PENYAIR Oka Rusmini kembali menerbitkan kumpulan puisi terbaru, yang diberi judul Pandora. Kumpulan puisinya kali ini diterbitkan oleh PT Grasindo, Jakarta, berisi 40 puisi. Sebelumnya, dari penerbit yang sama, Oka menerbitkan antologi puisi Warna Kita (2007). Selain dikenal sebagai penyair, Oka dikenal pula sebagai penulis cerita pendek dan novel yang sarat dengan warna lokal. Nilai-nilai lokal tersebut mengental pula dalam kumpulan puisinya terbaru. Nilai-nilai lokal yang dimaksud adalah dunia Bali, alam, dan filsafat Bali yang dipahaminya sejak kanak-kanak.
Pandora kumpulan puisi yang ditulisnya selama sembilan tahun itu mengambil gaya penulisan ala prosa lirik dengan tema memperbincangkan dunia perempuan dalam berbagai posisi dan relasinya dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan yang diungkap oleh Oka dalam kumpulan puisinya itu adakalanya adalah kaum perempuan yang tidak berdaya di hadapan laki-laki. sekaligus kaum perempuan yang memperdaya kaum laki-laki yang sering kali menjunjung kenikmatan tubuh sebagai satu-satunya kenikmatan hidup di muka bumi.
Berkait dengan itu, tak aneh bila dalam sebuah puisinya yang diberi judul "Ulat" sebagai puisi pembuka dalam kumpulan puisi Oka berkata: sebuah pintu kubuka dengan darah. Impian-impian pun pecah/ dalam genggaman tangan, berharap sepotong daging akan/ menambal lubang yang rajin dicangkul perempuan yang dulu/ pernah memintaku jadi anaknya.//...
Puisi tersebut paling tidak dalam pandangan saya menggambarkan sebuah proses kelahiran yang mengendapkan rasa sakit yang demikian dalam di tubuh seorang perempuan, dalam hal ini adalah di tubuh ibu si aku lirik. Dalam tafsir yang lain, puisi tersebut mengungkapkan sebuah pengalaman rohani bahwa dalam memasuki kehidupan di muka bumi, tidak serta-merta seseorang bisa mendapatkan kebahagiaan atau penderitaan selama-lamanya. Seseorang akan senantiasa berhadapan dengan berbagai benturan nilai-nilai, yang harus dihadapinya dengan tabah.
Dalam percakapannya dengan penulis lewat SMS, Oka mengatakan bahwa apa yang ditulisnya itu sepenuhnya berangkat dari pengalaman dirinya bagaimana ia berhadapan dengan benturan nilai-nilai yang ada kalanya memosisikan kaum perempuan sebagai kaum yang lemah, tidak punya daya berhadapan dengan dunia lelaki yang keras.
Sebagai kaum perempuan yang punya harga diri, dengan segala rasa sakit yang dideritanya, Oka menolak diposisikan demikian, yang digambarkannya dengan larik-larik puisi seperti ini: seorang lelaki dan seorang perempuan yang menanamku mulai/ menanam manusia baru. Tak ada lagi wajahku. Mereka menari-/nari sendiri dengan barisan anak-anak yang pandai melepaskan/ busur ke jantungku// Lelaki itu hanya bisa diam, Bahkan ikut menyantap tubuhku/ Orang-orang datang dan memakiku/ / "Sebuah pementasan kumainkan lagi,"// mereka menyulam darahku di atas batu.//
Menghayati larik-larik puisi yang ditulisnya semacam itu, adalah menghayati dunia yang rakus yang tumbuh dan berkembang di tangan yang punya kuasa. Kekuasaan anarkistis semacam itulah yang ditolak oleh Oka. Oleh karena itu, kaum perempuan dalam keadaan apa pun harus bisa mandiri sekalipun ia mengalami cacat tubuh, entah itu dibawa sejak lahir atau kena sebuah penyakit.
Citra tubuh yang disakiti dan menyakiti itu bermunculan dalam puisi-puisi Oka, yang membuat kita sebagai pembaca puisi-puisinya terperangah, seperti petikan puisi di atas yang dipetik dari puisi "Kepompong." Paling tidak, begitulah Oka Rusmini hadir ke hadapan kita. Apa yang ditulisnya telah memperkaya perkembangan dan pertumbuhan puisi Indonesia kini, yang ditulis oleh kaum perempuan. (Soni Farid Maulana/"PR")***
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 Juli 2008
No comments:
Post a Comment