Tuesday, October 21, 2008

Kearifan Lokal: Rumah Panggung Hadapi Tantangan

-- Yurnaldi

Di banyak daerah di Tanah Air, rumah-rumah tua umumnya terbuat dari kayu dan arsitekturnya mencerminkan keunikan serta kearifan budaya lokal. Walaupun bencana datang silih berganti dalam hitungan tahun, puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, rumah-rumah tua tersebut tetap kukuh berdiri.

Ratusan warga Kecamatan Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, mewarisi kearifan lokal membuat rumah panggung bongkar pasang. Sampai sekarang, rumah produksi kreatif warga itu banyak diminati masyarakat di berbagai kota, bahkan banyak yang diekspor ke sejumlah negara. (Kompas/Yurnaldi / Kompas Images)

Rumah gadang yang berarsitektur Bagonjong di Sumatera Barat, misalnya, tetap berdiri tegak dan selamat dari gempa walau puluhan kali gempa terjadi setiap bulannya. Hal ini terjadi karena arsitekturnya salah satunya mempertimbangkan keamanan dari gempa.

Sama halnya dengan rumah gadang, rumah-rumah khas kabupaten/kota lainnya di Sumatera Barat, dan juga di provinsi lain di Indonesia, yang umumnya terbuat dari kayu, juga relatif aman dari ancaman gempa bumi. Sementara itu, rumah-rumah permanen yang berarsitektur masa kini dan modern hampir selalu mengalami kerusakan, setiap kali gempa bumi terjadi.

Karena tidak didesain tahan dan aman dari gempa, makanya bencana gempa bumi menelan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Begitu juga jika banjir terjadi, banyak warga mengalami kerugian harta benda dan kehilangan anggota keluarga.

Padahal, dulunya, nenek moyang Indonesia melalui kearifan budaya sudah mempertimbangkan faktor bencana ini dalam desain rumahnya. Makanya, di daerah rawan banjir atau daerah genangan air, rawa, lebak, dan pinggiran bantaran sungai, rumah-rumah panggung hampir selalu mendominasi.

Di Desa Tanjungbatu Seberang dan Tanjungbaru Petai, Kecamatan Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan, dan di Woloan, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, rumah-rumah panggung yang menjadi tradisi nenek moyangnya telah menjadi industri kreatif sejak dulu dan sampai kini masih bertahan.

Di dua provinsi itu masyarakatnya membuat rumah panggung knock down atau rumah bongkar pasang. Mereka menawarkan kearifan lokal untuk hunian di era global. Walaupun tidak ada booming, tetapi permintaan selalu saja ada dari berbagai kota di Indonesia dan mancanegara.

”Industri kreatif berupa rumah panggung menjadi sesuatu yang unik di zaman sekarang,” kata Rita Adhiningrat, desainer interior dan Direktur PT Tata Agathis.

Ia menyebutkan, di Tomohon ada tempat penginapan yang berarsitektur rumah panggung, selalu penuh tamu. Untuk bisa menginap, tetamu harus antre. Begitu juga dengan sebuah rumah panggung yang diberi nama rumah pohon di suatu kawasan wisata di Bogor, orang yang ingin menginap di sana begitu antrenya.

Ira Maxi, pengusaha dari Jakarta, ketika ditemui tengah menawar rumah panggung di Tomohon, mengakui amat menyukai rumah panggung yang mencerminkan kekayaan budaya Indonesia itu. ”Rumah panggung tidak hanya unik dan menarik, tetapi juga mencerminkan cita rasa pemiliknya,” ujarnya.

Empat setahun

Jika Anda ke Sumatera Selatan, sempatkanlah berkunjung ke Kecamatan Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir, atau sekitar 55 kilometer selatan Kota Palembang ini. Anda bisa menyaksikan bagaimana industri kreatif pembuatan rumah panggung bongkar pasang ini tetap bergairah dan tak terimbas krisis.

Menurut Kepala Desa Tanjungbaru Petai Rozaliakne (63), dari 1.460 warga atau 350 kepala keluarga, 90 persennya bekerja di bidang usaha membuat rumah panggung atau rumah bongkar pasang. ”Usaha ini turun-temurun, dari nenek moyang hingga generasi ke generasi. Selagi kayu ada, tak akan berhenti masyarakat membuat rumah panggung ini,” kata dia.

Tidak hanya rumah panggung yang diproduksi di Tanjungbatu Seberang dan Tanjungbaru Petai, tetapi juga ada bangunan sekolah/pesantren, mushala, gazebo, dan bangunan lain, tergantung pesanan.

Sudirman yang sebelumnya membuat rumah panggung berukuran 8 x 10 meter untuk seorang manajer di Bandung, juga tengah menyelesaikan sebuah rumah panggung. ”Satu rumah selesai dalam tempo tiga bulan. Dalam setahun bisa selesai empat rumah, yang hampir selalu ada saja pemesannya,” katanya.

Bentuk dan ukuran rumah panggung produksi Tanjungbatu ini tergantung pesanan. Apakah ingin berukuran 4 x 4 meter, 6 x 6 meter, 5 x 7 meter, 6 x 8 meter, 6 x 10 meter, atau 10 x 10 meter, terserah si pemesan. Desain juga bisa dibuat si pemesan. Kalau harga umumnya dipatok berdasarkan ukuran, yang kisarannya Rp 1,25 juta sampai Rp 1,5 juta per meter persegi. Juga tergantung jenis kayu. Semakin bagus kualitas kayu, harga semakin mahal.

Jika ada yang berminat, rumah yang dipajang atau selesai dibuat membutuhkan waktu tujuh hari untuk membongkarnya kembali, sedangkan untuk memasangnya kembali di tempat tujuan pembeli butuh waktu sekitar 10 hari, dengan 2-3 pekerja.

”Harga jual rumah di luar ongkos kirim, yang dibebankan kepada pembeli, semakin jauh daerah tujuan semakin besar biaya angkut. Kalau rumah ingin dipelitur atau dicat, menjadi beban si pembeli,” kata Karni, pembuat rumah di Tanjungbaru Petai.

Peminat rumah kayu produksi Kecamatan Tanjungbatu ini ternyata tidak hanya terhadap rumah baru. Rumah yang telah ditempati belasan dan puluhan tahun juga sering ditawar calon pembeli.

Bahkan, saat ini ada rumah panggung di desa Tanjungbatu, Kecamatan Tanjungbatu, yang telah dipakai belasan tahun dibeli sekitar Rp 50 juta. ”Kalau harga sesuai, tak ada salahnya dilepas,” kata Abidin.

Kayu tembesi di Tomohon

Sama halnya dengan di Tanjungbatu, di Tomohon rumah panggung bekas pakai juga banyak yang menawar. ”Rumah panggung bekas pakai harga relatif murah. Untuk rumah dua kamar, misalnya, bisa dihargai sekitar Rp 20 juta,” kata Frengky Tirukan, pengusaha rumah panggung adat Minahasa di Tomohon.

Jika di Tanjungbatu jenis kayu tembesi sudah langka, sulit didapat, maka di Tomohon jenis kayu berkualitas nomor satu itu masih bisa didatangkan dari Gorontalo. Oleh pengusaha rumah panggung di Tomohon, jenis kayu tembesi umumnya digunakan untuk rangka rumah.

”Karena terbuat dari kayu-kayu berkualitas baik, ada rumah panggung di Tomohon yang sudah berusia 115 tahun,” ungkap Frengky.

Rumah panggung bongkar pasang dari Tomohon ini, menurut Frengky, banyak juga pemesannya dari Malaysia, Filipina, Perancis, dan Kostarika. ”Setahun saya bisa menjual 15 sampai 20 unit rumah,” katanya. ”Di Tomohon, sedikitnya ada 100 warga yang usahanya membuat rumah panggung bongkar pasang.”

Harga rumah panggung di Tomohon tergantung jenis kayu yang diinginkan, Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta per meter persegi. Ongkos kirim tersendiri, tergantung jauh dekatnya rumah tersebut diantar. Ke Jakarta, biaya kirim mencapai Rp 12 juta, untuk satu dan atau dua unit rumah. ”Ke Filipina, biaya kirim Rp 28 juta,” kata Frengky, pengusaha yang tahun ini telah mengirim delapan unit rumah panggung ke Malaysia.

Hadapi tantangan

Rumah panggung memang unik. Namun, tetap saja model rumah seperti ini menghadapi tantangan. Sampai saat ini, persoalan bahan baku kayu memang belum jadi masalah. Namun, dengan pembabatan hutan yang tak terkendali di Tanah Air, keberadaan bahan baku rumah kayu juga menjadi ancaman.

Jika pembabatan hutan secara tak terkendali dibiarkan terus, bukan tidak mungkin perajin rumah kayu yang terkenal kreatif pun bisa gulung tikar. Salah satu solusinya, perlakukan hutan secara arif disertai kegiatan reboisasi. Dengan begitu, usaha rumah kayu tetap berjalan, hutan pun tetap lestari.

Sumber: Kompas, Selasa, 21 Oktober 2008

No comments: