-- Lugiena Dé*
Dengan politik, pernyataan-pernyataan tak usah cocok 100% dengan fakta, tapi --seperti halnya puisi-- harus bisa memesona.
Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 3
ENTAHLAH, sekonyong-konyong di Sabtu pagi, ketika jongkok di tukang koran, saya tiba-tiba tergoda untuk ikut jabung tumalapung, setelah membaca tanggapan lebih lanjut dalam "Puitika, Politika, Retorika" yang ditulis oleh Ahmad Syubbanudin Alwy. Ya, semoga saja bisa menjadi bahan perbandingan. Okeh, kita mulai saja...
Meskipun interpretasi saya mengatakan bahwa Mas Alwy cenderung satu pendapat dengan Kang Hikmat, namun tak urung saya tergoda untuk memberikan beberapa catatan terhadap keduanya.
Dalam menjelaskan duduk persoalan, tampaknya Mas Alwy dan Kang Hikmat agak terpaku oleh objek materi puisi an sich, yang sekarang jadi bahan diskusi kita, yaitu puisi Robert Frost, Chairil Anwar, serta pantun Tifatul Sembiring. Selain itu, tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap keduanya, Mas Alwy dan Kang Hikmat pun cenderung menggampangkan persoalan.
Mas Alwy berpendapat, "Kita tidak perlu sakit hati dengan sikap politisi." Memang betul, Mas Alwy. Kita tidak perlu mencak-mencak jika puisi dijadikan alat politik. Tentunya selama tidak melanggar undang-undang, berpolitik dengan menggunakan cara apa pun menjadi hak para politisi. Dan betul pula, kita tidak usah susah payah menggunakan paradigma kritik seni untuk dijadikan landasan analisis terhadap interpretasi makna puisi yang telah dimiskinkan para politisi.
Akan tetapi, menyimak penjelasan mengenai kemungkinan-kemungkinan sederhana tentang "sekali berarti setelah itu mati", hendak menyatakan kepada publik: "Dia, bercita-cita jadi presiden hanya sekali, setelah itu (lazimnya manusia) menunggu mati", atau "if there is a will there is a way (jika ada kemauan, selalu ada jalan terbuka)" ... hendak dinisbahkan, jalan menjadi presiden itu akan dia buka lewat pintu kantor Freedom Institute, serta "Buat apa pergi ke seberang/Airnya susu banyak berbatu/Buat apa melarang orang/Dah terbayang kursi RI satu"... bisa ditafsirkan: "Dia, tidak akan pulang ke seberang (Medan) lagi dan akan tetap tinggal di Jakarta karena sedang membayangkan diri duduk jadi Presiden RI", secara tidak langsung Mas Alwy juga terjebak pada interpretasi dengan menggunakan paradigma kritik seni. Karena makna-makna puisi yang dijelaskan Mas Alwy itu --walaupun sudah mengalami pemiskinan-- masih merupakan hasil interpretasi. Hanya, memang konteksnya dikaitkan dengan orang yang menyitirnya.
Beruntung saya pernah membaca kumpulan puisi "Jalan Menuju Rumahmu" karya Acep Zamzam Noor. Karena selain memberikan kesempatan untuk melakukan apresiasi, pada buku tersebut saya juga dituntun untuk sedikit mengenali hakikat puisi dan kondisi dunia perpuisian Indonesia, melalui dua pengantar singkat dari Acep sendiri, dan dari Saini K.M.
Di sana, Saini K.M. menjelaskan kondisi dunia perpuisian kita yang sedang "tidak berada dalam kedudukan yang beruntung", karena "penghargaan yang diberikan kepadanya dan kegiatan yang dikerahkan baginya, sangatlah kurang dibanding dengan hal lain". Maka tidaklah mengherankan jika tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi dan dunia perpuisian masih rendah. Hal tersebut diperparah lagi oleh orang-orang yang "tidak tepat berkiprah di sana... dunia seni dimasuki dan dimanfaatkan oleh petualang yang numpang lewat, ekshibisionis, orang-orang aneh bahkan sakit yang hanya mengeruhkan suasana".
Jika mempertimbangkan pandangan Saini K.M. tersebut, tampaknya tiga politisi yang sekarang kita bahas ini memenuhi kategori di atas. Karena secara tidak langsung, mereka menyuguhkan pemandangan ironis, yaitu dengan mempergunakan puisi untuk ambisi politik, di tengah megap-megapnya kondisi dunia perpuisian. Orang Sunda menyebutnya sebagai perbuatan mulung muntah (mencuri kesempatan dalam kesempitan).
Jadi saya kira, persoalannya bukanlah semata-mata ketidakhormatan terhadap bahasa --dalam bentuk apa pun-- seperti yang dikatakan Kang Hikmat. Karena bahasa secara universal bukan hanya milik penyair. Penyair menghormati bahasa karena bahasa menjadi media ekspresi rohani mereka. Leksikograf menghormati bahasa karena bahasa merupakan harta warisan yang tak boleh hilang dari catatan kamus. Wartawan pun menghormati bahasa karena bahasa sangat penting untuk menjernihkan berita. Artinya, semua golongan itu menghormati bahasa karena sadar akan potensi bahasa untuk keperluannya masing-masing.
Menurut saya, inti persoalannya adalah penghormatan terhadap puisi dan dunia perpuisian itu sendiri. Puisi harus dihormati bukan lantaran kedudukan puisi sebagai sesuatu yang mulia. Puisi --sebagai hasil dari usaha mengoptimalkan estetika bahasa-- tetaplah puisi, tidak kurang dan tidak lebih. Ia menjadi mulia karena di dalamnya banyak terkandung tujuan dan cara pandang hidup yang mulia. Dengan puisi (dan seni), manusia mendapatkan kesempatan untuk kembali menghayati dan merenungkan hidupnya. Itulah yang dikatakan Saini K.M.
Lebih lanjut Saini menjelaskan, bahwa dalam menulis puisi pun dibutuhkan ketulusan. Sebab "berpuisi adalah suatu upaya yang bersungguh-sungguh di dalam melakukan pengembaraan dan petualangan rohani". Saya yakin, selain Acep Zamzam Noor, Chairil dan Frost pun memiliki sikap demikian.
Jika berpuisi membutuhkan ketulusan maka pertanyaannya bukan berhak atau tidaknya politisi menggunakan puisi sebagai alat politik. Yang lebih tepat adalah pantaskah politisi berpuisi hanya untuk mencapai ambisi politik? Menimbang banyaknya para politisi sekarang yang lebih mengedepankan karier dan uang, rasanya keraguan saya tidak berlebihan.
Maka, teramat naif jika tindakan mengutip atau menggunakan puisi dalam kampanye terselubung Bachir, Rizal, dan Tifatul, dianggap sebagai tindakan puitisasi politik, hingga "politik menjadi pelangi dan reflektif" seperti yang dikatakan Mawardi. Justru yang terjadi adalah tindakan politisasi puisi, dengan bermantelkan "iman politik sebagai panglima".
Jadi, Mas Alwy, walaupun kita tidak usah sakit hati, tidak ada alasan untuk "tidak perlu serius seperti Hikmat Gumelar menanggapinya". Sebab, ketiga politisi itu bukan hanya tidak menghormati bahasa (puisi), seperti yang dikatakan Kang Hikmat. Lebih jauh dari itu, mereka sudah menistakan hakikat puisi.
Seandainya mereka mengerti dan sadar akan hakikat puisi, saya yakin, politisitidak akan berani menggunakan puisi sebagai media kampanye politik. Karena seperti yang dikatakan Acep, "puisi ternyata tidak hanya minta untuk selalu dituliskan, tetapi juga untuk dilakukan. Untuk menjadi perbuatan sehari-hari".
Politik dan puisi memang kaya akan kemungkinan-kemungkinan. Jika puisi mempunyai kemungkinan-kemungkinan makna, maka politik mempunyai kemungkinan-kemungkinan manuver dan motif politik yang susah ditebak. Itulah aspek relasi antara politik dan puisi, yang saya tangkap dari tulisan Kang Hikmat dan Mas Alwy.
Dari catatan Goenawan Moehamad di atas pun --yang aslinya bersumber dari ungkapan Presiden Nixon-- ada relasi lain antara politik dan puisi. Politik harus bisa memesona massa, sama halnya seperti puisi memesona apresiatornya. Maka politik pun lahir dengan idiom dan metaforanya sendiri.
Akhir kata, saya justru kasihan terhadap para politisi seperti itu. Tampaknya mereka sudah kehabisan idiom dan metafora untuk mendapatkan simpati massa. Uang, program pembangunan, atau janji-janji, sudah sedemikian lesaknya dipakai oleh begitu banyak politisi. Hingga akhirnya mereka melirik puisi untuk dijadikan alat penarik simpati. Maka, keliru sekali jika Mawardi mengatakan, "puisi menjadi pilihan untuk merumuskan pemikiran atas konsep kekuasaan".
* Lugiena Dé, Bergiat di ASAS UPI Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 18 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment