Wednesday, October 22, 2008

Menjunjung Bahasa Persatuan

-- Agus Sri Danardana

JUDUL tulisan ini dikutip dari teks asli Sumpah Pemuda (butir ketiga) yang berbunyi: Kami putera dan puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Entah apa sebabnya, pernyataan sikap kebahasaan: menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia itu oleh banyak orang telah diubah menjadi sebuah pengakuan: berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Ada perbedaan mendasar antara pernyataan sikap: menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia dan pengakuan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Pernyataan sikap menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia mengimplisitkan adanya pengakuan atas keberadaan bahasa-bahasa lain (daerah dan asing) di Indonesia.

Sebaliknya, pengakuan berbahasa satu, bahasa Indonesia justru mengimplisitkan adanya penolakan atas keberadaan bahasa-bahasa lain (daerah dan asing) di Indonesia. Dengan demikian, mengubah pernyataan sikap kebahasaan: menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia menjadi sebuah pengakuan: berbahasa satu, bahasa Indonesia tidak hanya menyalahi teks asli Sumpah Pemuda, tetapi juga mengkhianati bangsa Indonesia, karena telah membelokkan arah politik bahasa nasional.

Harus diakui, terpaan arus globalisasi dan berembusnya gerakan reformasi telah menciptakan paradoks pada dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Globalisasi dan reformasi itu, ternyata, tidak hanya telah membuat masyarakat menjadi semakin seragam (homogen), tetapi juga telah membentuk cara pandang masyarakat terhadap dunia (terhadap identitas, citra diri, hingga nilai-nilai hidup) berubah.

Bangsa Indonesia sudah tersihir untuk selalu mengagumi segala hal yang berbau asing, tidak terkecuali dalam berbahasa. Lihatlah, betapa riuhnya kata-kata asing (terutama Inggris) telah menghiasi semua bentuk komunikasi bangsa ini. Celakanya, kata-kata asing itu berjejal tidak mewakili konsep-konsep baru, tetapi berjejal menggusur kata-kata yang sudah ada. Kata pertemuan, istirahat, dan kudapan, misalnya, saat ini semakin jarang disebut orang, karena kata-kata itu telah digusur oleh kata meeting, break, dan snack.

Atas kenyataan itu, agar tidak musnah terbawa arus global, mau tidak mau bangsa Indonesia harus mempertebal rasa nasionalismenya, membangun keindonesiaan tanpa harus mengorbankan keserbamultiannya. Bangsa Indonesia harus terus berlari mengejar kemajuan, tetapi tidak boleh kehilangan jati diri agar bangsa lain tetap dapat mengenalinya. Salah satu ciri keindonesiaan itu adalah bahasa Indonesia.

Lahirnya manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif (sebagaimana dikehendaki pemerintah, melalui visi Depdiknas) sesungguhnya dapat dimulai dari penanganan masalah kebahasaan. Dalam konteks Indonesia, manusia yang cerdas itu setidaknya dapat digolongkan ke dalam tiga kompetensi: lokal, nasional, dan internasional. Jika dikaitkan dengan kemampuan berbahasa, dapat dikatakan manusia cerdas berkompetensi lokal sesungguhnya cukup menguasai bahasa daerah tempat tinggalnya.

Ia baru akan menjadi manusia cerdas berkompetensi nasional jika menguasai pula bahasa Indonesia. Begitu seterusnya, ia baru akan menjadi manusia cerdas berkompetensi internasional jika menguasai pula bahasa asing. Dengan demikian, manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif itu adalah manusia Indonesia yang berjati diri. Di tingkat nasional, ia dapat dikenali kelokalannya. Di tingkat internasional, ia dapat dikenali keindonesiaannya.

Demikianlah, seiring dengan datangnya era globalisasi seperti sekarang ini, bangsa Indonesia perlu meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan di berbagai bidang, tidak terkecuali di bidang kebahasaan. Bangsa Indonesia cukup menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia (tidak perlu mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia), karena baik secara hukum maupun kenyataan mengakui keberadaan bahasa-bahasa lain, selain bahasa Indonesia.

Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, berarti menempatkan bahasa Indonesia di atas bahasa-bahasa lain itu. Dalam hal ini, bangsa Indonesia dapat meniru Jepang, Korea Selatan, dan China. Ketiga negara itu sangat bangga atas bahasanya. Dalam memberi penjelasan/aturan pakai produk-produknya, misalnya, mereka tidak hanya menggunakan bahasa negaranya, tetapi juga menggunakan aksara yang mereka miliki. Semoga.

* Agus Sri Danardana, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung

Sumber: Lampung Post, Rabu, 22 Oktober 2008

2 comments:

Anne Anggraeni said...

betul. sedih rasanya bahasa dianggap menjadi hal yang tidak penting bagi sebagian besar orang Indonesia, padahal semua ilmu dimulai dari bahasa. pelajaran bahasa Indonesia saja sampai-sampai tidak menimbulkan ketertarikan untuk mencintai bahasa ini. lalu harus darimana lagi mulai menggali rasa ingin tahu akan bahasa sendiri?

Anne Anggraeni said...
This comment has been removed by the author.