-- F Rahardi*
DALAM acara Temu Sastra, Masyarakat Sastra Asia Tenggara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 14 Juli lalu, cerpenis Hamsad Rangkuti membuat pernyataan bahwa ”Pengarang muda cenderung berakrobat kata-kata”.
Dampak dari akrobat kata-kata ini—masih menurut Hamsad—akan membuat tema karya sastra (prosa) menjadi tersembunyi, bahkan hilang (Kompas, 15/7). Beberapa tahun lalu, Hamsad juga pernah membuat pernyataan yang kontroversial, bahwa sastra = kebohongan. Ketika itu saya mencoba meluruskannya, bahwa sastra yang lahir berdasarkan imajinasi, beda dengan kebohongan. Tulisan saya yang meluruskan Hamsad di Kompas ini kemudian dimuat dalam salah satu kumpulan cerpennya.
Kali ini pun, pernyataan Hamsad salah. Memang bahwa tren penulisan prosa dewasa ini cenderung mengutamakan style, menomorduakan tokoh, plot, dan setting. Secara otomatis tokoh, plot, dan setting bisa menjadi kabur, atau hilang sama sekali. Ini sebenarnya sudah dimulai oleh Iwan Simatupang pada tahun 1960-an. Tren seperti ini sebenarnya merupakan perkembangan sastra dunia dan terjadi secara alamiah. Dalam sastra klasik, misalnya Mahabharata, dan Ramayana, tokoh menjadi hal utama.
Kekuatan tokoh inilah yang secara otomatis menciptakan plot. Setting bisa dibuat di mana saja. Ketika epik ini disadur menjadi Parwa maupun Kakawin oleh para pujangga kita, setting India dipindah menjadi setting Jawa, dengan gunung, sungai, flora, dan fauna Jawa pula. Kekuatan epik asli bukan hilang, malahan justru bertambah. Pada perkembangan lebih lanjut, terutama pada prosa yang ditujukan semata-mata sebagai hiburan, plot menjadi hal utama. Tokoh diciptakan demi kelancaran plot. Itulah yang terjadi pada ”sastra sinetron kita”.
”Style” bukan akrobat
Dalam acara-acara seperti di Palangkaraya itu, seyogianya Hamsad cukup bercerita, bagaimana proses kreatifnya berlangsung. Ini tidak akan pernah salah dan akan sangat bermanfaat bagi publik sastra. Style dalam prosa bukan sebuah akrobat kata-kata. Hari Minggu (13/7), Kompas memuat cerpen Triyanto Triwikromo, Dalam Hujan Hijau Friedenau; dan esai Afrizal Malna, Kota yang Tenggelam dalam Seribu Karangan Bunga. Cerpen dan esai inilah, dugaan saya, yang membuat Hamsad melontarkan ”Akrobat Kata-kata” itu.
Kekuatan cerpen Triyanto, dan esai Afrizal, justru pada style. Tema (materi) yang digarap oleh cerpenis dan penyair dalam cerpen dan esai ini justru tampil sangat kuat. Bukan tersembunyi, atau malahan hilang. Yang hilang (atau kabur), hanya tokoh, plot, mungkin juga setting. Menguatnya style dalam karya sastra memang selalu secara otomatis disertai oleh menguatnya semacam ”pesan”, atau istilah Hamsad tema. Kekuatan novel Saman karya Ayu Utami juga pada style, berupa pencapaian keterampilan linguistik, yang sekaligus juga menguatkan tema.
Eksplorasi terhadap style ini telah mengakibatkan prosa menjadi seperti puisi, puisi menjadi seperti esai, dan esai menjadi semenarik cerpen. Sekat antara prosa, puisi, dan esai menjadi cair. Hal serupa juga terjadi pada seni rupa. Pelukis, pematung, pegrafis konvensional tetap eksis. Tetapi lahir genre ”perupa”, yang karya utamanya bukan lukisan, bukan patung, dan bukan grafis. Kadang karya para perupa ini disebut seni instalasi, kadang disebut pop art, ada pula yang punkist.
Kembali ke sederhana
Eksplorasi sangat diperlukan, untuk menembus kebekuan, kejenuhan, kemandekan, dan sebutan lainnya. Eksplorasi akan menghasilkan energi ekstra, menimbulkan kesegaran, menghilangkan kantuk. Istilah Hamsad ”Akrobat Kata-kata” sebenarnya sangat tepat asalkan jangan ditambahi dengan teori sastra, yang tidak dia kuasai dengan baik. Akrobat memang menimbulkan dinamika yang sangat menarik. Baik bagi para pelaku akrobat sendiri maupun bagi para penonton.
Ketika eksplorasi sampai ke titik sublim, seniman akan kembali sederhana, kembali rendah hati, kembali menulis secara bersahaja, tetapi dengan kekuatan luar biasa. Sutardji yang mengeksplorasi kata habis-habisan, akhirnya sampai ke: Kalian - Pun! Sitor Situmorang sampai ke: Malam Lebaran - Bulan di atas kuburan. Ketika semua orang duduk-duduk santai menikmati gamelan atau musik klasik, akrobat dengan iringan musik mars, akan sangat menarik, akrobat akan menjadi tren.
Kalau akrobat laku, semua akan berakrobat. Istilah yang kalau tak salah pernah disampaikan Bre Redana, dan juga Bambang Bujono: ”Semua mengAfrizal”. Dan ketika semua orang bermain akrobat, dengan iringan musik yang ramai, maka beberapa orang yang duduk tenang di pinggir lapangan, justru akan kembali menjadi tontonan menarik. Lalu ketika semua orang berpura-pura menjadi sederhana, berpura-pura menulis Haiku, maka orang-orang kembali ngantuk. Ini hanya sebuah lingkaran siklus: thesis, sinthesis, dan antithesis.
”Jealous” pada yang ”muda”
Istilah ”pengarang muda” sebenarnya juga sebuah pelecehan. Tidak pernah ada pengarang muda, tidak pernah ada pengarang jompo. Kualitas karya tidak pernah paralel dengan usia. Chairil Anwar berkarya pada usia sangat belia, dan dia mati muda. Tetapi HB Jassin tidak pernah sekali pun menyebut Chairil sebagai ”penyair muda”. Dewan Kesenian Jakarta pernah ceroboh dengan membuat acara ”Penyair Muda di Depan Forum”, yang mendapat kritik tajam dari berbagai pihak pada tahun 1970-an.
Raja Dangdut Rhoma Irama seperti kebakaran jenggot ketika menyaksikan Inul Daratista bergoyang ngebor. Goyang Inul lalu dibantai habis-habisan dan dianggap sebagai ”porno aksi”, sebuah terminologi khas Indonesia, yang dengan gamblang menunjukkan kebodohan bangsa. Banyak kalangan yang membela Inul, dan mengatakan bahwa Rhoma Irama cemburu ketika ada penyanyi baru, yang tiba-tiba meroket. Saya menduga, ada unsur kecemburuan Hamsad pada generasi yang jauh lebih genius ini.
Dengan sangat terpaksa, saya kembali mengulang tulisan saya di ruangan ini, entah berapa tahun yang lalu. Hamsad sebaiknya mensyukuri bakat alam, kesederhanaan, dan kepiawaiannya mengolah itu semua, dengan cara yang sangat bersahaja. Kalau toh Anda tergoda untuk mengomentari Triyanto, dan Afrizal, bagus juga menyebut ”Akrobat Kata-kata”, tetapi cukuplah dengan ditambah: ”Akrobat kata-kata mereka memang hebat! Abang mana bisa kalau disuruh yang seperti itu!”
* F Rahardi, Penyair, Wartawan
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Juli 2008
No comments:
Post a Comment