Sunday, July 13, 2008

Perkawinan: Kuncinya Saling Percaya

TIDAK semua pasangan dapat merayakan perkawinan emas mereka. Karena itu, undangan perayaan perkawinan emas Daoed dan Sri Sulastri Joesoef di Gedung Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta pada Rabu (9/7) sore lalu terasa istimewa.

Cara merayakan pesta perkawinan itu unik, yaitu dengan pameran lukisan karya mereka berdua, anak tunggal mereka Yanti, dan dua cucu mereka: Natasha dan Garin. Lukisan-lukisan tersebut dijual. ”Uangnya dipakai membangun dua kelas SD Kupu-kupu,” kata Daoed Joesoef.

SD Kupu-kupu berada di halaman rumah Daoed di kawasan Bangka, Jakarta Selatan, yang luas dan sejuk. Sekolah itu, menurut Daoed, didirikan Yanti setelah berhenti sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Berbincang di teras rumah mereka Kamis lalu terasa nyaman meskipun udara Jakarta terik.

Sulastri, tutur Daoed Joesoef, adalah teman satu sekolah di SMA di Yogyakarta.

”Ibu dulu paling cantik. Rambutnya panjang,” kata Daoed.

”Bapak itu selalu begitu,” tukas Sulastri.

”Kelasnya di seberang kelas saya, dan dia pendiam,” kata Daoed.

Ternyata keduanya sama-sama kuliah di Universitas Indonesia (UI). Sulastri masuk fakultas hukum dan belajar hukum adat dan Daoed masuk fakultas ekonomi.

Apa yang membuat keduanya berhasil melalui 50 tahun masa perkawinan?

”Yang terutama trust, saling mengasihi, dan menghargai pendirian masing-masing. Bukan berarti tidak ada perbedaan.

”Saya sering pergi ke luar kota sebagai dosen terbang ketika sebagai asisten dosen Prof Sumitro Djojohadikusumo diminta mengembangkan fakultas ekonomi (FE) di Universitas Hasanuddin di Makassar dan kemudian mengembangkan FE di Universitas Sriwijaya, Universitas Bengkulu, dan Universitas Lampung. Juga ketika tahun 1978 diminta Pak Harto menjadi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ibu sering tidak bisa ikut karena menemani Yanti,” kata Daoed.

”Bapak itu bisa diandalkan, kalau janji pasti ditepati. Tidak mencla-mencle. Saya percaya dia tidak akan aneh-aneh. Jadi, kalau Bapak harus pergi, saya ayem saja,” tutur Sulastri.

Berwarna

Daoed tampak begitu mengagumi dan menyayangi istrinya, selain ibu, putri, dan cucunya.

Daoed dekat dengan Sulastri setelah kuliah di UI karena memiliki banyak kesamaan.

Daoed yang berdarah Aceh tetapi lahir di Medan, harus bekerja sambil bersekolah untuk membiayai hidup. Sulastri sebagai anak tertua juga harus menyambi mengajar untuk membantu ibu dan adik-adiknya. ”Ayah meninggal waktu saya di tingkat pertama,” tutur Sulastri.

Pameran lukisan itu juga memperlihatkan kesamaan minat keduanya pada seni lukis. Di ruang belakang rumah mereka, masing-masing memiliki pojok melukis. Di sisi bagian Daoed, ditambah dengan meja untuk mengetik. ”Setiap hari saya masih menulis. Ada artikel yang saya kirim ke media, ada yang saya jadikan buku,” kata Daoed.

Di antara lukisan yang dipamerkan, terdapat sekumpulan sketsa karya Daoed semasa bergabung dalam Tentara Pelajar (TP) di Sumatera Utara dan kemudian Yogyakarta. Tetapi, sketsa terbaik karyanya hangus dibakar sesama anggota TP ketika Belanda menyerbu markas TP di SMA di Yogyakarta.

Salah satu sketsa, seperti dituturkan Daoed kepada tamunya saat pembukaan pameran, dibuat ketika pasukannya menyerbu markas kempetai di Hotel Siantar, Pematangsiantar, Sumatera Utara. ”Sambil menyerbu, saya membuat skets,” kata Daoed yang keterampilan melukisnya diasah gurunya di MULO di Medan.

Sebagai intelektual, Daoed terus menulis sampai kini. Pilihan sebagai intelektual itu pula yang menyebabkan Daoed menolak tawaran Profesor Scheffer, ahli moneter yang menjadi dosennya, memimpin Bank Sentral setelah Indonesia merdeka.

”Syaratnya tidak boleh menulis karena semua data perusahaan dikirim ke sana. Jabatan itu bergaji paling tinggi se-Indonesia,” kata Daoed yang ketika itu menjadi asisten dosen Prof Scheffer.

Tahun 1964 Daoed, Sulastri, dan Yanti berangkat ke Paris, Perancis, untuk memenuhi cita-cita Daoed bersekolah di Sorbonne yang tumbuh di Medan setelah membaca buku tulisan Adinegoro, Melawat ke Barat.

”Sebetulnya, Ibu ditawari Rockefeller mengambil doktor di mana pun. Beasiswanya dua kali lebih besar dari beasiswa saya dari Ford. Itu pun saya yang mencari-cari beasiswa. Tetapi, itulah perempuan Indonesia, perempuan Jawa. Ibu mengalah,” papar Daoed.

”Waktu itu Yanti baru berusia satu tahun dua bulan. Kelahirannya kami tunggu lima tahun. Saya takut kualat, sudah meminta kepada Tuhan diberi anak, bagaimana akan mengurus dia kalau kedua orangtuanya mengambil program doktor?” imbuh Sulastri tentang anak tunggal pasangan itu.

Pengorbanan itu tak sia-sia. Daoed mendapat dua gelar doktor, yaitu dalam bidang hubungan internasional dan keuangan internasional serta dalam ekonomi dan perencanaan pembangunan.

”Yang satu untuk Ibu karena sudah banyak mengalah,” kata Daoed. Sedangkan Yanti meraih gelar doktor dalam bidang mikrobiologi. (Ninuk MP)

Sumber: Kompas, Minggu, 13 Juli 2008

No comments: