Jakarta, Kompas - Ketersediaan bahan bacaan sastra saat ini sangat terbatas, termasuk di sekolah-sekolah. Di sisi lain, kurikulum pengajaran lebih menekankan pada kebahasaan atau tata bahasa. Faktor-faktor inilah yang antara lain menyebabkan siswa kurang berminat terhadap sastra.
Guru Bahasa Indonesia dan Sastra di SMPN 90 Jakarta Timur, Nefita, Senin (13/10), mengatakan, rendahnya minat terhadap sastra terjadi terutama di sekolah minim fasilitas dan bahan bacaan sastra. ”Di sekolah unggulan, minat siswa terhadap sastra cukup tinggi. Bahkan, ada yang sangat menonjol. Sekolah-sekolah demikian tentu siap mengikuti kompetisi di bidang sastra, seperti olimpiade sastra,” ujarnya.
Akan tetapi, tidak demikian di sekolah yang serba terbatas. Dia mencontohkan, sekolah tempatnya mengajar di SMPN 90 yang terletak di kawasan industri, Jatinegara Kawung. Sebagian besar wali murid bekerja sebagai buruh pabrik. Sangat sulit mengharapkan anak membeli buku bacaan sastra.
”Jangankan buku sastra, membeli buku teks pelajaran saja sudah sulit,” ujarnya.
Di perpustakaan juga tidak tersedia cukup buku sastra. Nefita yang pernah menjadi pengurus perpustakaan di sekolah tersebut mengatakan, seharusnya minimal terdapat 50 judul buku sastra. Namun, di sekolah tersebut jumlah yang tersedia hanya sekitar 20 judul.
Lebih ke tata bahasa
Kurikulum pengajaran juga tidak mengacu kepada bagaimana agar siswa menggali sastra. Muatan kurikulum yang ada, sekitar 80 persen muatan kebahasaan atau tata bahasa Indonesia dan sisanya barulah tentang sastra.
Hal senada dikemukakan oleh Syamsudin, guru Bahasa Indonesia dan Sastra SMAN 35 Jakarta Pusat. Keberadaan guru-guru kreatif dan bahan bacaan sangat memengaruhi minat dan kemajuan pembelajaran sastra di sekolah. ”Gurunya harus mengerti sastra dan ditunjang buku bacaan di sekolah,” katanya.
Di SMAN 35, guru Bahasa Indonesia dan Sastra merupakan guru-guru senior di bidang tersebut. Bahan bacaan juga tersedia lengkap di sekolah yang Jurusan Bahasa dan Sastra berada di peringkat dua DKI Jakarta.
Hanya saja, gengsi terhadap Jurusan Bahasa dan Sastra memang masih dirasa kurang. Tak heran jika kemudian sedikit sekolah yang membuka jurusan tersebut dan memilih membuka jurusan Ilmu Pengetahuan Alam.
”Untuk jurusan IPA dan IPS, sekitar 70 persen kurikulum bahasa lebih ke arah tata bahasa dan sisanya baru sastra,” ujarnya.
Supaya anak tertarik dengan sastra, Syamsudin tidak sekadar menekankan kepada teori, melainkan juga praktik. Melalui kegiatan praktik akan terbentuk karakter dan tergali minat anak di bidang sastra. Sebagai contoh, Syamsudin memberikan tugas kepada anak untuk mewawancarai orang terkenal dan menulis laporannya. Terkadang mereka berlatih drama.
Olimpiade sastra
Gagasan olimpiade sastra di sisi lain mendapatkan dukungan dari para guru tersebut. Melalui olimpiade tersebut, Nefita mengatakan, apresiasi dan kecintaan siswa terhadap sastra akan meningkat. Anak termotivasi mempelajari sastra dan berusaha keras mengembangkan sastra dan menghasilkan karya yang baik.
”Anak yang berbakat di bidang tersebut juga bisa menggali minatnya,” katanya.
Guru pun akan belajar dan meningkatkan pengetahuannya seiring dengan membina anak- anak untuk ikut serta dalam ajang tersebut. (INE)
Sumber: Kompas, Selasa, 14 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment