-- Ahmad Baedowi*
DAPAT dipastikan, munculnya tindak kekerasan akhir-akhir ini yang melibatkan mahasiswa dan aparat adalah salah satu indikasi lemahnya pemahaman mahasiswa dan aparat tentang keragaman budaya.
Ini merupakan konsekuensi logis produk pendidikan kita yang kurang memaknai keragaman budaya dalam kurikulumnya. Kesadaran akan keragaman seakan lenyap dari pembelajaran di sekolah dan kampus, terutama sejak era reformasi ketika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional. Di sekolah, budaya hanya dipahami sebagai seni dan adat istiadat, yakni sebatas pada menyanyi dan menari tanpa pendalaman makna.
Sikap terbuka selalu mengedepankan dialog dan saling memahami keanekaragaman budaya dan agama. Berbagai upaya ditempuh untuk membangun sikap semacam itu. Namun, hiruk-pikuk keanekaragaman itu hanya berhenti pada tataran wacana. Karena itu, upaya sistematik diperlukan untuk mendidik sikap saling menghargai keanekaragaman kepada siswa.
Konflik SARA dan politik merupakan bukti konkret belum tersentuhnya level "akar rumput" oleh pemahaman keanekaragaman. Akar konflik itu sebenarnya masalah ekonomi dan politik lokal, namun medan konflik diperluas dengan mengeksploitasi budaya dan agama.
Dalam database Patterns of Collective Violence in Indonesia 1990-2003, Varshney, Panggabean dan Tadjoeddin menyebutkan meskipun kurang dari 16,6% dari seluruh insiden kekerasan kolektif di Indonesia, kekerasan etnis menelan 89,3% dari total jumlah korban tewas. Dengan kata lain, kekerasan etnis akan menelan korban jauh lebih banyak dibandingkan jenis kekerasan lain.
Dalam perspektif pendidikan, pandangan tentang etnis harus dikerjakan serius oleh sekolah karena Indonesia memiliki keragaman etnis terbesar di dunia. Sebab itu, pemahaman yang baik tentang perlunya sekolah membangun model multikultural menjadi sangat penting untuk memberikan alternatif pendidikan berbasis keragaman etnis dan budaya.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat yang damai dan kondusif adalah pemahaman tentang ragam budaya atau multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996; Watson 2000). Dalam model pemahaman itu, sebuah masyarakat harus dipandang sebagai pemilik sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah gambar, dengan semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar dan mempunyai kebudayaan seperti sebuah desain tersebut (Reed, 1997).
Dalam konteks keragaman budaya, multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Paham multikulturalisme yang akan dikembangkan di sekolah harus mampu mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu pola pembelajaran yang demokratis, pendidikan dan pengembangan SDM yang mengakui kesederajatan (equity and equality), keadilan dan penegakan hukum, juga memikirkan tema-tema tentang kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Banks (1999) memberikan beberapa ciri dan karakter yang baik untuk mengembangkan paham multikulturalisme ini dalam sekolah, antara lain melalui penetrasi kurikulum sekolah dan proses pengembangannya yang di desain dengan mengacu dan merefleksikan pengalaman, budaya, dan perspektif dari berbagai macam keragaman etnis dan suku bangsa serta kesetaraan gender. Di samping itu, metodologi pengajaran yang digunakan para guru juga harus sesuai dengan sikap budaya, motivasi, latar belakang siswa yang beragam karakter, bakat dan minat.
Sekolah yang ingin mengembangkan paham multikulturalisme juga harus mampu menyediakan buku dan bahan ajar yang akan digunakan serta ruangan pendukung sekolah sesuai dengan pola keragaman budaya, agama, dan suku bangsa seluruh siswa.
Sementara itu, penilaian siswa dilakukan dengan mempertimbangkan asas sensitivitas kultural dan agama siswa sehingga secara proporsional mampu mengembangkan bakat dan minat siswa yang secara langsung juga dapat mendukung budaya sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler yang juga merefleksikan keragaman budaya, agama, dan etnis.
Sesuai dengan nama yang disandangnya, pendidikan multikultural merupakan landasan utama semua proses pembelajaran yang akan diselenggarakan di setiap sekolah di Indonesia. Pendidikan multikultural berangkat dari konsep atau teori melting pot, yakni satu proses saat seseorang atau kelompok dengan latar belakang etnik dan budaya berbeda berlebur dan menjadi bagian dari proses sosiologis yang lebih luas, suatu proses kompromi yang ditandai saling menghargai dan menghormati antara kelompok dan pada saat bersamaan menghargai identitas budaya lain dalam masyarakat. Pengertian semacam ini selanjutnya bisa dilihat dalam empat elemen berikut, yaitu (1) gerakan; (2) pendekatan kurikulum; (3) proses; dan (4) komitmen.
Dengan begitu, dalam pendidikan multikultural, aspek-aspek seperti sikap yang terbuka, inklusif, lebih mengedepankan dialog, saling memahami perbedaan ideologi, dan nilai di tengah masyarakat yang beragam (secara budaya dan agama), diakui sebagai modal penting bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat, dengan semua perbedaan dan keragaman dalam masyarakat dilihat sebagai sumber kekuatan untuk pemberdayaan masyarakat.
* Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Sumber: Lampung Post, Senin, 7 Juli 2008
No comments:
Post a Comment