-- Yudi Latif
ADA saatnya kepentingan dan ideologi sektoral berhenti ketika kepentingan nasional yang lebih besar harus dimulai.
Dalam mosi integralnya di depan parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir berkata, ”Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa pemerintah terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang. Dengan begitu mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baharu, bebas dari bekas persengketaan-persengketaan yang lama, elan dan gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan negara kita ini. Semuanya itu diliputi suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme, dan proporsionalisme.”
Dalam ”Mosi Integral Natsir” ini, jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI ditempuh dengan mengajak semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir menyerukan agar tak memaksa negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS. Solusinya adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik.
Kepentingan bangsa
Dalam menggagas mosi ini, Natsir sebagai pemimpin partai terbesar, Masjumi, terlebih dulu melakukan penjajakan. Di Negara Pasundan, ia menemui Sekarmadji Kartosuwirjo agar tidak memproklamasikan Darul Islam. Di parlemen ia berunding dengan IJ Kasimo dari Partai Katolik, AM Tambunan dari Partai Kristen, dan Mr Hardi dari PNI.
Hal ini membuktikan manusia selalu lebih kaya daripada suatu kategori. Ketika suatu kategori dipaksakan untuk merepresentasikan seseorang, selalu ada luberan yang tak tertampung oleh kategori itu. Terlebih jika seseorang itu manusia besar, yang selalu lebih besar dari diri sendiri. Seorang Natsir, yang dikategorikan sebagai figur ”Islamis”, yang secara stereotip dihadapkan dengan ”nasionalis”, dalam momen-momen kritis yang mengancam kelangsungan bangsa, lebih mengedepankan kepentingan nasional ketimbang kepentingan dan ideologi partainya.
Pengalaman traumatik pencoretan Piagam Jakarta segera dilupakan ketika panggilan revolusi harus diutamakan. Natsir berkata, ”Di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan, saya adalah salah satu di antara menteri yang memiliki hubungan paling dekat dengan Soekarno.... Polemik-polemik yang tajam di antara kami pada tahun 1930-an mengenai dasar negara Indonesia merdeka telah terlupakan.”
Ditunjuk menjadi perdana menteri pada September 1950, sebagai bentuk penghargaan atas mosinya yang elegan, Natsir tak sungkan membentuk kabinet koalisi, melibatkan unsur-unsur non-Muslim dan nasionalis—Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, PSI, dan PIR.
Selama lima tahun (1950-1955) dominasi Muslim dalam kepemimpinan politik nasional, partai-partai Islam menjunjung tinggi prinsip demokrasi sambil menidurkan obsesinya terhadap politik identitas.
Sebagai perdana menteri, Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam. Dia percaya konsep negara Islam merupakan suatu yang ideal, yang tidak bisa diraih melalui kekerasan. Saat yang sama, dia menegaskan, kaum Muslim harus memperjuangkan tata politik yang demokratis. ”Sejauh terkait (pilihan) kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan karena Islam hanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis.”
Ketika Masjumi berkuasa, Natsir tak ragu mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam pidato di Pakistan Institute of World Affairs, 1952, ia membela Pancasila yang dinilai selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama, lima sila itu dipandang menjadi dasar etika, moral, dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid.
Hal serupa ia utarakan pada peringatan Nuzulul Quran, 1954: ”Rumusan Pancasila merupakan hasil pertimbangan yang mendalam di kalangan pemimpin nasional selama puncak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Saya percaya dalam momen yang menentukan semacam itu, para pemimpin nasional yang sebagian besar beragama Islam tidak akan menyetujui setiap rumusan yang dalam pandangan mereka bertentangan dengan prinsip dan doktrin Islam.”
Klaim-klaim keislaman atas politik Indonesia dihidupkan kembali oleh partai Islam selama dan setelah kampanye Pemilu 1955. Dalam menghadapi persaingan politik yang sengit, terutama dengan kebangkitan kembali komunisme, politik identitas diaktifkan kembali dalam rangka memobilisasi dukungan.
Meski persidangan Konstituante berhasil menyepakati semua pasal yang bersifat substantif, ia gagal mencapai kompromi menyangkut dasar negara. Terhadap semua pasal yang telah disepakati itu, ”Kubu Islam” ingin menutupnya dengan mencantumkan Islam sebagai dasar negara. Sedangkan ”Kubu Pancasila” ingin menutupnya dengan dasar Pancasila.
Prawoto Mangkusasmito menyebut kedua kubu itu sebagai ”kubu Pancasila” versus ”kubu non/anti-Pancasila” sebenarnya tidak tepat. Menurut dia, kubu Islam pun sebenarnya setuju dengan seluruh sila Pancasila. Masalahnya cuma ingin mempertahankan ”tujuh kata” Piagam Jakarta setelah frase ”Ketuhanan yang Maha Esa”. Bagi kubu Islam, hal ini penting untuk memberi tanda bahwa Islam yang sepanjang masa kolonial terus dimarjinalkan mendapat tempat yang layak dalam Indonesia merdeka. Hal ini menjadi lebih penting dihadapkan ancaman PKI yang bermaksud mengubah sila pertama menjadi sila kebebasan beragama/tidak beragama.
Alhasil, tuntutan terhadap negara Islam, termasuk Piagam Jakarta, bukan sesuatu yang esensial yang tak bisa dipengaruhi perubahan ”cuaca”, tetapi ditentukan oleh struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang ada. Terbukti, antara tahun 1950 hingga awal 1955—saat politik Islam berkuasa—tuntutan ke arah itu mereda. Sebaliknya, ketika politik Islam goyah selepas Pemilu 1955, isu negara Islam dan Piagam Jakarta kembali hidup.
Kini, saat struktur kesempatan politik memberi keluasan bagi pengembangan Islam, bahkan partai-partai nasionalis pun mengakomodasi aktivis dan sayap Islam, obsesi terhadap politik identitas sebenarnya bersifat anakronistik. Ketika kehidupan nasional dilanda krisis berkepanjangan, saatnya aktivis Islam meniru keteladanan Natsir: mencurahkan perhatian pada hal-hal substantif demi kepentingan nasional yang lebih luas ketimbang kepentingan golongan dan perseorangan.
Dalam peringatan 100 tahun Natsir, semoga kebesaran jiwanya menyirami jiwa para pemimpin yang kerdil.
* Yudi Latif, Dewan Ahli Nurcholish Madjid Society; Direktur Eksekutif Reform I
Sumber: Kompas, Rabu, 16 Juli 2008
No comments:
Post a Comment