KETIKA seni, seperti disebut Marcus dan Myers (1991), dipahami sebagai ruang tempat keragaman, identitas, dan nilai budaya diproduksi dan dipertentangkan, demikian pula halnya dengan kliningan jaipongan. Para sinden penari (sinden ronggeng) dalam kliningan jaipongan di Subang, seperti juga gandrung di Jawa Timur, ronggeng, ledek, tandak, atau cokek di Betawi, keberadaannya dalam seni pertunjukan tradisional senantiasa dihubungkan dengan tokoh wanita yang punya peranan seks.
Tak hanya itu, sinden penari pun berada dalam asumsi yang buruk, yakni perusak rumah tangga. Tak sedikit bajidor yang tergila-gila sehingga membuat anak-istrinya telantar. Namun, di lain sisi, sinden penari adalah roh yang membuat kliningan jaipongan tetap bertahan sebagai seni pertunjukan tradisional yang menjadi bagian penting dari denyut masyarakatnya. Dan di sudut inilah peran dan keberadaan sinden penari senantiasa dipertentangkan. Ia dibutuhkan masyarakatnya sekaligus dicap bukan sebagai perempuan baik-baik.
Lepas dari pertentangan itu, sesungguhnya keberadaan sinden penari dalam kliningan jaipongan juga tak bisa disendirikan dari upaya perempuan dalam mengartikulasikan dirinya di tengah hegemoni lelaki. Bahkan, seperti termaktub dalam banyak penelitian, menjadi sinden penari dengan penguasaan pada akses ekonomi, telah menumbuhkan kemandirian mereka sebagai perempuan di hadapan dominasi lelaki. Kemandirian yang pada akhirnya menjadikan mereka memiliki keberanian untuk menentukan dirinya sebagai aku subjek, baik sebagai perempuan di wilayah domestik maupun sebagai sinden penari di ranah publik.
Dalam tesis penelitiannya, Guru Besar STSI Bandung Prof. Dr. Endang Caturwati mengungkapkan bagaimana pasar telah mengooptasi seni pertunjukan kliningan jaipongan. Kesadaran kultural telah bergeser menjadi sarana atau alat untuk mengeruk uang sesuai dengan keinginan pasar atau komoditas. Perempuan sinden penari atau sinden penyanyi sadar benar dengan modal yang dimiliki pada dirinya, serta kemampuannya yang punya nilai jual. Mereka mulai berani mengubah nilai, melangkah, memimpin, mengelola, serta membawahi tidak saja perempuan sinden penari, tetapi juga nayaga, serta pendukung lain seperti para pekerja artistik yang umumnya lelaki.
"Pada awalnya mereka berada dalam posisi yang dieksploitasi oleh para lelaki yang jadi pimpinan grup kliningan jaipongan. Mereka dibayar dengan honor yang sedikit, belum lagi eksploitasi yang dilakukan oleh suami. Lalu semuanya bergeser pada kesadaran bahwa sebagai perempuan mereka bisa menjadi sosok yang mandiri, terlebih lagi setelah mereka sadar bahwa mereka bisa menguasai akses ekonomi. Figur seperti Cicih Cangkurileung dan Titin Fatimah menjadi inspirasi mereka," tutur Endang Caturwati.
Dalam penelitiannya secara kuantitas, grup-grup kliningan jaipongan yang dipimpin perempuan makin lama makin meningkat. Sejak 1990-an hingga 2003 grup kliningan jaipongan yang dipimpin perempuan terus bermunculan, bahkan popularitasnya mengalahkan grup kliningan jaipongan yang dipimpin lelaki.
Dalam ruang yang lain, kemandirian ini pula yang menyebabkan sebagai perempuan, sinden penari, leluasa menentukan pilihannya di hadapan suami. Terlebih ketika suami ternyata hanya menjadi benalu. Akses ekonomi dan kesadaran bahwa ia bisa "menaklukkan" para bajidor terlebih yang memujanya, membuat sinden penari memiliki kesadaran pada eksistensinya sebagai aku subjek di hadapan dominasi suami.
"Karena itulah ketimbang direcoki oleh suami yang hanya jadi benalu, pencemburu, dan tidak mau tahu dunianya, para sinden banyak yang memilih bercerai," tambah Endang Caturwati.
Tekad para sinden penari kliningan jaipongan umumnya adalah, urang aya, urang bisa, urang prak (kita ada, kita mampu, mari kita kerjakan). Mengutip Dorothy W. Cantor dan Toni Bernay, Endang Caturwati memandang keadaan tersebut membawa perempuan ke dalam arti dan makna kekuasaan untuk menggunakannya pada saat yang tepat.
**
DENGAN akses ekonomi yang kini mereka kuasai, sinden penari dan sinden penyanyi telah mengubah posisi mereka yang semula hanya pelengkap yang cenderung disubordinasi oleh kuasa lelaki. Lantas apakah perubahan semacam ini bisa dihampiri lewat semangat "perlawanan" gender dalam konteks feminisme?
Dalam penelitiannya, "Sinden Kebupaten Subang Suatu Kajian Perjalanan Ulak-alik" (Program Kajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM Yogyakarta), Nanu Munajat memandang yang berlangsung tidaklah sejauh itu. Artinya, apa yang terjadi tidaklah berangkat dari apa yang selama ini digembor-gemborkan dengan permasalahan gender atau feminisme. Semuanya berawal dari kenyataan yang sederhana. "Mereka menjadi sinden ronggeng atau sinden penyanyi hanya ingin memperbaiki nasib, ketimbang bekerja di sawah atau jadi buruh pabrik, apalagi pendidikan mereka yang rendah," ujar Nanu Munajat.
Senada dengan Endang Caturwati, Nanu Munajat melihat bahwa yang kini terjadi adalah kemampuan para sinden penari dan sinden penyanyi melakukan perubahan setelah sebelumnya mereka hanya melulu menjadi subordinat dalam seni pertunjukan kliningan jaipongan. Sebagai sinden ronggeng atau sinden penyanyi kini akses ekonomi mereka kuasai. Baik sebagai pimpinan/pemilik grup kliningan jaipongan atau sebagai sinden yang menjadi idola para bajidor. Dan inilah yang menimbulkan kesadaran pada kemandirian yang membuat mereka memiliki daya tawar (bargaining) di hadapan hegemoni dan dominasi lelaki.
Akhirnya, seperti disebut Marcus dan Myers di muka, kliningan jaipongan dan posisi sinden penari (ronggeng) atau sinden penyanyi adalah ruang yang menjadi tempat nilai-nilai budaya diproduksi dan dipertentangkan. Dalam konteks ini nilai budaya yang diproduksi dan dipertentangkan menekan pada nilai budaya patriarkat di tengah pertentangan perempuan yang menghendaki dirinya sebagai aku subjek. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Juli 2008
No comments:
Post a Comment