-- Miming Ismail*
TAK dapat ditampik,Jakarta dengan seribu wajahnya menampilkan janji yang cukup menggoda setiap insan untuk merengkuh pesona kelimpahan kapital.
Meski tentu wajah suramnya selalu hadir secara telanjang di jalanan, mal, bis kota, dan di tempat-tempat lain,tempat bermukimnya kaum miskin kota. Dengan beragam modus dan ekspresi, masyarakat Jakarta—dengan kultur urbannya—tampil bersolek. Berbagai ekspresi, baik etis, estetis, maupun politis, serentak berubah seiring formasi diskursif yang turut berkembang saat ini.
Persoalan ekonomipolitik pun turut memengaruhi perilaku budaya masyarakat saat ini.Bahkan, dalam arti tertentu, domain ekonomi dan politik lebih memengaruhi ketimbang beberapa dimensi di atas. Melalui narasi besar kapitalisme, industrialisasi mengalami tingkat ekstensifikasi diri hingga melampaui ruang dan waktu.Fenomena terebut kemudian membentuk kesadaran masyarakat ke dalam jejaring simulakra bertabur citra dan tanda.
Tak ada lagi batas teritori dan waktu. Semua seperti melintas cepat tanpa batas apapun. Apa yang dirayakan di Eropa, Amerika, dan belahan dunia manapun, kini bisa dirayakan dan disaksikan di sini dan saat ini. Kekinian atau kebaruan pun serentak menjadi satu tanda penting bagi pencitraan diri masyarakat saat ini.
Karena itu, gelombang peralihan kebudayaan semacam ini juga dalam arti tertentu tidak hanya menunjukkan suatu kondisi peralihan dari masyarakat tradisional ke sekuler, bahkan melampauinya (post-secular society) yang ditandai budaya urban. Urbanitas sendiri bukan sekadar gejala sosial-ekonomi-politik semata, lebih dari itu adalah gejala budaya.
Karena itu,budaya urban saat ini juga menarik sebagai potret sekaligus jejak peralihan,persilangan,dan pertukaran budaya, dengan segala kemajuan dan keganjilan di dalamnya. Gelombang migrasi dari pedesaan ke perkotaan adalah cermin betapa kota-kota besar yang khas dengan monumen-monumen kapitalisme, kemeriahan anasir komoditas, dan pencitraan diri di dalamnya, memiliki daya magisnya tersendiri bagi setiap subjek yang memiliki utopia masa depan sehingga keterpukauan akan daya magis kapitalisme itu memunculkan gelombang migrasi masif.
Gelombang migrasi itu sendiri tidak hanya bertolak dari imajinasi tentang kota dengan perlimpahan materi semata, tapi juga peralihan atau perubahan pada setiap ekspresi dan modus kehidupan, utamanya gaya hidup masyarakat. Tentu saja kita tidak menampik bahwa dalam fenomena urban tersebut selalu m e mu n c u l k a n keganjilan-keganjilan tertentu.
Bentuk-bentuk anomali itu terlihat ketika disparitas itu nampak dalam parade capaian teknik dan industri, megahnya gedung pencakar langit, seni arsitektural yang mengagumkan, serta bentuk etalase modernitas lainnya, yang di tengah-tengahnya tampil parade kemiskinan masif, reprostitusi atau industri pelacuran, fenomena kegilaan, kriminalitas, dan seterusnya yang juga menghiasijalan-jalankota.
Budaya jalanan (street culture) juga seperti tampak menjadi tontonan, sekaligus ekspresi masyarakat urban di samping kerumunan massa yang terlihat elok melabuhkan hari dan malam-malamnya di kafe-kafe, mal, restoran, dan sebagainya. Fenomena tersebut persis tergambar dalam pentas teatrikal garapan Garasi, yang menampilkan Jejalansebagai tema utama dalam memotret realitas mutakhir.
Bentuk ekspresi kesenian maupun kesusastraan itu merefleksikan fenomena keganjilan dari capaian modernitas, di tengah keterpesonaan masif atasnya. Namun,di balik ekspresi ganjil itu, tentu saja ada kemajuan dalam beberapa bidang tertentu, meski secara tidak disadari hal itu juga lahir dari proses transformasi yang kerap mengabaikan elemen tradisi atau bahkan mengorbankan tradisi demi tujuan emansipasi dan kemajuan.
Sebab, proses transmisi kebudayaan tadi tidak selalu berjalan secara bertahap melalui suatu diskursus atau dialog antarkebudayaan. Dengan begitu, dalam batas tertentu, ideologi kemajuan dan emansipasi yang bersumber dari pencerahan itu hanya menyentuh aspek-aspek yang artifisial atau tematik semata dari semangat kemajuan yang sesungguhnya.
Hal itu tampak ketika ekspresi dan gaya hidup masyarakat urban itu bukan sebagai resultan dari ruang publik, tapi sebaliknya simtom-simtom dari krisis modernitas. Bahkan, dalam bentuknya yang paling vulgar, disparitas ekonomi-politik itu kerap melahirkan kekerasan dan anomali lainnya,akibat abai atas etika diskursus di dalamnya.
Masyarakat urban di negeri ini secara fantastis memang berubah pada tingkat gaya hidup kesehariannya.Namun, pada level rasionalitas, masyarakat perkotaan di negeri ini justru terjerembab dalam belenggu rasio sains dan teknologi semata, dengan mengabaikan khasanah atau tradisi yang sejatinya menyokong etika dan moralitas ruang publik politis. Jadi, perubahan itu hanya tampil dalam gaya hidup baru, perilaku konsumerisme, dan tribalisme ekonomi, yang kemudian melahirkan masyarakat sakit (patologi sosial), anarkis, frustrasi, dan sejenisnya.
Bahkan, dalam batas tertentu, spiritualitas masyarakat urban di dalamnya mengalami pendangkalan, baik dalam bentuk puritanisme agama maupun hedonisme. Maka, dalam situasi macam itulah kultur urban yang nampak hanya sebagai medan atau arena pencitraan diri melalui visualisasi bentuk-bentuk kehidupan partikular yang mengarah pada universalisasi, malah mengalami represinya melalui kuasa citra dan tanda, sebagaimana tampil dalam media.
Kultur urban dalam masyarakat kita akhirnya hanya nampak sebagai formula yang tak pernah kukuh,stabil sebagai sebuah ikatan sosiokultural. Sebab, menyimpan akumulasiakumulasi dari ketidakbebasan, bahkan kekerasan selalu muncul.
Akibat Lalai merajut setiap perbedaan, heterogenitas dalam bingkai tradisi yang dinamis.Padahal, setiap kemajuan mestinya melibatkan setiap anasir yang selalu mungkin untuk dipertukarkan dan di transmisikan dalam rangka dinamisasi dunia kehidupan. Dengan demikian, setiap capaian kultural itu dapat saling membentuk dan mengembangkan dirinya sesuai hukum sejarah.(*)
* Miming Ismail, Pegiat sastra dan filsafat pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 13 Juli 2008
No comments:
Post a Comment