Sunday, October 19, 2008

Ketika Sastra Masih Kering Di Sekolah

-- Ria Febrina

AWAL mula berkenalan dengan sastra waktu itu masih di SLTP 2 Padang tahun 2001, seorang guru bertanya tentang Buya Hamka. Tak seorang pun yang bisa menjawab, termasuk saya. Kemudian, ia menerangkan bagaimana sosok Hamka, termasuk karya-karyanya yang sangat fenomenal. Setelah belajar, saya mengingat namanya dan mencari karya beliau di perpustakaan sekolah. Saya menemukan label sastra dalam novelnya yang agak tebal, 224 halaman. Penasaran dengan cerita panjang yang ditulis oleh Hamka, saya membaca hingga tuntas buku yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Meski banyak hal yang kurang bisa dipahami, namun ceritanya sangat menggugah perasaan, karena sebagai seorang anak yang masih ingusan, bahasa yang ditulis Hamka sangat indah dan jarang ditemui dalam bahasa yang diujarkan guru maupun dalam koran lokal yang menerbitkan halaman sastra dan budaya pada saat itu.

Berlanjutlah, bacaan saya beralih kepada bacaan yang berlabel sastra, baik kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek, maupun novel. Sayang, buku sastra yang ada di sekolah hanya sedikit. Lalu, saya mencarinya di perpustakaan daerah Sumatera Barat yang jaraknya tak jauh dari sekolah. Hampir setiap minggu, saya membaca beberapa buku sastra dan mulai mengenal Taufiq Ismail, Chairil Anwar dan Putu Wijaya.

Ketika beranjak SMA, nama-nama tersebut sering muncul di buku Bahasa dan Sastra Indonesia yang merupakan buku panduan belajar bahasa Indonesia di sekolah. Saya senang, karena lebih dahulu mengenal nama-nama mereka. Setiap ada nama-nama yang disebut sebagai sastrawan, saya mencari bukunya di perpustakaan, membaca karya mereka, melihat biografi kepengarangan mereka dan mulai mencintai dunia sastra.

Kemudian, ketika hari ini saya melihat lagi ke bawah, memperhatikan kurikulum pengajaran sastra di sekolah, saya menemukan pengajaran sastra menjadi sangat sedikit. Materi sastra dikurangi. Padahal ketika itu, saya sudah merasakan materi sastra sangat minim, karena terpaksa mencari sendiri di luar proses belajar mengajar. Sastra sangat kering di sekolah, karena guru tidak terlalu memberi perhatian lebih terhadap materi ini. Jika hari ini ada pengurangan sastra di sekolah, terbayangkan bahwa akan ada jarak antara sastra dengan pelajar sekolah. Karena perlahan, mereka meminggirkan peran karya sastra yang sangat berguna untuk mencerdaskan masyarakat itu sendiri.

***

Sastra, bagi sebagian orang dianggap sebagai tulisan yang memperjualbelikan cerita karangan (fiksi). Cerita karangan yang dibaca dalam bentuk prosa, puisi dan drama itu ditafsirkan sebagai salah satu media hiburan yang belum mampu memberikan sesuatu untuk masyarakat.

Anggapan seperti itu muncul karena pandangan masyarakat terhadap sastra masih primitif, belum mampu menjangkau hal-hal estetis dari penciptaan sebuah karangan. Apakah hal ini salah? Tentu tidak, karena masyarakat pembaca masih sangat awam dengan “bahasa dan dunia rekaan” yang diciptakan pengarang dalam karangannya. Apalagi, pembaca yang demikian tidak sempat mencicipi dunia pendidikan formal, sehingga kesalahpahaman mereka terhadap sastra semakin tajam. Akibatnya, banyak generasi sekarang mengikuti pola pokir tersebut, yang akhirnya menciptakan jurang antara karya sastra dengan masyarakat.

Seperti yang dialami di bangku sekolah, saya terpaksa belajar menemukan sendiri dunia sastra itu. Hanya ketertarikan yang memaksa saya untuk menemukan banyak bacaan sastra di luar jam belajar di sekolah. Tapi hari ini, apakah semua pelajar melakukan hal serupa?

Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak, karena tidak semua orang senang membaca bacaan sastra. Mungkin mereka senang membaca komik, cerita laga, dunia bola dan hal-hal lain yang memang patut untuk diketahui. Tetapi mengenai sastra, hampir semua orang mengenalnya hanya melalui halaman sastra dan budaya yang dimuat setiap minggu di koran mingguan lokal dan nasional. Mereka beranggapan bahwa sastra adalah tulisan yang memuat sebuah dunia rekaan yang menarik yang diciptakan seorang pengarang, dan patut dibaca karena menceritakan kehidupan orang lain. Masyarakat menikmatinya, karena dengan cerpen, puisi, dan novel, mereka memiliki pengetahuan baru mengenai orang lain.

Lalu hari ini, beragam novel bermunculan. Dari novel islami, teenlit dan novel penggugah lainnya, mulai menarik perhatian sebagian masyarakat, khususnya kaum pelajar. Mereka menikmati membaca sebagai sebuah kebutuhan. Bahkan, mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama membaca setiap buku “the best seller”, buku terlaris yang muncul saat itu. Fenomena ini sangat bagus, seperti saya yang menemukan dunia rekaan sendiri.

Tetapi sayangnya, ketika kita membahas sastra, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa setiap karya sastra yang muncul tersebut adalah dunia khayalan dari si pengarang. Dunia reka-reka, di mana si pengarang menjadi Tuhan sendiri dalam menentukan nasib tokohnya. Meskipun hal tersebut tidak salah, tetapi kemunculan anggapan seperti itu patut disayangkan. Karena sastra bukan sekedar itu saja, tetapi ada hal-hal lain yang patut diketahui, seperti objek yang menjadi perhatiannya, yaitu lingkungan sosial di mana mereka berada.

Sastra Berakar dari Lingkungan Sosial

Sastra sebagai sebuah karya tidak muncul dari khayalan saja, tetapi seorang pengarang mengambilnya dari realitas kehidupan yang terjadi. Pada dasarnya, sastra adalah sebuah media yang menjembatani masyarakat untuk membahasakan apa yang terjadi di lingkungannya, yang berkaitan dengan dunia carut marut yang mereka hadapi setiap hari. Dunia yang tak lepas dari pendidikan, politik, ekonomi dan tempat di mana mereka memposisikan diri sebagai seorang warga negara. Segala sisi kehidupan itu menjadi sorotan bagi seorang pengarang. Setiap peristiwa yang terjadi dan yang mengganjal dalam pemikirannya, semua itu menjadi perhatian pengarang. Potongan demi potongan kehidupan masyarakat dijadikan dasar penciptaan baginya.

Awalnya, karya tersebut bergejolak di otak si pengarang, yang memunculkan pertanyaan, mengapa peristiwa demikian bisa terjadi? Pemikiran-pemikiran itu ditinjaunya sendiri, bahkan ia mulai memperhatikan lingkungannya, mencari sebab, lalu sebuah kemungkinan yang dapat dijadikan solusi bagi si pembaca.

Hal ini yang menjadi perbedaan antara karya sastra dan karya populer. Anggapan masyarakat yang menjadikan karya sebagai hiburan, sebenarnya adalah tujuan dari adanya karya populer. Sementara tujuan itu berbeda dengan kemunculan karya sastra. Jika kita membuat garis, karya sastra tak hanya melewati garis pertama yang bertujuan untuk menghibur pembaca. Tetapi ia melewati garis kedua, yaitu setiap karya sastra memberikan manfaat bagi masyarakat pembacanya.

Setiap pemikiran yang menjadi titik tolak bagi seorang pengarang selalu didasarkan pada pengetahuan, karena mereka lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca, melihat, mendengar dan merasakan apa yang terjadi di lingkungannya. Misalnya seperti novel Merantau ke Deli yang ditulis Hamka. Di dalam novel digambarkan bahwa laki-laki Minang yang menikah dengan perempuan di luar kebudayaannya, seperti dinikahkan dengan perempuan Jawa, maka ia akan dinikahkan kembali dengan perempuan yang sama-sama berasal dari Minang. Tujuannya untuk menjelaskan kedudukannya di dalam lingkungan masyarakat Minang, seperti posisinya sebagai seorang anak, mamak dan anggota masyarakat. Dan apakah semua laki-laki Minangkabau seperti itu?

Tentu tidak, karena Hamka menulis novel ini berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lingkungannya. Dengan adanya novel ini, Hamka ingin memberikan kemungkinan, bahwa masih ada masyarakat Minangkabau yang berpikiran demikian. Namun, Hamka juga memunculkan kemungkinan lain bahwa tidak saatnya lagi jika hari ini masih ada masyarakat yang menyandang pemikiran tersebut. Ada dunia kemungkinan yang bisa dipelajari pembaca, yang bisa dijadikannya sebagai media untuk mengenal kebudayaan dan masyarakat yang diceritakan oleh pengarang.

Bertolak dari contoh tersebut, kita dapat melihat bahwa karya tak lahir dari khayalan atau dari kekosongan semata, seperti yang diungkapkan A. Teeuw, seorang ahli sastra. Ia mengatakan setiap karya sastra lahir karena adanya peristiwa yang menjadi sebab dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Seorang pengarang mengambil satu sisi kehidupan yang dianggapnya patut diperbincangkan, lalu dengan pemikiran dan kreatifitasnya, ide-ide tersebut disejajarkan dengan kejadian di dunia keseharian yang biasa dihadapi oleh masyarakat. Dalam hal ini, seorang pengarang bertugas memberikan kemungkinan, apa yang terbaik untuk dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tampak bahwa sastra berakar dari lingkungan sosial, di mana masyarakatnya saling berhubungan dan membentuk interaksi di dalamnya.

Sastra Masih Berdiri di Belakang

Problemnya, pemahaman seperti ini belum dirasakan seutuhnya oleh masyarakat. Hanya masyarakat pembaca yang menaruh perhatiannya kepada bacaan sastra saja yang mampu menembus pemikiran demikian. Sehingga, jurang antara karya sastra dan masyarakat semakin melebar. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah usaha untuk mendekatkan kembali masyarakat dengan sastra.

Belajar dari pengalaman saya dalam mengenal dunia sastra, bahwa salah satu sarana paling efektif untuk menyebarkan pengetahuan sastra secara serentak kepada masyarakat adalah melalui pengajaran sastra di sekolah. Di dalam kurikulum harus dimasukkan materi sastra, di samping pelajar mempelajari bahasa Indonesia itu sendiri. Mereka akan diajarkan mengenal dunia masyarakat melalui karya-karya sastra yang ada. Mereka juga akan mengenal bagaimana dunia kepengarangan seorang penulis, dan belajar bagaimana nantinya mereka akan menghadapi masyarakat melalui bacaan-bacaan yang ada.

Dan salah satu keuntungan dari adanya pendekatan sastra dengan pelajar adalah mereka dibiasakan untuk membaca, membaca dan membaca. Harapan untuk membuka cakrawala mereka pun berwujud nyata. Seorang pelajar tak hanya ditimpa pengetahuan ilmiah, tetapi juga dibuat peka terhadap sosial lingkungan yang ada di sekitar mereka.

Dan lihat saja, ketika hari ini, media massa cetak dan elektronik memuat halaman sastra dan budaya. Mulai tampak adanya partisipasi pelajar untuk ikut serta di dalamnya, baik untuk menulis puisi atau cerita pendek. Hal ini tak lepas dari usaha sastra untuk mengajak pelajar memperhatikan lingkungan sekitar, dan dengan kreatifitas yang ada menciptakan dunia kemungkinan atau dunia rekaan sesuai dengan sudut pandang yang mereka miliki. Artinya, ada kerinduan dari pelajar untuk menikmati sastra secara bimbingan. Bahwa di dalam kurikulum sekolah, sastra juga penting bagi perkembangan psikologi dan sosial mereka.

Keinginan untuk mewujudkan harapan ini juga tak lepas dari kehadiran karya sastra yang hari ini membanjir, menuntut kesediaan pembaca untuk mengapresiasikan dan menilai bagaimana hasil kerja dari pengarang. Hal ini juga tak lepas dari harapan untuk meminimalisir jurang antara karya sastra dengan masyarakat pembaca. Sudahnya saatnya sastra berdiri di depan, meluruskan opini masyarakat terhadap perkembangan sastra itu sendiri.

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 19 Oktober 2008

No comments: