-- Joice Tauris Santi
UPAYA untuk belajar bahasa China telah menjamur di Indonesia, seiring dengan perbaikan hubungan kedua negara dan perekonomian China yang maju pesat. Bahasa China diajarkan mulai dari sekolah internasional hingga kursus-kursus yang diselenggarakan di rumah toko atau ruko. Sebaliknya, pengajaran bahasa Indonesia di China sudah dimulai puluhan tahun lalu.
Salah satu pelopornya adalah Profesor Wu Wenxia, pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Bahasa-bahasa Asing Beijing yang pensiun pada tahun lalu. Wu adalah salah satu siswa angkatan pertama yang belajar bahasa Indonesia pada tahun 1960.
Banyak orang bertanya mengapa Wu memilih mempelajari bahasa Indonesia. ”Sebenarnya bukan dari diri sendiri, tetapi perintah partai. Saat itu saya baru lulus sekolah menengah dan ditunjuk memenuhi kebutuhan negara, mempelajari bahasa Indonesia,” katanya.
Di ruang tamu apartemennya yang terletak di Beijing bagian utara, tak jauh dari Kompleks Stadion Olimpiade, dia mengenang saat awal perjalanan dan obsesinya terhadap bahasa Indonesia.
”Ketika itu 10 siswa di kelas bahasa Indonesia tidak tahu- menahu tentang apa dan bagaimana gerangan bahasa Indonesia,” katanya. Wu berbicara dalam bahasa Indonesia fasih, lengkap dengan ungkapan khas Jakarta, seperti ”deh” , ”sih”, dan ”makasih”.
Dosen pertamanya adalah seorang Indonesia keturunan China yang tinggal di Sumatera Utara. Dosen itu dipanggil ke China untuk mengajar kelas bahasa Indonesia di Akademi Dinas Luar Negeri yang berafiliasi dengan Kementerian Luar Negeri China. Sang dosen hanya menggunakan kertas-kertas coretan sebagai bahan mengajar karena tak ada buku pegangan.
”Dia yang memperkenalkan kami dengan Indonesia. Katanya, Indonesia terkenal dengan nama ’negeri ribuan pulau’. Kami mendapat pengetahuan sedikit demi sedikit tentang bahasa dan negeri Indonesia,” ujarnya.
Wu melanjutkan ceritanya. Ketika itu mereka kerap belajar berkelompok. ”Setiap habis makan malam, kami aktif latihan percakapan bahasa Indonesia,” katanya.
Selain kelas bahasa Indonesia, di akademi itu ada pula kelas lain yang mempelajari bahasa Inggris, Perancis, Thailand, dan bahasa negeri lainnya. Sekarang total ada 43 jurusan bahasa asing di universitas tersebut.
”Zaman itu serba susah, sering tiada listrik. Kalau sudah begitu, kami belajar di bawah lampu jalanan. Pada musim dingin, saya harus menahan angin yang menusuk tulang,” ujarnya bersemangat.
Belajar bahasa Indonesia tak semudah yang dia bayangkan. Wu harus mati-matian belajar melafalkan huruf ”r” yang bagi kebanyakan orang China sulit dilafalkan dengan tepat. ”Setelah berlatih selama satu bulan, baru saya bisa melafalkan huruf ’r’ dengan tepat,” ujarnya.
Setelah dua tahun mempelajari bahasa Indonesia di Akademi Dinas Luar Negeri, ia melanjutkan ke Akademi Bahasa-bahasa Asing Beijing yang kelak menjadi Universitas Bahasa-bahasa Asing Beijing (UBAB). Wu adalah dosen pertama dan sering menjadi satu-satunya pengajar di Jurusan Bahasa Indonesia UBAB. Sejak 1965 sampai Juni 2007, ia mengajar di almamaternya.
Tak ada pengganti
Seringkali dia menjadi pengajar tunggal di jurusan Bahasa Indonesia. Sejak tahun 1986 hingga pensiun, selama 20 tahun lebih, Wu mengajar sendirian sebab rekan pengajarnya pensiun atau meninggal, sedangkan para dosen muda silih berganti meninggalkan kampus. Mereka ”tergoda” tempat kerja yang menjanjikan, yang hasilnya lebih baik dibandingkan dengan menjadi dosen.
Apalagi setelah China membuka hubungan dagang langsung pada 1986 dan dipulihkannya kembali hubungan diplomatik China-Indonesia pada tahun 1990, tenaga pemuda China yang fasih berbahasa Indonesia sangat diperlukan. Wu bahkan pernah ditawari berbagai instansi atau perusahaan besar dengan iming-iming gaji lebih tinggi dibanding penghasilan sebagai dosen.
Tawaran itu dia tolak. Alasan Wu, meninggalkan kampus berarti ia merugikan para siswa. Mereka tak hanya akan seperti ”anak ayam kehilangan induk”, bahkan tak tertutup kemungkinan jurusan Bahasa Indonesia dihapuskan karena tak ada pengajarnya.
Dalam masa sulit itu, Wu mendapat bantuan dari beberapa orang, termasuk suaminya, Lu Chunlin, serta pensiunan ahli bahasa Indonesia di penerbit Pemerintah China, Mudiro dan istrinya, Desinar. Keterbatasan jumlah pengajar mengakibatkan jurusan Bahasa Indonesia hanya menerima siswa setiap empat tahun sekali. Jadi, setelah satu angkatan lulus, baru menerima murid baru.
Wu juga dikenal sebagai dosen yang mengayomi murid. Hubungan antara siswa dan guru tak sebatas di ruang kelas, tetapi sampai ke ”ruang hati”. Dia siap menerima keluhan apa pun dari para murid, bahkan sebagian mereka mendapatkan baju hasil jahitan Wu.
”Pernah ada orangtua murid yang datang dari desa, jauh dari Beijing. Dia tidak menemukan anaknya di asrama karena siswa itu sedang di rumah saya. Saya sedang mencukur rambutnya... ha.. ha...,” cerita Wu.
Kerajinan Indonesia
Di ruang tamu Wu terpajang barang-barang kerajinan dari daerah-daerah di Indonesia, selain berbagai cendera mata dari para muridnya. Wu sempat tinggal di Indonesia selama dua tahun, menemani suaminya sebagai Atase Pertahanan Pertama Kedutaan Besar China pada 1990-an.
Setelah pensiun, ia giat berolahraga di samping mengumpulkan suiseki dari berbagai tempat. Wu memutuskan pensiun setelah ada pengajar penerusnya. Muridnya, Wang Feiyu (26), bersedia memegang tongkat estafet pengajaran bahasa Indonesia di UBAB. Masih ada lagi pengajar lain, yaitu seorang warga negara Indonesia, Eddy Witanto (35).
Pensiun juga tak membuat Wu ”putus hubungan” dengan Indonesia. Dia setia mengikuti perkembangan Indonesia lewat internet. ”Bahasa Indonesia sudah menjadi profesi dan obsesi saya. Dalam sepekan, dua-tiga kali saya membaca surat kabar Indonesia lewat internet,” katanya.
Selama ini, almamaternya telah mewisuda lebih dari 130 orang. Jumlah ini akan bertambah 24 orang pada tahun depan. Selama delapan tahun (1966-1974), jurusan Bahasa Indonesia tak menerima siswa karena terjadi revolusi besar kebudayaan di China.
Tentang para muridnya yang telah bekerja di berbagai bidang, mulai dari perdagangan, diplomatik, sampai pariwisata, diakui memberinya kebanggaan dan ada kepuasan tersendiri.
”Mereka ikut membuat prestasi dan sumbangan dalam memperkenalkan Indonesia di China. Dan sebaliknya, memperkenalkan China di Indonesia,” kata Wu, ibu dua putra dan nenek seorang cucu ini.
Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Juli 2008
No comments:
Post a Comment