Sunday, October 12, 2008

Kartu Lebaran Versus SMS

-- Ilham Khoiri

PERAYAAN Idul Fitri di Indonesia beberapa tahun belakangan ini membeberkan perubahan budaya yang unik. Jika beberapa puluh tahun silam sebagian orang masih saling berkirim kartu lebaran, kini halalbihalal banyak dilancarkan lewat SMS alias pesan pendek dari telepon genggam. Adakah yang tereduksi?

Beragam desain kartu Lebaran menawarkan kekayaan visual, yang sekarang semakin hilang digantikan budaya SMS Lebaran. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Memori kartu lebaran masih lekat bagi mereka yang mengenyam Lebaran tahun 1970-an, 1980-an, hingga tahun 1990-an. Selama tiga dekade itu, banyak orang yang mengandalkan kartu lebaran untuk mengucapkan selamat lebaran dan saling meminta maaf. Kartu disiapkan saat puasa, dikirimkan lewat Kantor Pos, dan tiba pada hari-hari Lebaran.

Perjalanan panjang kartu lebaran dari pengirim, petugas pos, sampai penerima itu menimbulkan kenangan. Belum lagi wujud kartu lebaran itu sendiri yang bisa dikenang secara romantis. Setiap kartu lebaran menyediakan ruang visual dan ruang teks yang bisa diolah para desainer dan pengirim.

Bagi desainer, kartu lebaran menawarkan ruang bermain visual, terutama lewat gambar, foto, atau kaligrafi. Tak melulu terpaku pada simbol-simbol Lebaran konvensional, seperti ketupat, masjid, Alquran, atau kaligrafi Arab, desainer bisa memasukkan berbagai kemungkinan visual lebih bebas, semisal kartun, batik, wayang, atau corak abstrak. Kartu lebaran mengundang eksplorasi kosa visual yang kaya.

Ambil contoh, Edwin’s Gallery di Kemang, Jakarta Selatan, yang memproduksi kartu lebaran sejak tahun 1985. Meski memilih desain yang tak jauh dari ikon-ikon konvensional, seperti gambar tasbih, kitab Alquran, dan ketupat, sebagian kartu dari galeri ini mencoba menggamit ikon lain, semisal kain klasik atau wayang. ”Setiap desain dituntut untuk menampilkan visual yang segar setiap tahun,” kata Edwin Rahardjo, pemilik galeri ini, pekan lalu.

Desainer Tatang Ramadhan Bouqie mengungkapkan, kartu lebaran memberikan kesempatan bagi perancang untuk memberi tafsir visual terhadap simbol-simbol keislaman. Di situ, perancang ditantang agar tak terjebak pada simbol-simbol lebaran konvensional dan lebih berani lagi mengolah visual secara kreatif, misalnya dengan memainkan tipografi, corak abstrak, atau memasukkan rupa-rupa ikon pop. ”Dengan kartu, desainer bisa berekspresi lewat warna, garis, bentuk, dan komposisi, dan material kertas secara lebih leluasa,” kata desainer yang merancang desain kartu lebaran sejak tahun 1970-an itu.

Dalam kartu lebaran, orang juga bisa menuliskan catatan, sebagian tulisan tangan asli. Tak sebatas mengulang kalimat ”mohon maaf lahir batin”, banyak orang menambahkan pesan khusus untuk teman, rekan kerja, atau keluarga. Kedekatan hubungan kadang membuat pesan tersebut menjadi otentik, intim, dan menyentuh.

Pengamat komunikasi dari Bandung, Idi Subandy Ibrahim, menilai, kartu lebaran menyuguhkan komunikasi halalbihalal dengan sentuhan lebih personal. Sapaannya bisa lebih mengena sehingga orang yang mendapat kiriman kartu merasakan kedekatan emosional dengan pengirim. Tak heran jika banyak orang menyimpan kartu lebaran lama yang dianggap istimewa.

”Saya menyimpan kartu lebaran tahun 1996 karena punya kenangan khusus,” kata Idi.

Bergeser

Perkembangan teknologi komunikasi menggeser budaya kartu lebaran. Bersamaan semakin marak dan murahnya telepon genggam sejak tahun 2000-an, bertambah banyak orang yang beralih dari mengirimkan kartu lebaran pada SMS. Pesan pendek ini dianggap lebih murah, cepat, dan mudah. Bayangkan saja, satu pesan bisa di-forward ke banyak penerima sekaligus.

Sebenarnya substansi halalbihalal tetap terpenuhi oleh SMS. Namun, kemudahan teknologi itu tak selalu dibarengi peningkatan kualitas komunikasi, bahkan malah mereduksi beberapa kekuatan kartu lebaran. Jika dengan kartu orang mementingkan visual, lewat pesan pendek orang senang bermain kata-kata. Fasilitas pengiriman yang cepat mendorong halalbihalal lewat pesan pendek lebih massal, bahkan sering mengulang-ulang saja, sehingga kerap kehilangan sentuhan personal.

”Komunikasi visual dalam kartu lebaran berubah jadi teks virtual dalam SMS. Aspek rupa dalam budaya kartu lebaran tak digarap lagi, dangkal, atau hilang sama sekali,” kata Kurator Galeri Lontar, Jakarta, Asikin Hasan. Asikin sempat membuat kartu lebaran sendiri saat kuliah Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), pertengahan tahun 1980-an.

Di tengah paradoks komunikasi telepon genggam, SMS lebaran juga menyiratkan kontradiksi. Alat yang dirancang untuk menjalin komunikasi itu, ternyata, justru berpotensi merenggangkan hubungan antarmanusia. Bayangkan saja. Jika kenyamanan berhalalbihalal secara instan lewat SMS itu dianggap cukup, maka tatap muka tak lagi dipentingkan. Hubungan dengan orang lain pun hanya dijalin di dunia maya yang kering.

Memang, SMS membuka ruang komunikasi yang lebih egaliter dan memungkinkan siapa saja dari segala umur dan status sosial untuk saling menyapa. Namun, keluasaan ini kerap merangsang munculnya pesan bernada olok-olok, vulgar, dan menerabas batas kesantunan. Meski begitu, bagi mereka yang kreatif, SMS tetap dapat dimanfaatkan untuk menciptakan pesan yang unik.

Simak saja SMS dari pengamat seni rupa, Merwan Yusuf. ”Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di bandara megapolitan dunia ’Idul Fitri’ International Airport. Tak ada perbedaan waktu antara kota Ramadhan dan Idul Fitri. Terima kasih telah menggunakan maskapai penerbangan ’Ramadhan Air’ selama sebulan penuh. Capten Pilot Merwan Yusuf beserta crew mengucapkan minal ’aidin wal faizin 1429 H. Kita akan bertemu kembali dalam penerbangan berikutnya tahun depan. Insya Allah….”

Sumber: Kompas, Minggu, 12 Oktober 2008

No comments: