Tuesday, October 28, 2008

Kekayaan Budaya, Nilai Jual dalam Diplomasi

* Belum Ada Instrumen untuk Lindungi Pusaka Nonbendawi

SOLO, KOMPAS - Indonesia memiliki kekayaan budaya luar biasa besar. Hal itu bisa menjadi aset bangsa dan nilai jual untuk kepentingan diplomasi Indonesia dengan negara luar. Oleh karena itu, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah harus berperan dalam menampilkan kekayaan budaya ke mancanegara.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda (depan ketiga dari kiri) menyaksikan proses pembuatan gamelan di arena ekspo dalam rangkaian Konferensi dan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Senin (27/10). Pameran kekayaan dan warisan budaya ini diharapkan bisa menjadi sarana promosi bagi budaya Indonesia. Diharapkan kunjungan wisatawan mancanegara meningkat dengan makin banyaknya masyarakat dunia mengenal dan menghargai budaya Indonesia. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images)

Hal ini dinyatakan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda setelah membuka kegiatan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia (World Heritage Cities Conference and Expo/WHCCE), Senin (27/10) di Pendapa Ageng Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah.

Acara ini dihadiri perwakilan dari 37 negara Asia dan Eropa. Acara ini berlangsung pada 25-30 Oktober 2008 di Solo.

Menurut Menlu, kegiatan WHCCE di Solo merupakan kesempatan besar bagi Indonesia untuk memperkenalkan budaya. Melalui acara ini, negara-negara luar diminta hadir dan melihat sendiri proses dan latar belakang budaya Indonesia sehingga mereka bisa menghargai produk Indonesia dengan lebih baik dan memahami nilai-nilai budaya Indonesia.

”Melalui aktivitas diplomasi, kita bisa ikut berjuang bagi perdamaian dunia. Kita mempunyai potensi besar,” ujarnya.

Dalam sambutan di WHCCE, Menlu menyatakan, kreativitas para wali kota sangat dibutuhkan untuk melestarikan peninggalan sejarah kota tanpa menghambat program pembangunan perkotaan. Ia memberi contoh Wali Kota Solo Joko Widodo sebagai salah satu wali kota di Indonesia yang bisa menata kota tanpa mengabaikan budaya masyarakat setempat.

Kegiatan WHCCE juga bisa menjadi wadah bagi para wali kota dari berbagai negara untuk saling berbagi pengalaman dan informasi terkait pembangunan perkotaan tanpa mengabaikan budaya masyarakat setempat. ”Dari konferensi ini diharapkan tumbuh saling pengertian antarnegara terkait dengan peradaban, budaya, dan agama,” katanya.

Belum ada instrumen

Dalam konferensi, penasihat dalam Kreativitas Tradisional, Kebudayaan dan Warisan Budaya Nonbendawi pada United Nations-World Intellectual Property Organization (UN-WIPO), Simon Legrand, menyatakan, hingga kini belum ada instrumen internasional untuk melindungi pusaka nonbendawi (intangible heritage). UN-WIPO adalah organisasi yang menangani hak kekayaan intelektual di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Intangible heritage dalam Konvensi UNESCO 2003 meliputi praktik dan ekspresi serta pengetahuan dan keterampilan, antara lain tradisi dan ekspresi lisan, pertunjukan seni, praktik sosial, ritual, serta kerajinan tradisional.

”Negara-negara hingga kini belum bersepakat dalam proses penyusunan instrumen perlindungan intangible heritage. Akan tetapi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai upaya perlindungan, antara lain dengan memanfaatkan Konvensi Berne dan perlindungan foklor, merek dagang, indikasi geografis, kompetisi yang seimbang, serta traktat fonogram dan pertunjukan WIPO,” kata Legrand.

Sekretaris I UNESCO untuk Konvensi Perlindungan Pusaka Budaya Nonbendawi Rieks Smeets berharap, WIPO dapat segera mengadopsi instrumen berstandar internasional yang akan mengatur kepemilikan pengetahuan tradisi, sumber daya genetik, dan ekspresi budaya tradisional.

Simon Legrand menambahkan, beberapa negara, termasuk Indonesia, membuat aturan dalam negeri masing-masing sebagai upaya perlindungan intangible heritage. Upaya ini dinilai cukup baik, tetapi tetap tidak mampu menyamai kekuatan instrumen internasional. (MDN/EKI/SON/ASA)

Sumber: Kompas, Selasa, 28 Oktober 2008

No comments: