-- Aprinus Salam*
BEBERAPA tahun lalu Taufiq Ismail pernah mengeluhkan rendahnya minat baca para pelajar terhadap karya sastra. Bahkan, beliau mensinyalir, minat baca pelajar Jakarta terhadap karya sastra nyaris nol.
Temuan Taufiq Ismail itu seperti melaporkan rendahnya peradaban nasional yang melanda bangsa Indonesia. Itulah sebabnya, kemudian beliau menggalakan sastra masuk sekolah. Walaupun masih prematur, barangkali program penggalakan yang dikerjakan Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu sudah perlu ditinjau kembali seberapa jauh hasil dan pengaruhnya.
Saya mendukung sepenuhnya program itu sejauh dimaksudkan bahwa para pelajar perlu dan penting membaca karya-karya sastra yang memberi pengetahuan dan cerita berbagai kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan perkembangan budaya teknologi di Indonesia.
Karya sastra yang mencerdaskan adalah karya yang memberi informasi, mengayakan pengalaman, memberikan pemahaman-pemahaman baru, memperbaiki kesadaran yang tidak benar (kesadaran palsu), dan secara keseluruhan mampu mengeksplorasi persoalan kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, karya sastra yang mencerdaskan adalah karya yang mampu memberikan pemahaman dan pencerahan terkait hal-hal yang dihadapi bangsa dan negara ini.
Karya sastra itu harus jeli mengangkat persoalan masyarakat seperti masalah kriminalitas,kekerasan,atau lemahnya kesadaran hukum. Pada awal sastra modern Indonesia, seperti terlihat dalam beberapa novel yang dinilai sebagai kanon, misalnya Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Azab dan Sengsara,Layar Terkembang, hingga Belenggu, karya-karya sastra itu dengan jeli mengungkap persoalan sosial,politik,dan budaya masyarakat.
Pembaca akhirnya sadar bahwa terdapat sejumlah masalah yang perlu dipikirkan bersama. Di sini, tidak seluruh karya sastra dibicarakan. Saya ingin meloncat pada generasi sastra (khususnya novel) pada 1980-an hingga 1990-an.
Pada periode ini terdapat sejumlah karya sastra yang memang sangat layak dibaca masyarakat Indonesia,misalnya novel-novel tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, trilogi Dukuh Paruk,dan Bekisar Merahkarya Ahmad Tohari,Cantingkarya Arswendo Atmowiloto, Para Priyayi karya Umar Kayam,Burung-Burung Manyar karya Manungwijaya, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, dan lain-lain.
Novel-novel tersebut secara tidak langsung dan simbolis mencoba mengeksplorasi masalah-masalah kekuasaan dan politik yang keruh,mandulnya kreativitas budaya, prosesproses perubahan sosial,sebab-sebab kemiskinan,korupsi,jual beli hukum, dan sejumlah persoalan lain yang dihadapi masyarakat.
Beberapa novel mutakhir yang sangat layak dan perlu dibaca karena akan memberikan pencerdasan, antara lain Proyek karya Ahmad Tohari, Saman dan Larung karya Ayu Utami, Jalan Menikung karya Umar Kayam, Ketika Lampu Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti, Ular Keempat karya Gus TF Sakai,Mantra Penjinak Ular, serta Wasripin dan Satinahkarya Kuntowijoyo, atau Kitab Omong Kosong karya Seno Gemira Ajidarma dan beberapa novel lain.
Dengan membaca karya sastra di atas, pembaca akan mendapatkan pengalaman yang lebih substansial berkaitan dengan persoalan yang dihadapi bangsa dan masyarakat Indonesia. Saat ini,karena kemajuan teknologi, karya sastra dapat diterbitkan dengan cepat dan banyak. Kira-kira 10 tahun terakhir ini, karya sastra, baik novel, puisi, maupun kumpulan cerpen, terbit dalam ratusan dan mungkin mendekati ribuan judul.Masalahnya, tidak semua karya sastra dapat dimasukkan ke kategori mencerdaskan.
Banyak karya sastra mutakhir diterbitkan karena mengikuti tren pasar. Para penerbit berlomba-lomba menerbitkan novel atau cerita ringanringan karena semata-mata ingin mengeruk keuntungan. Setahun yang lampau,seorang mahasiswi meminta bantuan saya untuk menerbitkan novelnya. Novel itu secara serius mempersoalkan kegelisahan seorang wanita yang berusaha mencari identitas,berusaha mengatasi persoalan ekonomi hidupnya karena orangtuanya miskin, dan digarap dengan teknik narasi yang kaya dan sangat informatif.
Beberapa penerbit saya hubungi dan beberapa hari kemudian penerbit tersebut memberi informasi bahwa novel terebut tidak bisa diterbitkan dengan alasan terlalu serius, membuat pembaca mengerutkan kening. Menurut perkiraan penerbit tersebut, novel itu tidak akan laku dan penerbit tidak berani mengambil risiko rugi. Tulisan ini memang mempersoalkan novel.
Namun,fenomena seni sastra sebetulnya melingkupi pengertian yang luas jika hal tersebut dimaksudkan sebagai cerita. Di dalamnya termasuk film dan sinetron. Jika kita memasuki persoalan ini, masalahnya menjadi lebih runyam. Karya sinetron kita,misalnya,jauh lebih menyedihkan karena tidak mampu menggarap masalah pendidikan, masalah politik, hukum, dan masalah peranan teknologi.
Sinetron kita hanya menggarap dunia samarsamar yang kita sama-sama tidak tahu.Jadi,tidak bisa dipersoalkan selain hanya berefek sensasional,yakni dunia klenik,mistik,hantu,tuyul,dan sebagainya. Alasan para pekerja sinetron lagilagi karena alasan pasar (dan ini sangat membodohi masyarakat). Karena mereka menganggap cerita itulah yang disenangi dan terbukti sinetron itu memiliki rating tinggi.
Yang pasti, setelah menonton sinetron,penonton nyaris tidak mendapatkan apa-apa. Apalagi, jika hal itu dimaksudkan sebagai pengetahuan atau terbentuknya kesadaran baru dalam memahami persoalan bangsa Indonesia. Seperti halnya karya sastra yang tidak memberikan pengetahuan apaapa, untuk seni sastra sinetron pun saya ingin mengatakan bahwa jika perlu, (sinetron) tidak usah ditonton saja.
Masyarakat Indonesia jangan mau terus-menerus dianggap berselera rendah dan dianggap bodoh. Kita harus memilih karya seni sastra yang mencerdaskan,yang memberi pengetahuan, inspirasi,pemahaman,dan informasi tentang realitas bangsa Indonesia.(*)
* Aprinus Salam, Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 13 Juli 2008
No comments:
Post a Comment