggihan teknologi. Menyendiri di dalam rungan tidak bisa karena ruang telah ditaklukan oleh waktu, setiap sudut ruangan telah diakses internet, menyendiri dalam gua tetap tidak bisa karena telah ditaklukan oleh Henpone, mau mematikan henpone tetapi takut ketinggalan informasi sebab resikonya adalah digilas dan ditinggalakan oleh globalisasi.
Andai saja hiburan hanya sebatas pelepas dari lelah bekerja realitas akan sedikit lain. Tetapi kebudayaan cyber melwati batas tersebut, membaca sambil memeang remot control, berbicara sambil di WC, mengetik sambil dengar musik, semuanya serba cepat hingga tiada tersisi satu nafaspun untuk istirahat, sekali lagi sebab konsekwensinya adalah digilas oleh globalisasi.
Nah, siapakah yang mampu menyadarkan keterlenaan manusia dalam kebudayaan cyber? Jawabya adalah virus, seperti yang diulas sedikit di atas. Virus mampu mendakawahi dan menyadarkan manusia dari kehilangan tujuan. Virus spiritual seperti yang telah dijelaskan di atas. Kemudian virus HIV/AIDS sebagai pendakwah pecandu free sexs, virus UU pornografi dan porno aksi bagi orang yang suka mempertontonkan keindahan tubuh di tempat umum.
Namun begitu, setelah timbulnya virus pendakwah tersebut tetap saja manusia cyber tidak sadar, muncul UU pornografi dan porno akasi tetapi lokalisasi dilegalkan, muncul Virus HIV/AIDS tetapi kondom selalu diproduksi sebagai alat pengaman, muncul juga Virus ESQ tetapi setelah membaur kembali kedalam dunia cyber auranya kembali menguap, lalu kemuadian apa lagi?
Yasraf Amir Piliang mempertegas dalam dunia yang dilipat (2004:120) bahwa untuk mengembalikan manusia kontenporer pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan hati, dan ketajaman hati ditengah-tengah bujuk rayu, dan kepalsuan masyarakat konsumer, maka sebuah ruang bagi pengasahan spiritual harus dibangun kembali dari puing-puing reruntuhannya. Yasraf mencemaskan jika itu tidak dilakukan maka masyarakat global akan hanyut dalam belantara bujuk rayu, keterpesonaan, dan ketergiuran tanpa akhir dan tengelamlah ke dalam lembah ekstasi yang ektrims.
Kecemasan yasraf ini sangatlah beralasan, karena kehidupan ini belum sempura sebelum datang kematian. Kematain layaknya virus nyata yang akan menyapa setiap orang yang diinginkannya, sementara kesiapan untuk menyambut kedatangan kesempurnaan hidup itu belum ada, manusia masih berlomba-lomba ke dalam keterpesonaan, menikmati hidup tanpa tujuan, dan bahkan boleh dikatakan menuhankan hawa nafsu dan keinginan menaklukan dunia, padahal semuanya adalah kekosongan dan kehmapaan belaka.
Lalu bagaimana cara mendendangkan kembali pepatah-pepatah, menyanyikan lagu mitos-mitos lama seperti yang diharapkan Yasraf, jika hal itu masih sarat dengan kepentigan-kepentingan sekelompok orang? Sulit dan butuh pengorbanan yang mahal untuk melakukan itu.
Mungkin pembaca masih ingat cerita tentang mesin waktu yang mampu kembali kemasa lalu dan pergi ke masa depan, guna untuk memperbaiki masa depan yang telah rusak. Seperti yang diberitakan Kompas tanggal 26 Desember 2007 yang lalu, ‘’2007: di antara mesin waktu dan pussi amir hamzah’’. Kompas menerangkan bahwa seorang novelis HG Wells telah mencoba membuat penawaran untuk merealisasikan itu, 2002 yang lalu karya itu telah difilemkan dan ternyata berhasil memukau banyak penonton. Kemudian serial filem kartun Doraemon adalah robot titipan masa depan yang bisa memperbaiki waktu yang telah berlalu agar masa depan lebih sempurna, alhasil aktor nobita menjadi seorang pemalas.
Dua contoh di atas adalah sebuah kritikan atau kekecewaan terhadap dunia cyber, sehingga keinginan memperbaiki waktu yang telah berlalu dan telah menjadi sejarah yang ingin kembali direkontruksi sedemikian rupa.
* M. Yunis, Mahasiswa Pasca Sarjana Linguistik Unand
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 26 Oktober 2008
1 comment:
terimakasih atas postingnya
salam dari
M. Yunis
Post a Comment