Thursday, July 17, 2008

Opini: Natsir Pahlawan Nasional?

-- Asvi Warman Adam*

TANGGAL 17 Juli 2008, tepat 100 tahun kelahiran Mohammad Natsir. Kali ini, peringatan tidak hanya mengenang pemikiran dan kepribadian tokoh yang bersih dan konsisten, tetapi ada usul untuk mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.

Mohammad Natsir berjasa mengembalikan bentuk pemerintahan federal menjadi negara kesatuan. Ia yang prihatin dengan proses disintegrasi negara-bangsa berpidato pada sidang DPR Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 3 April 1950 yang dikenal sebagai Mosi Integral Natsir.

Negara kesatuan

Ia mengusulkan agar RIS melebur kembali menjadi negara kesatuan Republik Indonesia. Atas jasanya, Soekarno meminta Natsir untuk membentuk kabinet yang pertama dari negara kesatuan Republik Indonesia (1950-1951). Dalam pemilu pertama 1955, ia berprestasi memimpin Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) meraih suara nomor dua terbanyak setelah PNI (Partai Nasional Indonesia).

Jika kita berbicara tentang etika politik, itu sudah ditunjukkan Natsir. Ia bisa berdebat sengit dengan Ketua PKI DN Aidit di dalam sidang, setelah itu berbincang ringan sambil meminum secangkir kopi. Kehidupan yang asketis juga dijalani politikus Muslim kaliber internasional ini.

Bila kita kini melihat mobil- mobil mewah diparkir di pelataran gedung DPR, Natsir menolak ketika seorang pengusaha memberi hadiah sebuah mobil Chevrolet Impala yang saat itu tergolong mentereng. Padahal, di rumahnya hanya ada sebuah mobil tua, De Soto.

Ia berpolitik secara santun dan berdakwah tanpa kekerasan. Ia politikus yang hidup bersahaja. Ia santun terhadap Soekarno dan bersikap correct terhadap Soeharto. Pada awal Orde Baru ia berjasa mengirim nota kepada Tunku Abdurrachman dalam rangka pencairan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Ia mengontak Pemerintah Kuwait agar mau menanamkan modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintahan Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi. Ironisnya, imbalan yang diberikan penguasa adalah larangan baginya untuk kembali ke pentas politik.

Pahlawan nasional?

Masalahnya, layakkah ia diangkat sebagai pahlawan nasional? Dalam kriteria pahlawan nasional ada klausul, orang itu tidak pernah cacat dalam perjuangannya. Selama Orde Baru kriteria itu digunakan tanpa ukuran yang jelas. Kabarnya Sanusi Hardjadinata, tokoh PNI, mantan Menteri era Soekarno dan Gubernur Jawa Barat saat berlangsung Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, ditolak menjadi pahlawan nasional karena pernah menandatangani Petisi 50.

Alasan itu terasa berlebihan karena petisi yang dikeluarkan 50 tokoh nasional tahun 1980 itu merupakan sikap kritis atas pernyataan Presiden Soeharto yang otoriter terhadap mereka yang mencoba mengubah Pancasila dan UUD 1945. Natsir menandatangani petisi itu, juga Sanusi Hardjadinata, Hugeng, Ali Sadikin, SK Trimurti, dan banyak tokoh lain. Alasan ini seyogianya tidak digunakan untuk menolak pencalonan pahlawan nasional.

Petisi jelas berbeda dengan pemberontakan, meskipun Soeharto menanggapi dengan tindak kekerasan senada. Sebenarnya, yang memberatkan Natsir adalah keterlibatannya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958 dan meningkat dengan pembentukan Republik Persatuan Indonesia (RPI) tahun 1960 yang terdiri dari 10 negara bagian seperti Republik Islam Aceh dan Republik Islam Sulawesi Selatan (Audrey dan George Kahin, 1997: 381)

Sjafruddin Prawiranegara

Tahun lalu, Sjafruddin Prawiranegara juga diproses sebagai calon pahlawan nasional. Namanya lolos seleksi Badan Pembina Pahlawan Pusat. Namun, usulan ini kandas di tangan Presiden. Tampaknya keterlibatan Sjafruddin Prawiranegara dalam sebuah pemberontakan tetap tidak bisa ditolerir kepala negara.

Padahal, Sjafruddin Prawiranegara memiliki jasa besar terhadap negara. Apa jadinya Indonesia bila Sjafruddin tidak memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintahan gerilya yang bergerak di Sumatera. Tentu terjadi kevakuman pemerintahan, atau republik mengalami mati suri sesaat.

Saat ini, pemerintah hanya menetapkan terbentuknya PDRI sebagai hari bela negara. Selain bintang jasa tertinggi yang diterima, namanya diabadikan pada dua gedung yang berseberangan di Jl Budi Kemuliaan Jakarta (di kompleks Bank Indonesia dan satu lagi di Departemen Pertahanan karena Sjafruddin pernah memimpin kedua instansi ini).

Warga Minangkabau tentu bangga bila pemangku adat Mohammad Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang menjadi pahlawan nasional. Namun, bila ketentuan menegaskan, tokoh yang terlibat pemberontakan tidak memenuhi syarat, dengan jiwa besar harus menerimanya. Bukankah Natsir telah mendapat penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana yang diberikan semasa pemerintahan Habibie. Meski itu bukan gelar pahlawan nasional, biarlah asketisme hidupnya senantiasa dikenang masyarakat dan kebersahajaan beliau menjadi contoh bagi kita semua terutama para pemimpin di negeri ini.

* Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI

Sumber: Kompas, Kamis, 17 Juli 2008

No comments: