Palembang, Kompas - Sedikitnya empat arca Buddha dalam berbagai wujud dan puluhan benda purbakala lainnya dibiarkan telantar tanpa perawatan. Bahkan, sebuah prasasti tentang peperangan pada masa Sriwijaya digeletakkan begitu saja di sudut halaman bangunan museum di kompleks Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya di kawasan Karangayar, Palembang.
Menyaksikan kondisi artefak dan benda-benda purbakala yang tidak ditangani dengan baik tersebut, Hari Untoro Drajat selaku Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Kamis (17/7) sore, mengaku terkejut. Ia segera meminta Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Wilayah Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu agar berkoordinasi dengan instansi terkait di daerah ini untuk mengambil langkah penyelamatan.
”Kalau tidak segera ditangani, kita akan kehilangan warisan budaya yang sangat berharga,” kata Hari Untoro.
Meninjau pameran
Kamis sore itu, Hari bersama Direktur Purbakala Soeroso MP, Direktur Arkeologi Bawah Air Surya Helmy, dan Direktur Permuseuman Intan Mardiana meninjau pameran kepurbakalaan bertemakan ”Sriwijaya: Bumi Bahari, Solusi untuk Negeri”.
Begitu Hari keluar dari museum, arkeolog Bambang Budi Utomo dari Puslitbang Arkeologi Nasional menginformasikan adanya puluhan benda bersejarah digeletakkan begitu saja di satu bangunan yang tak jauh dari tempat pameran.
Di selasar tengah yang berada di jalan menuju menara pandang Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS), satu arca dalam sikap duduk di atas ”padma” dengan kaki kiri dilipat seperti orang bersila dibiarkan berada di ruang terbuka tanpa pengamanan sedikit pun. Dua artefak bersejarah lainnya juga digeletakkan di sana.
Di dalam bangunan yang sudah tak terurus, yang hanya dipisahkan oleh jalan umum dan kanal buatan dari kompleks utama TPKS, puluhan benda purbakala ditumpuk di salah satu sudut ruangan. Meski dalam posisi terkunci, dengan jendela dikelilingi teralis, kondisi sekelilingnya sangat memprihatinkan. Potongan- potongan tripleks yang jatuh dari plafon ruang berserakan di lantai, diselimuti debu tebal dan sarang laba-laba.
Selain artefak dan simbar yang merupakan bagian dari bangunan candi, juga fragmen-fragmen batu dan benda-benda purbakala lain bergeletakan di antara tiga arca yang terbuat dari batu peninggalan abad VII-VIII tersebut. Dua di antaranya adalah arca Buddha, yang juga sudah rusak. Arca pertama dalam sikap berdiri (tetapi di ruang itu) hanya digeletakkan.
Seperti halnya arca di luar ruangan, arca ini pun tanpa kepala. Kedua tangannya pun sudah hilang. Kain yang melilit bagian pinggang hingga ke bawah tidak simetris karena pada bagian kaki kiri hanya sampai sebatas lutut, sedangkan di bagian kanan hingga menyentuh pergelangan kaki. Adapun arca Buddha kedua yang juga dalam sikap berdiri rusak pada bagian kepala dan tangan, sementara kedua bagian telapak kaki telah hilang.
Yang tak kalah menyedihkan, sebuah batu prasasti yang ditemukan pada tahun 1928 di Bukit Siguntang, Palembang, selama bertahun-tahun dibiarkan seperti batu kali yang tak berharga. Akibatnya, sebagian aksara Pallawa berbahasa Melayu kuno mengalami keausan dan semakin sulit dibaca oleh para epigraf. Padahal, menurut Bambang Budi Utomo, prasasti ini merupakan satu-satunya peninggalan Sriwijaya yang menceritakan tentang peperangan. (wad/boy/ken)
Sumber: Kompas, Jumat, 18 Juli 2008
No comments:
Post a Comment