Tuesday, July 22, 2008

Pentas Teater "Sandekala": Kilas Balik Reformasi Indonesia

[JAKARTA] Pentas teater Sandekala yang bercerita tentang kilas balik sejarah Indonesia mencapai reformasi, akan dipentaskan selama dua hari di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada 22-23 Juli 2008 setiap pukul 20.00 WIB. Pertunjukan teater dwi -bahasa, yakni Indonesia dan Sunda tersebut mengangkat tema Bangkit melawan korupsi, perusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM dengan kearifan lokal.

Rencananya, pentas teater Sandekala akan ditonton oleh para siswa dari 80 sekolah di Jakarta. Para pelajar akan menyaksikan pertunjukan teater yang dilanjutkan dengan diskusi, pada Selasa (22/7), pukul 14.00-16.00 WIB, di TIM. Sementara pentas teater Sandekala berbahasa Sunda akan digelar pada Rabu (23/7), pukul 20.00 WIB.

Eksekutif Produser J Danang Widoyoko yang juga wakil dari ICW mengatakan, korupsi telah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Terbukti, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia melakukan tindak korupsi. Para petinggi negara sampai karyawan kantoran melakukan korupsi.

Dikatakan, meski telah merdeka, Indonesia tetap saja menjadi bangsa terjajah. Kekayaan alam Indonesia tidak bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Kenyataan tersebut membuat Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), ICW, WALHI, dan mainteater Bandung, menggelar pergelaran budaya tentang realita Indonesia. Diharapkan melalui pentas seni tersebut, masyarakat bisa melihat kondisi kehancuran bangsa saat ini.

"Semua orang pernah melakukan korupsi, hanya saja berbeda jumlah nilainya. Para petinggi korupsi dengan nilai besar, sebaliknya karyawan dalam jumlah kecil. Jadi korupsi sudah membudaya," kata Danang, saat ditemui di Jakarta, Senin ( 21/7).

Pergelaran budaya Sandekala diangkat dari novel berbahasa Sunda karya Godi Suwarna, yang juga berhasil memenangkan Sastra Rancage 2008. Sandekala bercerita tentang perang Bubat yang memanas di sebuah kerajaan Galuh, di Astanagede, daerah Kawali-Ciamis, pada Mei 1998 lampau. Kondisi kerajaan kala itu, tak ubahnya seperti kondisi di Jakarta saat kerusuhan Mei 1998 terjadi. [EAS/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 22 Juli 2008

No comments: