-- Indira Permanasari
”APA peristiwa sejarah Indonesia yang Bapak anggap penting dan paling diingat?” Tanpa jeda waktu lama, Wayan Tinggal menjawab pertanyaan tersebut. ”G 30 S (Gerakan 30 September) tahun 1965. Tetangga saya di Klungkung dibawa orang, saya melihatnya. Rumahnya terus dibakar,” kata sopir taksi di Sanur, Bali, ini.
Puluhan kilometer dari Bali, pertanyaan serupa kemudian dilontarkan kepada Irwan (37), warga Palmerah, Jakarta Barat.
”Sejarah....Yang saya inget mah, kejadian G 30 S. Sadis. Walaupun cuma lihat filmnya. Almarhum bapak saya pernah cerita, dia ditawari ikut mencari anggota partai terlarang waktu itu. Upahnya 1 liter beras. Bapak saya enggak mau,” ujar Irwan yang warga asli Betawi.
Peristiwa kedua terpenting versi Irwan dan masih sulit dilupakannya adalah kejadian Mei 1998. ”Orang kampung pada ngejarah. Saya juga ikut, dapet lima karung beras. Toko beras di Pasar Palmerah dicongkel orang-orang. Yang punya toko sudah kabur. Setelah itu, ada kebakaran di pasar dan dua orang meninggal. Terus banyak cerita rencana pembantaian,” ujarnya.
Cerita Wayan Tinggal dan Irwan merupakan penggalan kecil bagaimana sejarah Indonesia dimaknai sehari-hari oleh masyarakat. Peristiwa berwarna kekerasan melekat dan bersatu dengan pengalaman pribadi mereka.
Dalam penelitian James H Liu dari Centre for Applied Cross-Cultural Research School of Psychology Victoria University of Wellington, Selandia Baru, Perang Dunia I dan II muncul sebagai peristiwa teratas dalam riset tentang Representasi Sejarah Dunia.
Dalam penelitian yang dipaparkan dalam International Conference on Social Representations ke-9 di Bali awal Juli lalu, Liu mencoba melihat sejarah dunia yang bermakna universal dan spesifik atau kultur dan kawasan tertentu. Di luar peristiwa perang dunia, jawaban sangat variatif.
Representasi bersama terhadap sejarah nasional, menurut Liu, merupakan himpunan kearifan masyarakat dalam menghadapi isu atau masalah di masa lalu dan mempunyai kekuatan legitimasi di masa depan.
Lebih mudah diingat
”Perang dan kekerasan fisik lebih mudah diingat karena menimbulkan trauma dan mengancam pribadi,” ujar Hamdi Muluk, pengajar psikologi politik dari Universitas Indonesia.
Sejauh mana peristiwa mendominasi ingatan, tergantung kedahsyatan, luasan, dan makna sosialnya. Kekerasan, apalagi massal dan meluas, menimbulkan sensasi dan memicu emosi. Ketika ingatan itu terus dibagikan, terbentuk memori kolektif yang sulit dihapuskan. Apalagi jika ada keinginan merekayasanya demi kepentingan tertentu.
Bisa jadi masyarakat kemudian membagi periodesasi menjadi Indonesia jilid I pada tahun 1945, jilid II pada tahun 1965, dan jilid III pada tahun 1998.
”Kekerasan mengalahkan ingatan akan peristiwa kolaboratif seperti Kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda. Lebih mengerikan jika muncul pemikiran, membangun Indonesia baru itu harus melalui proses berkelahi, papar Hamdi.
Kekerasan dalam sejarah besar Indonesia umumnya terkait dengan peralihan kekuasaan. ”Ada keterlibatan kekuatan yang menguasai, gejolak, dan keinginan bebas dari pihak yang menguasai,” ujar Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Seluruh Indonesia, Ratna Hapsari.
Membentuk stereotip
Kisah kadang hidup lama dan terus direproduksi. Bahkan, dalam perjalanannya, berpilin dengan mitos dan membentuk stereotip tertentu pada suatu kelompok masyarakat atau suku.
Ratna mencontohkan kisah Perang Bubat. Perang itu konon terjadi pada pemerintahan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, dengan Mahapatih Gajah Mada. Diawali niat Hayam Wuruk memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Sunda, Hayam Wuruk mengirimkan surat kepada Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda untuk melamar Dyah Pitaloka dan ingin upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit.
Kedatangan rombongan Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat ada yang menganggapnya sebagai bentuk penyerahan diri kepada Majapahit. Terjadi insiden antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada yang berujung peperangan.
”Itu kemudian dikaitkan dengan tidak adanya jalan bernama Gajah Mada atau Hayam Wuruk di Bandung. Malah ada anggapan pria Jawa jangan menikahi perempuan Sunda. Ada stereotip yang entah bagaimana mengait dengan perang itu. Kalau Anda tanya Perang Bubat dan akar masalahnya, masyarakat di sana belum tentu tahu. Tetapi, ingatan bersama sebetulnya tetap ada lewat tutur,” ujarnya.
Memutus mata rantai
Bagi Ratna, penggalian sejarah dan fakta-faktanya harus terus dilakukan agar nantinya muncul wacana baru, bahkan tandingan untuk memutus mata rantai sejarah yang sarat kekerasan itu. Berbagai versi nantinya dapat dimanfaatkan dalam pendidikan.
”Anak-anak diajar berpikir kritis tentang sejarah. Informasi dikumpulkan dan didiskusikan. Penekanannya, pelanggaran hak asasi manusia tidak dapat dibenarkan, siapa pun pelakunya, sehingga anak belajar kearifan,” ujarnya.
Sejarawan Asvi Marwan Adam berpandangan senada. Pengungkapan sejarah mampu membongkar memori kolektif dengan tujuan peristiwa serupa tidak terulang.
Masa orde baru, misalnya, ada kesengajaan penciptaan versi tunggal sejarah. Buku Bayang- Bayang PKI yang memaparkan beberapa versi peristiwa 30 September 1965 sempat dilarang beredar. Namun, setelah 1998, terjadi perubahan. Buku tema tersebut mulai bebas diterbitkan. Film Gerakan 30 September tidak lagi diputar. ”Orang lalu mulai berpikir kritis,” ujarnya.
Para sejarawan mempunyai ungkapan, sejarah adalah guru kehidupan, historia magistra vitae. Kini, guru kehidupan yang mana yang akan dipilih untuk membangun masa depan bangsa?
Sumber: Kompas, Jumat, 18 Juli 2008
No comments:
Post a Comment