-- Goenawan Mohamad
”MANIKEBU” sebenarnya tak pernah menampik pentingnya politik, tak serta-merta menerima paham: ”humanisme universal” dan menafikan ”Realisme Sosialis”. Baru sekarang terbuka pintu untuk mengetahui, dengan sikap yang lebih lapang, perdebatan tentang seni dan revolusi berlangsung di mana-mana—dan tak ada satu suara yang bisa membungkam suara lain.
GALERI NASIONAL INDONESIA/Kompas Images
1 Saya berterima kasih: hari ini saya dapat kehormatan untuk berbicara di pameran para pelukis Sanggar Bumi Tarung ini. Saya berterima kasih karena yang saya dapatkan adalah satu kehormatan istimewa sekaligus tak mudah. Saya sadar, dalam kesempatan seperti ini ada tanda tanya yang beredar, setidaknya dari generasi yang tumbuh di tahun 1960-an: mengapa saya, seorang perumus dan penanda tangan Manifes Kebudayaan, berbicara tentang dan untuk pameran karya-karya perupa Lekra? Bukankah di antara dua ”kubu” itu ada permusuhan yang sengit dulu, yang sering traumatis, konflik yang di sana-sini masih terdengar cetusannya 40 tahun kemudian?
Saya kira itu pertanyaan yang sah—yang saya harus jawab, dengan sebisa saya. Baiklah saya kemukakan tiga alasan mengapa saya berdiri di sini sekarang.
Pertama tentulah karena angka 40 tahun itu. Persoalan Manifes Kebudayaan, yang dicemooh sebagai ”Manikebu” itu dan dilarang pemerintah pada tanggal 8 Mei 1964, bagi saya sudah usai dan usang sebagai persoalan politik. Yang melarangnya, Pemimpin Besar Revolusi dalam sistem ”demokrasi terpimpin”-nya, sudah tak ada lagi sejak 1966; yang dibungkam sudah lama menikmati kebebasan. Pada sisi lain, Lekra, yang di tahun 1966 dicoba dikuburkan, yang para anggotanya dibunuh, dipenjara, dan dijadikan manusia kusta kini, setelah Reformasi 1998, sudah semakin punya ruang yang terbuka untuk bersuara dan dipercakapkan.
Maka, itulah alasan saya yang kedua: saya berdiri di sini untuk merayakan syukur bahwa kini kita hidup di Indonesia yang berbeda, sebuah Indonesia yang cukup luang hingga saya bisa berada di dekat kawan-kawan perupa Bumi Tarung, sebagaimana kawan-kawan Bumi Tarung bisa dan bersedia mengundang saya berbicara.
Karena itulah, bagi saya, persoalan ”Manikebu-Lekra” sudah tak relevan lagi—sepanjang persoalan itu bagian dari sengketa politik; bukan saja karena elemen politik yang pernah dan akan meneruskan pertentangan itu praktis sudah hilang, tapi juga karena pengalaman sejarah yang mengerikan dari masa tahun 1960-an telah memberi kita kearifan tersendiri: ada hal-hal yang terus bisa diperdebatkan tanpa menyebabkan salah satu pihak harus punah. Ada hal-hal yang terus bisa dipercakapkan dengan harapan bahwa perdebatan itu akan membuat kerja kita dalam kesenian berkembang sebagai praksis yang hidup.
Seperti beberapa hari yang lalu saya katakan ketika memperingati wafatnya Oey Hay Djoen, apa yang agaknya dicita-citakan Bung Hay Djoen—ketika ia menerjemahkan karya Chernisevski, Hubungan Estetik antara Seni dan Realitet untuk Lekra—ialah agar kita, yang bekerja dalam kesenian, tak cukup hanya bekerja, tapi juga mencoba memikirkan apa yang kita kerjakan. Kita harus, untuk memakai semboyan Maois, menempuh siklus ”praktik-teori-praktik”.
Semboyan itu menunjukkan bagaimana pentingnya tak melepaskan teori dari praktik dan tak melepaskan praktik dari teori. Saya senang bahwa tendensi ini tampak pada Sanggar Bumi Tarung, yang seperti kita lihat hari ini mencantumkan tesis-tesisnya untuk mengiringi pameran ini. Itu pula sebabnya, saya merasa senang untuk datang.
Akhirnya inilah alasan saya yang ketiga, kenapa saya dengan bersemangat berbicara di pertemuan ini: saya terpesona oleh kanvas Djoko Pekik dan pahatan kayu Amrus Natalsya.
2 Menatap ke kanvas Djoko Pekik—dari Kretaku Tak Berhenti Lama sampai dengan Tak Seorang Berniat Pulang—dan memandang pahatan kayu Amrus Natalsya yang menampilkan pemandangan kota Jakarta lama dan pelbagai variasi imajinasi tentang pelayaran Cheng Ho, saya menyaksikan ”realisme”. Tapi, ”realisme” ini adalah sesuatu yang bergerak sebagai narasi.
Karya kedua perupa itu (seraya mengingat patung dan lukisan perupa lain di Galeri Nasional ini) tampil dengan cerita yang tersirat. Tapi, yang ingin saya tegaskan ialah bahwa yang penting bukanlah apa cerita itu. Kita tak tahu isinya secara persis. Dan tak mengapa; kita toh tak selamanya akan bertemu dengan Pekik dan Amrus yang mungkin akan menjelaskannya kepada kita. Yang penting ialah bahwa mereka bercerita—dan gerak naratif dari karya-karya itu adalah tenaga yang membuat lukisan dan pahatan itu tak berhenti di depan kita—atau ”tak berhenti lama”. Mereka mengundang kita melanjutkan sendiri kisah yang tak seluruhnya terungkapkan itu; mereka menarik kita masuk ke dalam proses imajinasi yang baru, yang bukan mereka kuasai.
Itulah ”realisme” Pekik dan Amrus—bukan ”realisme” yang sekadar memunggah bentuk, warna, benda, dan manusia dari dunia di luar diri, dengan ketekunan merekonstruksi alam benda. Pekik dan Amrus, untuk memakai istilah Georg Lukacs, erzahlen, bukan beschreiben ’berkisah, bukan mendeskripsikan’.
Dalam esai dari tahun 1936 itu Lukacs memang tak berbicara tentang seni rupa, melainkan sastra. Perumus estetika Marxis terkemuka yang membawa ”realisme” ke dalam wacana filsafat dan politik ini memang mengangkat tesisnya dari novel Eropa abad ke-19. Tapi, dengan sedikit penyesuaian, saya kira kita dapat menerapkannya dalam membahas ”realisme” Pekik dan Amrus.
Bagi Lukacs, narasi atau bentuk berkisah (erzahlen) berlawanan dengan bentuk mendeskripsikan (beschreiben). ”Obyek-obyek jadi hidup secara puitis hanya sejauh mereka bertaut dengan kehidupan orang,” katanya. Itulah yang terjadi dalam narasi. Sebaliknya deskripsi, seperti yang dilihatnya dalam novel Nana Emile Zola, adalah hasil penggambaran yang amat rinci, teliti, rapi dari satu perspektif ke perspektif lain. Tapi, dalam pandangan Lukacs, deskripsi justru membuat realitas jadi ”obyek-obyek yang tak bernyawa”. Dalam deskripsi, orang-orang berubah jadi ”komponen alam benda”.
Tentu saja oposisi biner yang dibuat Lukacs agak dilebih-lebihkan. Dalam praktik, dalam kenyataan seni rupa dan novel, antara ”narasi” dan ”deskripsi” tak pernah terbedakan dengan tegas. Saya sendiri tak begitu cocok dengan pemakaian istilah ”deskripsi”; bagi saya, setidaknya dalam percakapan hari ini, lebih kena adalah ”konseptualisasi”.
Dengan itu kita terbantu untuk menjelaskan kenapa manusia dalam karya-karya Pekik bisa tak henti-hentinya memikat: masing-masing lucu, sekaligus akrab, aneh, tapi juga dekat. Masing-masing tak tergantikan. Karena kanvas itu bukan pameran trompe l’oeil yang pintar mengecoh mata dengan tiruan atas realitas, ia memergoki kita dengan sesuatu yang segar.
Sementara itu, jika kita lihat kanvas para pelukis Realisme Sosialis Uni Soviet, seperti sosok pekerja tambang karya Vladimirski, yang kelihatan bukanlah manusia yang hidup: justru dengan kerapian teknisnya, karya Vladimirski hanyalah menampilkan tipe, dengan kata lain, satu konsep yang diterjemahkan. Yang ”tipikal” tak berkisah. Ia hanya merumuskan.
Yang ”tipikal” juga yang kita lihat dalam Patung Petani Bersenjata di Menteng, Jakarta: lekuk, permukaan, dan postur sang petani-gerilya serta perempuan yang mendampingi dan melayaninya itu rapi. Tapi, kisah sudah dirumuskan di monumen itu: untuk memakai salah istilah Lukacs dalam dikotomi lain, patung itu simbolik, bukan realistik. Apalagi dalam pengalaman sejarah Indonesia, tak ada gerilyawan yang mengenakan caping, bertelanjang dada, tapi memanggul bedil. Sosok itu tidak unik, dapat digantikan dengan siapa saja, sepanjang ia melayani satu konsep. Sementara itu, karya Edi Sunarso Hanuman Menangkap Matari—ia bukan lambang, ia bukan tipe, tapi makhluk yang tak terduga-duga.
Pada dasarnya, yang tak terduga-duga itulah yang menyebabkan sebuah karya memunculkan sesuatu yang ”indah”. Keindahan tak sama dengan keapikan, kemolekan, dan kerapian, terutama di suatu masa ketika yang apik, yang molek dan yang rapi jadi komoditas. Di zaman ini, keindahan adalah penampikan dari jerat komodifikasi, ketika sebuah hasil kerja, bahkan sebuah kehidupan, tak lagi unik, tak tergantikan, karena bisa ditukar dan dijadikan alat, kata lain dari benda.
Tapi, dengan masuk ke dalam proses naratif yang terbuka untuk apa saja yang tak terduga itu—bukan terpaku oleh konsep yang telah siap seperti sebuah blueprint—proses kreasi adalah perjalanan yang tak dapat ditentukan lebih dulu akhirnya. Proses itu proses yang merdeka. Tiap momen adalah sebuah gerak pembebasan, walaupun bersifat setempat, gerak yang mungkin yang tak sepenuhnya disadari—karena tiap sapuan kuas, tiap benturan pahat, mencoba menangkap dan melahirkan yang baru, yang lain, yang tak mengulang.
Dengan kata lain, tiap momen kreatif adalah usaha membebaskan diri bukan saja dari yang fisik, misalnya cat, kuas, dan kanvas, tapi juga membebaskan diri dari kekangan lain, misalnya tradisi, kelaziman, klise-klise.
3 Di sini kita harus berbicara tentang kemerdekaan kreatif. Saya kira kesalahan pokok ketika orang berbicara tentang hal ini adalah ketika kemerdekaan kreatif dianggap identik dengan kemerdekaan subyek yang penuh. Pengertian liberal tentang ”kebebasan kreatif” seorang individu di sini sama sekali tak tepat; Lenin menampik gagasan ”kebebasan” itu—tapi sayang, ia juga tak dapat melihat bahwa dalam proses kreatif, subyek (sang seniman) bukanlah sebuah satuan individual yang menantang kebersamaan; sesungguhnya ia suatu yang berada di tengah paradoks.
Seperti telah disebut tadi, di tiap momen ketika sebuah karya direnungkan, dirasakan, dan dibentuk, berlangsunglah pembebasan diri. Dari sini gairah mencipta muncul. Tapi, pada saat itu, sang seniman justru bisa terjebak ke dalam ketidakbebasan—karena ilusi tentang daya jangkaunya sendiri.
Ketika orang menemukan perspektif di Italia di abad ke-14, orang beranggapan bahwa ruang yang terhampar di luar diri adalah ruang yang dapat dikuasainya. Dari luar itu, ”ruang” itu dipindahkan ke dalam kanvas. Agaknya ini sama dengan anggapan yang berlaku ketika kapitalisme mengubah ”ruang yang dihuni kehidupan” (espace vécu, kata Lefebvre) jadi ruang yang dapat dipertukarkan, ruang yang bisa ditundukkan dan diukur. Pendeknya, ruang yang kehilangan daya pesonanya.
Yang sering diabaikan ialah bahwa perspektif juga menyempitkan subyek, yang melihat ruang di luar dirinya, dari satu titik, satu garis lurus, dan satu sudut. Jika kita melihat kanvas Djoko Pekik (juga kanvas Rusli, kanvas Affandi, dan lain-lain, dan tak dapat dilupakan: pelukis tradisional Bali), kita mengalami sang pelukis yang lepas bebas, tak terkurung oleh satu sudut satu garis. Yang paradoksal di sini: sikap lepas bebas itu justru terjadi ketika sang pelukis membiarkan ruang hadir, bahkan tumbuh, dalam pesonanya yang awal. Dengan kata lain, ketika subyek sang pelukis sumeleh, tak hendak menaklukkan.
Saya kira itulah sebabnya saya terpukau melihat luasnya cokelat dengan hijau lamat-lamat dalam kanvas Djoko Pekik, melihat susunan kehidupan dalam patung Amrus: masih ada misteri di sana, masih ada narasi yang masih bergerak. Jika ada muncul detail sebilah pisau, sebuah sepeda, selembar gorden di jendela rumah Cina—detail itu seakan-akan tak berfungsi apa-apa, selain meneguhkan bahwa tak semua dapat dimengerti. Aku, sang pembuat, tak dapat menyelesaikan dan menentukan arah maknanya. Sebab subyek yang merdeka, dalam penciptaan kreatif, bukanlah subyek yang sepenuhnya muncul untuk mengukuhkan kedaulatannya. Subyek yang di sana sebenarnya subyek yang justru setengah hadir, ke mana apa yang tak terduga menyelinap. Kemerdekaanku adalah bagian dari kemerdekaan yang lain di luar aku. Bukan-aku.
Itu sebabnya, di satu pihak kesenian, untuk meminjam kata-kata Sanusi Pane, tidak bisa ”dibestel”. Proses kreatif tak bisa dikomando. Tapi di lain pihak, karya seni bukan sebuah kekuatan yang menentukan sikap orang lain.
Maka, tak mengherankan bila dalam sejarahnya, kesenian merupakan elemen kebudayaan yang setia. Kebudayaan, seperti kata Oey Hay Djoen, adalah himpunan usaha bersama manusia ke arah emansipasi. Kesenian sendiri adalah proses kreatif seperti yang saya gambarkan tadi: sesuatu yang tak bisa melepaskan momen-momen pembebasan dalam proses kreatif. Emansipasi bukanlah hanya sesuatu yang terletak di masa depan. Ia terpaut erat dengan saat ini.
4 Persoalan yang dihadapi perjuangan emansipasi, seperti yang ditempuh oleh kaum revolusioner di abad yang lalu, adalah bagaimana membuat proyek pembebasan untuk masa depan berjalan bersama dengan kebebasan hari ini.
Kita tahu bahwa para seniman Bumi Tarung sebenarnya juga bertemu dengan persoalan itu—seperti para seniman lain di Indonesia di tahun 1960-an, termasuk seniman ”Manikebu”. Pada hemat saya, di situlah titik pertemuan Bumi Tarung + Lekra dengan ”Manikebu”: harus menjawab persoalan itu.
Tidak mudah, memang. Bagi saya, ketika merumuskan ”Manikebu” bersama sejumlah teman lain, kebebasan dalam proses kreatif tak bisa diingkari, ya, tak bisa dikorbankan meskipun kebebasan di masa depan begitu penting. Jika saya melihat karya-karya seni rupa Bumi Tarung dan para perupa Lekra lain, saya kira sikap yang sama punya benih yang kuat. Karya mereka tak membebek pada formula apa pun.
Tapi, tahun 1960-an itu adalah tahun mobilisasi politik dan konsolidasi ideologis. Perdebatan amat terjepit oleh dorongan-dorongan itu. Tak banyak orang ”Manikebu” yang memahami ”Realisme Sosialis”, cita-cita kebudayaan Lekra, panggilan moral yang tinggi dari gerakan komunis. Sebaliknya, tak saya lihat ada orang Lekra yang dengan serius menelaah teks ”Manikebu”. Tahun 1960-an juga masa ketika pemikiran tentang ”kebebasan kreatif”—seperti saya sebut di atas—dianggap sama dengan kebebasan individu dalam pemahaman liberal. Tak kalah penting, tahun 1960-an adalah masa ketika pengalaman yang menyangkut hubungan kebebasan kreatif dan revolusi—terutama di Indonesia—belum bersentuhan dengan pengalaman Uni Soviet semenjak jatuhnya Stalin, hilangnya legitimasi ”realisme-sosialis” dalam rumus Zhdanov, dan guncangnya sendi-sendi ideologis di Cina semasa dan karena Revolusi Kebudayaan.
Baru sekarang kita makin mengetahui bagaimana pengertian ”Politik sebagai Panglima” bisa diartikan sebagai ”Partai sebagai Panglima”, tapi bisa juga tidak. Sebab, bahkan bagi seorang Marxis-Leninis yang tak khianat, Partai—seperti yang telah disaksikan sejarah—tak lagi jadi mahasumber kebenaran. Baru sekarang kita sebenarnya bisa membaca bahwa ”Manikebu” sebenarnya tak pernah menampik pentingnya politik, tak serta-merta menerima paham: ”humanisme universal” dan menafikan ”Realisme Sosialis”. Baru sekarang terbuka pintu untuk mengetahui, dengan sikap yang lebih lapang, perdebatan tentang seni dan revolusi berlangsung di mana-mana—dan tak ada satu suara yang bisa membungkam suara lain.
Jika kini kita bisa menyaksamai itu semua, kita agaknya akan lebih arif tentang soal-soal yang masih harus kita jawab: hubungan kesenian dengan politik, hubungan kesenian dengan rakyat, dan bagaimana memanggil datangnya kembali—kalaupun mungkin—imajinasi revolusioner.
Saya percaya bahwa kreativitas yang ditunjukkan Bumi Tarung sejak ia berdiri—seraya melampaui penindasan paling brutal dalam sejarah Indonesia modern—akan jadi sumber inspirasi yang tak akan lekang. Sebagaimana karya Djoko Pekik dan Amrus Natalsya tak mati-mati.
Jakarta, 29 Juni 2008
* Goenawan Mohamad, Penanda Tangan Manifes Kebudayaan
[Disajikan pada Pameran Bumi Tarung di Jakarta, 29 Juni 2008]
Sumber: Kompas, Jumat, 11 Juli 2008
No comments:
Post a Comment