Thursday, July 24, 2008

Mementaskan "Sandekala", Mengritik Korupsi

KORUPSI telah menjadi sebuah "budaya" yang mengakar di tubuh birokrasi sehingga menyatu dalam darah para birokrat di semua bidang pemerintahan. Seperti virus yang mematikan, korupsi telah menggerogoti segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kelompok Mainteater beraksi pada pementasan "Sandekala" di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (22/7). Pementasan yang mengadopsi novel karya Godi Suwarna menceritakan gejolak kerusuhan Mei 1998 dan digarap sutradara Wawan Sofwan untuk memperingati 100 tahun Harkitnas dan 10 tahun reformasi. (Abimanyu)

Melihat kenyataan itu, Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), ICW, WALHI, dan Mainteater didukung oleh beberapa organisasi masyarakat menggelar pentas teater yang bertajuk Sandekala di Taman Izmail Marzuki (TIM), Selasa (22/7).

Pementasan teater yang disutradarai oleh Wawan Sofyan ini, adaptasi dari novel berbahasa Sunda karya Godi Suwarna Sandekala yang memenangi penghargaan Sastra Rancage 2007.

Menurutnya, melawan korupsi sebagai "wabah yang membudaya" diperlukan perlawanan dengan medium yang sama, yakni melalui budaya pula.

"Kami tidak punya media lain untuk mengkritik kebobrokan korupsi, sebagai orang budaya kami melakukannya lewat budaya juga," ujar Wawan Sofyan, sutradara sekaligus produser seusai pementasan.

Ia mengatakan, korupsi merusak secara sistematik berbagai aspek dan dimensi kehidupan.

"Korupsi sangat berbahaya bagi perkembangan negara kita. Teater ini sebagai bentuk kampanye kami agar semua orang tahu sejauh mana kehancuran di negeri kita saat ini," tambahnya.

Pementasan teater yang menghadirkan sebanyak 25 tokoh dan dimainkan oleh berbagai kelompok teater ini berkisah tentang Suroto, Camat Kawali Ciamis yang korup dan memerintah dengan tangan besi. Dengan kekuasaannya itu, dia berbuat sewenang-wenang termasuk merampas hak-hak warga setempat demi kepentingan pribadi. Ia melakukan kolusi dengan para kontraktor untuk pembangunan gedung olahraga dan pasar. Ia juga menyetujui penyelenggaraan pasar malam di alun-alun kota, padahal tempat tersebut dekat sekali dengan masjid agung, sekolah dan rumah sakit. Ia pun menggunakan kekuasaannya sebagai camat untuk meraup keuntungan yang tentu saja masuk ke kantong pribadinya.

Menurut Wawan, dipastikan korupsi juga sebagai penyebab terbesar terjadinya kerusakan lingkungan. Pernyataan tersebut merujuk pada tokoh Suroto yang pada pementasan awal menyuruh para pengawalnya untuk menebang hutan keramat yang oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai tempat suci dan telah dikeramatkan sejak abad ke-13.

Penggundulan hutan mengakibatkan ketidakseimbangan alam. Hal ini tergambar ketika hutan tersebut digunduli, muncul belalang dalam jumlah yang banyak juga berbagai "penghuni hutan" yang selama ini tidak ada. Termasuk arwah putri kerajaan Galuh, Diah Pitaloka yang konon jenazahnya dimakamkan di tempat tersebut.

Melihat perilaku camat itu mulailah terjadi krisis kepercayaan yang membuat masyarakat mulai gerah. Berawal dari korupsi hingga akhirnya timbulah krisis kepercayaan yang membuat masyarakat menjadi gerah. Masyarakat mengajukan protes atas tindak tanduk camat tersebut, namun protes itu tidak ditanggapi. Malahan, salah seorang tokoh masyarakat yang sangat vokal, Bagus Magenda diculik. Tokoh Bagus adalah bekas wartawan yang dipecat dari pekerjaannya karena memberitakan seorang pejabat yang korupsi. Celakanya, pejabat itu adalah kenalan dari pemilik surat kabar tersebut.

Demonstrasi

Putri sang camat yang kebetulan mahasiswa mendukung penentang ayahnya. Dia yang selalu membocorkan rapat-rapat muspika di rumahnya kepada teman-temannya sehingga penculikan yang lebih banyak bisa dihindari.

Para pimpinan demonstran bersembunyi di sebuah tempat keramat dan menyusun kembali strategi untuk demonstrasi yang melibatkan banyak orang. Besoknya terjadilah demonstrasi besar-besaran.

Awalnya, unjuk rasa terkendali tapi tiba-tiba jadi tidak terkontrol dan cenderung anarkis. Kantor polisi dibakar, koramil dimusnahkan, pasar diserbu dan dijarah, serta kantor camat dihancurkan.

Bupati sebagai atasan camat langsung menurunkan petugas. Para pemimpin demonstran dicari dan dikejar. Cerita ini kemudian berujung penculikan dan penembakan terhadap para aktivis yang bersembunyi di hutan. Penggambarannya seperti kerusuhan Mei 1998.

Pertunjukan Sandekala ini memang selain mengkritik korupsi dan kerusakan lingkungan, juga mengingatkan kita pada masa reformasi Mei 1998. [DMF/N-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 24 Juli 2008

No comments: