Jakarta, Kompas - Sastra masih terpinggirkan di dalam dunia pendidikan yang cenderung mengedepankan ilmu eksakta. Padahal, pendidikan sastra sangat penting untuk pembentukan karakter. Olimpiade sastra dipandang dapat menjadi salah satu upaya mengedepankan sastra.
Pengamat sastra dari Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, mengatakan, Sabtu (11/10), tersisihkannya sastra, juga bidang ilmu humaniora lainnya, tak lepas dari penekanan kebijakan pembangunan yang bersifat fisik dan adanya kebutuhan konkret terhadap ilmu eksakta. Terutama pada awal pembangunan, tahun 1950-an. Namun, dalam perkembangannya, ilmu eksakta jauh lebih dihargai daripada ilmu humaniora dan sosial.
Hal itu dikukuhkan oleh pandangan masyarakat. ”Di sekolah, siswa jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dianggap lebih cerdas daripada Ilmu Pengetahuan Sosial. Padahal, ilmu tidak dapat dipandang demikian karena secara holistik berkaitan dan saling melengkapi atau berkedudukan sejajar,” ujar Maman.
Sebagian masyarakat juga berpandangan sastra seakan membuang waktu dan tidak ada gunanya. Padahal, sastra berperan besar menanamkan nilai-nilai dan semacam investasi moral masa depan mengingat sastra berbicara tentang manusia dan kemanusiaan.
Persoalan lain, di dalam dunia pendidikan, adalah guru cenderung mengajarkan sastra dari aspek teori, bukan apresiasi. Ujian dan ulangan juga tidak menekankan apresiasi, tetapi hafalan dengan memberikan soal-soal pilihan ganda.
”Untuk siswa sekolah dasar dan menengah pertama seharusnya pembelajaran sastra menekankan agar anak membaca dan memberikan tanggapan terhadap karya. Tentu akan terjadi perbedaan penafsiran yang justru akan melahirkan sikap menghormati pendapat orang lain. Dalam apresiasi tidak ada istilah benar salah, tetapi mementingkan argumentasi dan alasannya. Mereka juga akan terdorong mempelajari karya lain guna mendukung gagasannya,” ujarnya.
Merangkum banyak aspek
Sastrawan Putu Wijaya mengatakan hal senada. ”Orang cenderung merasa sastra semacam hiburan dan melupakan sastra sebagai ilmu pengetahuan. Padahal, di dalam sastra terdapat segala macam ekspresi, misalnya, terdapat bahasa lisan, isyarat, tubuh, dan rupa. Sastra juga merangkum banyak aspek mulai dari agama, sejarah, antropologi, bahkan fisika,” katanya.
Putu mencontohkan, pengamat sosial politik Indonesia dari Universitas Cornell, Prof Benedict Anderson, menggunakan cerita-cerita pendek dalam telaah politiknya. Dalam karya Putu berjudul Nyali, misalnya, terlihat potret Indonesia pada 30 September 1965. Kaitan sastra dengan ilmu sosial sangat dekat.
Selama ini sastra hanya dianggap sebagai cerita. Sastra juga diajarkan bersama Bahasa Indonesia. Padahal, sastra merupakan ilmu tersendiri dan mencakup banyak dimensi. Ketika ditumpangkan dengan pelajaran Bahasa Indonesia, sastra berhenti pada hafalan-hafalan.
Olimpiade sastra
Maman juga berpendapat, olimpiade sastra dapat menjadi ajang mengangkat sastra di sekolah dan meningkatkan apresiasi terhadap sastra. Selama ini, di dunia pendidikan, olimpiade yang diselenggarakan lebih kepada bidang-bidang ilmu eksakta. Hanya saja penilaian dalam bidang sastra bersifat kualitatif.
”Siswa dapat diberikan puisi untuk kemudian diapresiasi dan juri akan menilai apresiasi tersebut berdasarkan alasan dan argumennya. Apresiasi itu juga dapat dilihat sejauh mana memberikan pencerahan baru dan menampilkan sisi yang selama ini tidak dilihat sehingga kekayaan teks dapat terungkap,” ujar Maman.
Penilaian berdasarkan kriteria tertentu dengan landasan teoretis yang disepakati dan menjadi pegangan obyektif. Tentu saja ada penilaian subyektif dalam menilai suatu karya sastra. Penilaian diumumkan dan terbuka untuk didebat. Dengan demikian, baik murid maupun juri menghargai perbedaan pendapat dan belajar memberikan argumentasi.
Putu Wijaya berpendapat bahwa olimpiade sastra merupakan ide yang menarik untuk dicoba. Terlebih lagi, sekarang, masyarakat tertarik dengan hal-hal yang populer. Akan tetapi, sebetulnya telah terdapat banyak festival sastra dan kompetisi yang digelar, hanya saja sifatnya tidak mencari juara.
Putu mengatakan, sekalipun sastra merupakan dunia kreatif yang terkadang bisa sangat subyektif dan terus berkembang nilai-nilainya, tetap saja dapat dilakukan penilaian karya. Penilaian terhadap suatu karya dilihat secara utuh. (INE)
Sumber: Kompas, Senin, 13 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment