Tuesday, December 31, 2013

Posting Terakhir: Pamit!

Selamat tahun baru 2014! Semoga tahun depan akan lebih baik lagi. 

Tak terasa sewindu (2006-2013) sudah keberadaaan blog Cabik Lunik ini. Saya sebisa mungkin berusaha meng-update-nya. Hingga kini, dalam blog ini setidaknya terdapat tak kurang dari 6.165 postingan berita, feature, dan artikel yang saya sebut sebagai catatan tentang manusia dan kemanusiaan, yang dibuang jangan.

Sayang rasanya harus menelantarkan blog ini. Namun, belakangan saya mulai merasa tidak mempunyai cukup waktu untuk terus-menerus merawatnya.

Ya, inilah postingan terakhir untuk Cabik Lunik. 

Karena itu, saya mohon maaf, dengan berat hati saya terpaksa menghentikan postingan-postingan di blog ini. Terima kasih atas apresiasi  teman-teman selama ini. Semoga masih bisa memberi manfaat.

Saya pamit. Tapi, tidak ke mana-mana kok. Hehee... Sementara ini saya masih menjaga blog




Tabik!

Udo Z. Karzi

Sunday, December 29, 2013

Panggung Sastrawan Lampung

Oleh Isbedy Stiawan Z.S.

Sastra(wan) Lampung tetap menyimpan kekuatan yang dahsyat. Silaturahmi dan Panggung Sastrawan Lampung berikut buku Hilang Silsilah yang diluncurkan bersamaan dengannya membuktikan ini.

PANGGUNG SASTRAWAN LAMPUNG. Para sastrawan berfoto bersama seusai
pergelaran Silaturahmi dan Panggung Sastrawan Lampung yang
diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung (DKL) di Taman Budaya Lampung
(TBL), Selasa (24/12). Bersamaan dengan itu, diluncurkan buku Hilang
Silsilah: Kumpulan Karya Sastrawan Lampung
, yang menghimpun 29
sastrawan Lampung dari generasi 1980-an hingga 2013-an.
(FOTO-FOTO: OYOS SAROSO HN)


[Tifa] Ingatkan Kebinekaan Indonesia lewat Puisi

INI jaman wolak-walik, walik-wolak jaman ini
Manusia cuma barang dagangan,
kemanusiaan cara bagus untuk iklan
Persaudaraan tetep dibela, asalkan sampean mau pakai cara saya
Lalu bagaimana dengan keadilan, kemanusiaan,
perdamaian, keseteraan yang sudah dibangun pemimpin negara ini?
Itu loh, orang-orang macam Sukarno, Hatta, Gus Dur, Wahid Hasyaim atau Sahrir
Halah orangnya sudah pada meninggal, tidak usah diungkit lagi

PUISI KRITIK: Inayah Wahid membacakan puisi dan mengkritik korupsi
yang makin merajalela dan makin maraknya golongan mayoritas yang
menindas kaum minoritas. Pembacaan puisi itu menjadi bagian acara haul
keempat Gus Dur di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
MI/Furqon Ulya Himawan (FU).

[Tifa] Seni Kriya Pembuka Cakrawala

-- Iwan Kurniawan

Lewat desain dan kriya, para seniman dan desainer menghadirkan karya kontemporer yang tak hanya bernilai seni, tapi juga memiliki pasaran.

HUJAN baru saja berhenti setelah sejam lebih mengguyur kawasan Jakarta Pusat. Di halaman Galeri Nasional, Jakarta, beberapa pengunjung mondar-mandir masuk gedung untuk melihat pameran seni yang sedang berlangsung selama sebulan penuh itu.

Ada yang menggendong anak kecil dan ada pula pasangan yang saling bergandengan. Mereka tampak menikmati karya-karya terbaru para seniman dan desainer di ajang Biennale Desain & Kriya Indonesia 2013 itu, pertengahan pekan ini.

Pada pameran itu, ada puluhan karya terbaik anak negeri yang dipajang sejak 19 Desember hingga 19 Januari 2014 mendatang. Setiap konsep memiliki nilai-nilai estetika sehingga memberikan sebuah persepsi berbeda tentang seni kriya dan desain.

Setiap karya-karya yang dipamerkan tak terlepas dari upaya seniman untuk menghadirkan karya seni yang tak hanya dinikmati. Namun, bisa memberikan dampak pada ekonomi kreatif tuk menunjang proses kreativitas.

Karya instalasi Rebirth menjadi salah satu karya yang paling mencolok dalam pameran tersebut. Tiga seniman Susan Budiharjo, Gilang Luhur Mandiri, dan Uy Dharma Prayoga berkolaborasi dalam menghadirkan perpaduan antara seni patung, kriya, dan desain.

Tampak seorang perempuan bertelanjang dada sedang menatap tajam. Buah dadanya sengaja tak ditutupi sementara tangan kirinya menongkat di paha. Sepintas terlihat objek perempuan itu sedang duduk.

Di luar objek karya, ada sebuah rangka besi-besi yang menyerupai telur. Sehingga dari kejauhan, perempuan itu sedang terpenjara dalam telur raksasa. Namun, jangan heran, karena bila kita melihat lebih detail, karya itu merupakan sebuah instalasi yang cukup mengundang penasaran.

Setiap karangka tubuh terbuat dari kayu, kabel, dan besi. Semua terlihat seperti sebuah manusia ‘robot’ yang sedang menunggu untuk menetas. Namun, di balik itu, ada pemikiran-pemikiran liar yang dihadirkan ketiga desainer sekaligus seniman itu.

Karya lain yang mengundang perhatian juga tampak pada garapan Rinaldy Arvianto Yunardi yang berkolaborasi bersama Mariska Adriana dan Sandy Karman. Mereka menghadirkan instalasi berjudul Gravitasi. Karya setinggi dua meter lebih itu menggambarkan tentang gravitasi, hukum tarik-menarik antara dua dunia, dua langit, garis-garis bertautan, dan satu titik lautan.

Keduanya berada pada tatanan yang sama, dunia adalah langit dan langit adalah dunia. Semua tergantung dari mana kita melihat dan di mana kita berpijak. Penggunaan kaca sebagai pantulan menjadikan karya itu memberikan pandangan tentang langit dan bumi yang sama dilihat dari setiap negara mana pun.

Begitu pula dengan karya Children Nest karya Titiana Irawani dan Ayu Joddy berupa dua buah sarang yang ditumpuk sehingga membentuk labirin. Pengunjung bisa masuk dan berputar untuk menemukan sarang persembunyiannya dan tertidur di dalamnya.

Cakrawala baru

Guru Besar Emeritus Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Imam Buchori Zainuddin menilai keberadaan desain dan kriya cukup penting. Pada saat spirit nasionalisme muncul di Zaman Penalaran (The Age of Reason), arts banyak mengandung intuisi dan keterampilan pribadi.

“Spirit nalar membawa cakrawala baru tentang bagaimana manusia meninggalkan berbagai sendi-sendi kehidupan berdasarkan realitas yang dapat diukur, direncanakan, dan dimanfaatkan bagi kehidupan sosial,� ujarnya dalam pengantar katalog pameran.

Berkat penalaran, dunia sains semakin bergelora. Berbagai penemuan bidang ilmu pengetahuan banyak membawa perubahan secara radikal sehingga membuka lembaran baru dalam cara orang memanfaatkan pengetahuan. Yang akhirnya mendorong terjadinya Revolusi Industri.

“Seni yang biasanya merupakan hak istimewa kaum ningrat dengna acuan selera hedonistik berkembang mengikuti stratifikasi fungsi sosial. Akibatnya, seni semakin terurai,� jelasnya.

Irvan Noe’man, salah satu Kurator Biennale Desain & Kriya Indonesia,menjelaskan industri kreatif desain sangat terkait dengan banyak orang. Desain bukan sekadar menghadilkan added value (nilai tambah) bagi karyanya, melainkan lebih sebagai value creation yang menguntungkan bagi semua pihak. “Selain mutu dan nilai produk, karya mampu memenuhi harapan dan kepuasan bagi pembuat dalam menjalankan bisnis industri kreatif,� paparnya.

Lewat pameran desain dan kriya, para seniman dan desainer mencoba menghadirkan karya-karya yang penuh estetika dan memiliki dampak terhadap sebuah perubahan baru. Mereka menunjukkan bahwa ide kreatif tak akan menyengsarakan pelaku seni dan budaya. (M-4)

miweekend@mediaindonesia.com                                            

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 Desember 2013

Desakralisasi Kata-kata dalam ”Mantra Pejinak Ular’’

-- Darwin

SIHIR kata-kata adalah kekuatan para sastrawan. Di tangan seorang sastrawan, daya pikat kata adalah unsur terpenting dalam karya sastra, baik itu prosa maupun puisi. Kata-kata biasa bisa menjadi ‘berbunga’ di ujung pena seorang sastrawan. Kata-kata yang basi di mulut politisi, bisa menjadi berisi dalam setiap ucap para sastrawan. Itulah yang dilakukan oleh Sutardji Calzoum Bachri yang populer dengan ‘’puisi mantranya’’. Atau, di seberang lain ada Ayu Utami dengan teknik komposisinya. Tentunya tidak ketinggalan Chairil Anwar dengan permainan diksinya yang sulit mencari pembandingnya di zaman Twitter saat ini. Masih banyak lagi para ‘pemain kata’ yang tidak bisa semuanya disebutkan namanya di sini.

Dalam ranah sastra, masih menjadi perdebatan apakah yang diperlukan itu permainan kata (diksi, metafora, rima dll.), atau kekuatan cerita. Dalam salah satu kesempatan, novelis Muhidin M. Dahlan pernah mengatakan kekuatan cerita lebih penting daripada kekuatan kata-kata. Meskipun ia tidaklah menafikan yang namanya kata-kata. Seorang prosais tidak harus terjebak dengan kata-kata memikat nan manis yang, dalam bahasa Rendra (hanya) bersajak tentang anggur dan rembulan. Tapi sisi ide, penguatan karakter, plot, detail, dan setting juga menjadi penting.

Terserah kita mau berpijak pada ranah yang mana. Tetapi penulis masih yakin kekuatan kata-kata itu sangatlah penting. Mungkin ini dipengaruhi oleh setting di mana penulis lahir, yakni Riau. Kita tahu Riau adalah tempat ‘bersemainya’ kata-kata. Dalam kenduri, upacara pernikahan, acara resmi pemerintah, hingga perbualan keseharian di rumah, orang Melayu Riau selalu disihir oleh kata-kata. Pantun, petatah-petitih selalu menghiasi. Ia sudah menjadi adat-resam, bahkan lebih ekstrem ia adalah periuk-nasi kedua masyarakat Riau. Tidak salah jika dari provinsi ini bermunculan para sastrawan dan budayawan yang ‘gila kata’ semacam Raja Ali Haji, Soeman Hs, Sutardji Calzoum Bachri, Tenas Effendy, Idrus Tintin, Taufik Ikram Jamil, dan sederet nama kondang lainnya.

Novel yang punya kekuatan pada cerita dan ‘abai’ dengan sihir kata bisa kita jumpai dalam Mantra Pejinak Ular (Penerbit Buku Kompas/2013) karya novelis yang juga cendekiawan Muslim, Kuntowijoyo. Novel ini sungguh tidaklah berbusa-busa dalam hal metafora. Bahasanya adalah keseharian kita apa adanya. Namun, novel yang mendapatkan penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) ini mempunyai kekuatan pada ide, plot, setting, karakter, dan detail, serta tentu saja nilai-nilai kehidupan yang terdedahkan di dalamnya. Kekuatan kearifan hidup inilah yang membuat Mantra Pejinak Ular menjadi luar biasa. Ia dipuji, dipercakapkan, dan pada akhirnya penghargaan pun didapatkan. 

Mantra Pejinak Ular yang sudah dicetak dua kali ini (cetakan pertama tahun 2000, juga oleh Penerbit Buku Kompas), menceritakan sosok Abu Kasan Sapari, seorang pegawai kecamatan yang juga seorang dalang muda jempolan. Ia ditugaskan di Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah. Suatu ketika, di saat Abu sedang mengikuti pesta tibanya musim giling tebu, ia bertemu dengan seorang kakek tua. Kakek tua itu membisikkan sesuatu di telinga Abu. Yang dibisikkan itu tak lain adalah mantra pejinak ular.

Jadilah Abu seorang yang ahli dalam menjinakkan ular. Tersebab keahliannya inilah ia dipanggil dukun ular oleh warga. Setiap ular yang ditemuinya selalu dijinakkannya, kemudian dilepaskan kembali. Di sini Kuntowijoyo mengajak pembaca untuk merefleksikan hidup, di mana mencintai ular berarti adalah mencintai alam, yang dalam bahasa Kunto -begitu ia sering disapa- dalam novel ini: peduli lingkungan. Ini tidak bisa dimungkiri karena setting novel ini adalah menjelang tumbangnya pemerintah Orde Baru (orba).

Mengenai hal ini ada bab khusus (bab IV) yang berjudul: ‘’Cinta Ular Cinta Lingkungan’’.

Berkat dekatnya Abu dengan ular, saat ia dipindahtugaskan di kecamatan Tegalpandan, ia memelihara seekor ular yang disebutnya dengan klangenan (kesayangan) di rumahnya. Rumahnya ini bersebelahan dengan seorang janda muda cantik bernama Sulastri. Ular itu menjadi jinak di tangan seorang Abu. Hal ini dibuktikan dengan penguasaan bahasa isyarat oleh ular itu. Ia mengikuti keinginan Abu hanya dari siulan saja. Bersiul satu kali, ular itu langsung naik di atas meja di rumahnya, bersiul dua kali berarti ular itu harus turun, dan tiga kali artinya ular itu harus membelit tiang tengah (hal. 135).

Di sini dengan piawai Kunto mengangkat nilai-nilai kearifan Jawa. Dalam filsafat Jawa, para lelaki yang telah dewasa dianjurkan mempunyai wisma, wanita, curiga, kukila, dan turangga (rumah, istri, keris, burung, kuda). Nah, di sini Kunto membalik kebiasaan orang Jawa dengan mensubstitusi burung dengan ular. Inilah kelebihan penulis produktif ini. Ia tidak membuat cerita menjadi klise, tetapi selalu menawarkan warna baru.

Mantra Ular dan Mitos
Keahlian Abu lainnya adalah mendalang. Ia adalah dalang handal yang mentas di mana-mana. Acara pernikahan, sunatan, tujuh belasan, kampanye pemilihan kepala desa/lurah, dan acara-acara kecamatan lainnya tidak bisa lepas dari atraksi wayang seorang Abu. Ia dikenal dan dicintai semua orang berkat keahliannya ini. Berkat seni pedalangan pulalah ia terusir dari kecamatan Kemuning. Bermula ketika ia mendukung dengan sangat terpaksa beberapa calon lurah. Ia diminta oleh calon-calon itu untuk wayangan semalam suntuk. Di sinilah muncul keragu-raguan dalam dirinya. Di mana sebenarnya wilayah seni, di mana pula politik? ‘’Kesenian itu otonom. Kesenian adalah keindahan, sedangkan politik adalah kekuasaan. Biarlah orang lain mengotori politik, asal bukan kesenian.’’ (hal. 110). Pada akhirnya, keangkuhan kekuasaan membuat ia dipindahkan karena calon status quo dikalahkan oleh calon-calon yang didukung oleh Abu.

Masih banyak nilai yang menjadi pesan dalam novel bertebal 274 halaman ini. Selain kaya akan filsafat Jawa, novel ini juga berisi wejangan keagamaan dan kritik sosial. Dalam ranah politik -karena setting-nya bernuansa Orba- pemikir keislaman yang juga sejarawan ini dengan sangat memikat menggambarkan detik-detik menjelang kejatuhan Soeharto dengan bahasa simbol. Dalam novel ini dideskripsikan dengan rubuhnya pohon beringin dekat terminal di kecamatan Tegalpandan.

Hal lain adalah berkait concern Kunto dalam wacana keislaman. Untuk diketahui, ia dikenal karena konsep Ilmu Sosial Profetik-nya. Ia mengupas habis surat Ali Imran ayat 110. Etika profetik menurut Kunto terdapat dalam ayat ini. Inti ayat ini amar makruf, nahi munkar, dan tukminunabillah. Amar makruf diderivasikan menjadi humanisasi, memanusiakan manusia. Sedang nahi munkar adalah pembebasan, yakni pembebasan umat manusia dari ketertindasan, kebodohan, dan lainnya. Tukminunabillah berarti transendensi, di mana adanya nilai-nilai ketuhanan yang melandasi dua hal di atas tadi.

Selain itu, ia membagi periode umat Islam Indonesia dengan babakan-babakan; yaitu fase mitos, ideologi, dan ilmu. Bukunya yang mengungkai hal ini berjudul Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (Mizan/2002). Terkait dengan periode umat Islam ini tentunya juga disinggung dalam Mantra Pejinak Ular di halaman 257: ‘’Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan doa, bukan mantra’’. Inilah kata-kata eyang dari Abu Kasan Sapari dalam sebuah mimpinya.

Ular yang dipelihara Abu memang menjadi masalah. Banyak warga kampung yang tidak menyukainya. Akibatnya, pada suatu malam rumah Abu akan digerebek oleh masyarakat kampung. Mereka sudah siap dengan pentungan, parang, golok, batu dan lainnnya. Mereka menginginkan ular itu dan tuannya sekaligus. Ular milik Abu dianggap telah menghabisi ayam dan ternak masyarakat lainnya. Hanya karena Sulastri-lah, janda yang dekat denganAbu itu, penggerebekan batal dilakukan karena Sulastri meyakinkan mereka. Di sinilah dilema terjadi, di satu sisi Abu sangat menyayangi ular itu, pada sisi lain ular itu tidak disenangi masyarakat kampungnya. Lagi-lagi bahasa simbol digunakan oleh Kunto. Mantra ular adalah bagian dari sejarah umat Islam yang disebutnya dalam era mitos, zaman di mana umat Islam didominasi cara berpikir mistis-irrasional yang berlangsung sebelum awal abad ke-20. Membuang mantra ular adalah proses transformasi dari periode mitos menuju periode ideologi dan ilmu.

Di sinilah kelebihan seorang Kunto yang juga seorang cerpenis ini. Ia meramu kata dengan bahasa sehari-hari dalam novelnya ini. Dengan kata lain, ia mendesakralisasi daya pikat kata dalam sastra. Namun, bahasa sehari-hari itu tidaklah mengurangi kualitas novelnya. Nilai-nilai kearifan dan kritik sosial menghiasi novel dengan ide di luar mainstream ini dari lembar pertama hingga akhir. Bandingkan dengan novel-novel seperti Ayat-ayat Cinta, misalnya, sudah bahasanya sederhana, ditambah lagi dengan ceritanya yang klise! Ini peringatan bagi kita jika menulis karya sastra. Tinggalkan yang klise, bikin ide cerita dengan warna baru! Mari mencoba! n

Darwin, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Univ. Muhammadiyah Yogyakarta. Karya terakhir antologi cerpen Pesan Mama Tentang Kematian yang Indah (The Phinisi Press/Yogyakarta/2012), asal Pelalawan.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Desember 2013

Musik Versus Sound System

-- Aristofani Fahmi

 JIKA membaca judul tulisan ini di imajinasi Anda muncul ring tinju, saran saya tunda dulu, ada saatnya nanti. Awalan ini penting untuk sekedar dasar mengapa judulnya demikian.

Dalam mementaskan karyanya di panggung, komponis dan musisinya sedang berupaya mempublikasi nilai yang ditujukan kepada penontonnya. Sebaliknya penonton akan berusaha memaknai nilai yang terkandung dalam karya musik tersebut. Musik sebagai sebuah karya yang dipentaskan, menggunakan media bunyi sebagai elemen dasarnya. Maka yang utama dalam proses pemaknaan nilai karya ini adalah kehadiran tiga elemen, yaitu penyaji, karya, dan penyimak. Pada era modern ini kehadiran sound system menjadi hal yang tak kalah pentingnya dan kadang sebagai penentu dalam kesempurnaan proses pemaknaan nilai tersebut.

Sound system merupakan perangkat teknologi pengeras suara yang dapat membantu sebuah bunyi/suara terdengar jelas dari kejauhan. Bahkan saat ini banyak pertunjukan musik sangat bergantung pada kesempurnaan teknologi sound system, agar tujuan utama pertunjukan dapat terwujud secara tuntas. Maka sound system menjelma menjadi bagian utama dalam pertunjukan seni terutama (musik). Dengannya kita akan mengenali detail elemen bunyi musik.

Tapi mengapa judul tulisan ini musik dan sound system justru saling beroposisi? Keduanya saling melawan. Apakah nantinya harus ada yang kalah? Ah... penulis ini mengada-ada saja.

Ini bukan mengada-ada tapi peristiwa apa adanya. Saya mengambil contoh terhangat. Beberapa hari yang lalu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau menggelar event bertajuk Culture Night pada tanggal 10 hingga 15 Desember 2013, di pelataran purna MTQ di Pekanbaru. Pada helat ini, publik di Kota Pekanbaru disajikan beragam seni pertunjukan oleh peserta yang berasal dari berbagai daerah dalam dan luar negeri. Acaranya luar biasa meriahnya, sebab menghadirkan beberapa artis Ibu kota seperti band Wali, penyanyi dangdut Iis Dahlia, dan lainnya. Tata panggung yang megah, pencahayaan yang glamor, dan sound system yang canggih dengan kekuatan di atas 20.000 watt. Selain itu juga dihadirkan sanggar atau grup seni dari daerah yang aktif berkarya untuk menampilkan inovasi karya-karyanya.

Fasilitas yang sungguh mewah untuk pementasan karya-karya seni. Bandingkan dengan peralatan yang ada gedung megah Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru, yang pada malam itu menjadi latar belakang panggung Culture Night. Sebetulnya pasilitas di Anjung Seni Idrus Tintin dapat dikatakan tidak usang, pengadaan awalnya sudah ada sistem komputerisasi untuk operasionalnya. Hanya saja belum pernah digunakan secara maksimal. Entah apa masalah dan siapa penanggung jawabnya. Tapi, untuk apa dibandingkan? Kebanyakan seniman yang menggelar karya-karyanya di Gedung Pertunjukan terbesar dan kebanggaan Provinsi Riau ini dengan produksi sendiri adalah seniman yang pasrah pada kondisi seadanya Gedung Anjung Seni Idrus Tintin. Produksi karya seni yang belum sanggup mengoptimalkan pencahayaan dan teknologi tata suara sebagai bagian utama artistik. Dugaan saya karena tidak memiliki biaya yang cukup atau gagal menarik minat sponsor untuk membantu mengadakan pasilitas dan operator yang lebih baik. Yang sering kali muncul dalam benak adalah kata ‘seandainya’. Seandainya ada biaya untuk memaksimalkan sound system dan tata lampunya gedung pertunjukan ini.

Grup yang berpentas di Anjung Seni Idrus Tintin selama ini hanya dapat mampu menghadirkan pendingin ruangan. Solusinya tentu saja adalah butuh perhatian yang serius agar karya yang ditampilkan dapat secara maksimal diapresiasi oleh masyarakat. Kondisi ini telah berlangsung berlarut-larut, akhirnya yang terjadi adalah pemakluman tak berkesudahan. Di sisi lain, peralatan yang digunakan pada Culture Night tentunya merupakan pasilitas impian seniman yang mengedepankan detail dalam karyanya. Namun kembali lagi, untuk menghadirkannya dalam produksi sendiri membutuhkan biaya yang sangat besar. Konon event ini menggunakan biaya hingga milyaran rupiah.

Kegagalan Proses Pemaknaan
Seperti yang disebut di atas, bahwa pertunjukan musik merupakan proses publikasi makna. Prosesnya terjadi antara penyaji karya - karya - penyimak. Sound system di sini menjadi media utama dalam publikasinya. Apabila sound system tidak baik (precise) maka proses pemaknaan besar kemungkinan akan gagal. Ini sudah terjadi berulang kali, tidak hanya di Riau tapi hampir di seluruh daerah di Indonesia, tidak terkecuali Jakarta.

Selalu ada yang menjadi kecewa pada saat pertunjukan seni yang menggantukan diri pada sound system. Salah satunya adalah peserta Culture Night dari Kabupaten Pelelawan. Mereka menampilkan karya musik yang berjudul ‘’Lakasyafa’ah Ya Rasulullah’’, yang disusun apik oleh Bambang Haryono S.Pd, berpentas pada hari ketiga Culture Night. Sebagai penonton, saya sesungguhnya sangat tertarik dengan konsep yang ditawarkan yakni mencoba mengajak khalayak untuk tidak meninggalkan Salawat. Sebab pada masa sekarang salawat hanya menjadi sebatas bacaan biasa, pemaknaan terhadapnya menjadi dangkal. Padahal sesungguhnya Salawat memiliki makna yang perlu menjadi refleksi bagi kehidupan manusia, menjadi penyelamat di ambang dosa dan amal. Melalui media musik, Bambang mencoba menyajikan Salawat menjadi hal yang lebih menarik. Mengajak penonton menyelami makna Salawat melalui susunan bunyi yang syahdu. Vokal shalawat dilagukan dengan melodi tenang dan khusyuk.Sehingga setiap orang yang mendengarnya akan menemukan ketenangan batin. Setidaknya itu cita-cita komponisnya.

Namun apa yang terjadi, selepas pentas saya menemui para pemainnya untuk sekedar memberi selamat. Sepertinya cita-cita komponis tidak berhasil. Wajah para pemain terlihat kumal. Tidak bahagia. Ketika ditanya bagaimana pertunjukannya, jawabnnya singkat: sound systemnya tidak baik. Huuh... terjadi lagi, pikirku. Bahkan Cendra yang bermain Cello pada karya Bambang ini mengungkapkan kalimat bernada apatis terhadap buruknya sound system. ‘’Biarlah, kondisi ini pada akhirnya menjadi kebiasaan,’’ kata Cendra seusai pentas. Menurut saya ungkapan Cendra ini adalah ‘bencana estetika musik’. Pemusik sebagai tokoh utama penyampai makna mulai tidak peduli terhadap tujuan proses pemaknaan yang terjadi pada triangulasi estetika tadi. Apakah pesan dari karya tersebut sampai kepada penyimak atau tidak, bukan lagi menjadi hal penting. Pada kondisi ini kehadiran kesenian sebagai sistem nilai menjadi tidak berharga.

Dalam pengamatan saya, sound system pada pertunjukan karya ‘’Lakasyafa’ah Ya Rasulullah’’ malam itu memang buruk. Mickrophone vokal yang dipasang sebanyak tiga buah, satu pun tidak ada yang bunyi. Padahal karya musik ini mengangkat Salawat di mana vokal menjadi hal utama. Sementara instrumen biola yang menggunakan kabel plug in mendominasi dengan vomule keras. Gambus seperti ‘ada gambar tak ada suara’. Cello seperti sosok bertubuh raksasa tapi suaranya mlempem. Berulang kali saya menoleh ke belakang, ke area awak sound system, berniat memberi tandadengan tatapan penuh arti: ‘’halloo... ada yang tidak beres di sini,’’ teriakku dalam pikiran. Namun sepertinya mereka kebingungan, tidak tahu apa masalahnya. Padahal setiap penampil sudah melalui proses cek sound pada siangnya. Tidak dapat terhitung berapa kali kejadian seperti ini selalu terulang. Sound system selalu menjadi faktor utama kegagalan proses pemaknaan pertunjukan musik. Yang menyedihkan adalah sound system bintang tamu artis dari Ibukota begitu sempurna. Saat ini kita sudah dapat menerka siapa pemenang antara musik vs sound system.

Meraba Pokok Permasalahan
Dalam catatan saya, pertunjukan baik musik maupun tari di Pekanbaru, sangat sedikit pertunjukan yang tidak mempermasalahkan sound system. Tidak hanya  di Anjung Seni Idrus Tintin, event tari dan musik yang dilombakan di ruang lain seringkali menjadi kambing hitam atas kegagalan grup dalam meraih predikat terbaik. Misal, pada parade tari tingkat Provinsi Riau tahun 2011, komponis dan musisi dari grup kabupaten Indragiri Hulu membawa perangkat sound system sendiri. Meskipun persiapannya cukup panjang, sekitar 20 menit, untuk mengganti chanel mickrophone dari mixer milik sound system penyelenggara dengan mixer kecil milik penyaji. Namun usaha tersebut berhasil. Pertunjukan berjalan lancar dengan sound system yang steril dari bunyi-bunyian yang tidakdiinginkan kehadirannya. Sebagai bandingannya adalah, sound system penyajian dari kabupaten sebelum Indragiri Hulu yang betul-betul buruk. Bunyi storing/feed back mengisi ruang pendengaran sejak awal hingga akhir sajian. Dengan kondisi seperti itu, rasa jengkel menumpuk, mempertanyakan apa pokok permasalahannya.

Apabila disimak secara sepintas pokok permasalahan buruknya pelayanan sound system seni pertunjukan ada pada sumber daya para operatornya. Operator sound system yang mumpuni di negeri ini terbilang sedikit. Salah satunya almarhum Totom Kodrat. Ia menyerahkan segala hidupnya untuk menguasai keterampilan tata suara. Hingga akhirnya menjadi konsultan tata suara gedung pertunjukan. Grup musik yang berpentas di Jakarta selalu berharap akan di tangani oleh Totom. Dalam sebuah bincang ringan di Jambi awal tahun 2012, Totom mengatakan sound enginer harus mau mempelajari seluk beluk instrumen tradisional nusantara, sebab ragamnya sangat menarik untuk dijadikan bahan pembelajaran karakter bunyi.

Tak dapat dipungkiri, penguasaannya terhadap tata suara menjadikannya panutan untuk tata suara karya musik inovasi tradisi berbahagialah seniman yang pernah bekerja sama dengan Totom.

Kita dapat berkaca pada sosok Totom, bahwa salah satu persoalan mendasar operato sound system di Indonesaiadalah perlunya pengetahuan yang luas dan kedekatan terhadap beragam jenis musik. Mungkin operator sound satu dapat dengan lihai menangani pertunjukan musik band populer. Apalagi dengan fasilitas sistem digital yang sudah tersedia pada sound system mutakhir. Namun belum tentu untuk musik inovatif yang menggunakan instrumen tradisional sebagaimana para peserta di acara Culture Night. Untuk menjadi operator sound system yang baik, tidak hanya dituntut menguasai persoalan teknis. Anda perlu mendalami karakter bunyi setiap instrumen musik dan pemahaman dasar komposisi musik yang dimainkan oleh grup musik.

Sebuah pengalaman lain ketika terlibat dalam proyek perekaman musik pedesaan di Kabupaten Subang pertengahan tahun 2004. Saat itu tim sedang merekam musik tradisional Tarling. Ditengah proses perekaman tiba-tiba operator minta istirahat untuk evaluasi. Terjadi perbedaan pendapat antara dua orang ahli tata suara yang berbeda latar belakang. Satunya etnomusikologi, satu lagi terbiasa menangani perekaman musik populer. Permasalahannya adalah yang direkam adalah musik tradisional yang tidak bisa disikapi sebagaimana musik populer. Hasilnya yang diharapkan adalah kemurnian karakter bunyi instrumendan keseimbangan apalagi dengan hanya menggunakan dua buah mickrophone. Hal ini tentu saja mustahil bagi operator sound system musik populer. Dari pengalaman itu saya menganggap penguasaan karakter instrumen musik dan komposisi musik menjadi sangat penting. 

November lalu saya sempat menyaksikan pertunjukan Kua Etnika Yogyakarta arahan Djadug Feriyanto di teater Salihara Jakarta.Mereka memainkan jenis musik World Music, dimana instrumen tradisional Jawa dipadukan dengan instrumen combo band. Alat musik yang digunakan sangat banyak sehingga panggung seluas 8 x 10 meter terlihat penuh. Dari hati yang paling dalam saya memuji operator sound systemnya yang menghadirkan bunyi yang sangat jernih, sama sekali tidak ada gangguan teknis.

Selepas pertunjukan saya temui operatornya untuk menanyakan bagaimana bisa seperti itu. Mas Gendhel, panggilannya, mengatakan tidak usah terlalu ribet, yang paling penting adalah keseimbangan volume di atas panggung harus tercipta. Keseimbangan volume ini akan sangat menentukan kenyamanan para pemain dalam penampilannya. Bagaimanakah tataran keseimbangan volume yang dimaksud, hanya para pemusik yang tahu. Operator sound system harus mampu menerjemahkannya. Di sinilah pentingnya komunikasi intim antara pemusik dan operator sound system.Sebab keduanya sedang mempertaruhkan kredibilitasnya.

Seniman musik seperti Bambang dan Cendra ini tidak butuh macam-macam, cukup keseimbangan bunyi setiap instrumen musik. Sebab tanda musik pada perubahan yang tidak dapat diprediksi tidak selalu dilakukan oleh satu alat musik sebagaimana instrumen drum pada karya musik populer. Jadi apabila operator sound belum mampu untuk sekedar menciptakan keseimbangan volume antar instrumen, terus bagaimana dengan dengan tuntutan lain dari karya musik yang lebih dalam, semisal karakter bunyi setiap instrumen? Para pemusik di Riau selalu mengatakan ‘Lamak’ untuk mengungkapkan rasa puas terhadap sound system yang baik seusai berpentas. Dan tentu saja kata ‘Lamak’ menjadi pujian terhadap operator sound system.

Sekedar saran bagi pihak yang berwenang terhadap penyedia jasa sound system sebagai fasilitas artistik seni pertunjukan, investasi Anda terhadap kualitas peralatan sound system hendaknya diimbangi dengan sumber daya operatornya. Berinvestasi jugalah pada peningkatan kemampuan operator, niscaya Anda adalah penyedia  jasa sound system yang mulia. Kami doakan.

Yang Kalah
Apakah sudah menemukan siapa yang kalah?  Mungkin kita berbeda. Menurut saya tentu saja bukan dari pihakpenyedia jasa sound system. Sebab seburuk apapun kualitas jasa sound systemnya, nilai kontrak dari penyewa tidak akan berubah. Namun juga bukan pemusik seperti Bambang, Cendra atau pemusik non populer lainnya, bayaran peyenya tidak akan berkurang. Maaf, Saya bercanda. Maksud dari kalimat tersebut adalah, tugas musisi dan komponis sudah selesai ketika usai menampilkan karyanya. Selebihnya adalah urusan teknis yang menjadi penentu tersampaikannya pesan atau tidak. Kalau begitu, siapa?

Yang kalah, sejatinya ialah nilai yang terkandung dalam karya itu sendiri. Pada awalnya nilai itu berada di dunia abstrak imajinasi pengkarya. Melalui proses panjang dengan laku kontemplatif yang dalam, pengkarya berusaha menerjemahkan realitas metafisik menjadi bahasa konkrit berupa bunyi, teks, gerak, rupa-bentuk, dan lain lain untuk dapat dihayati manusia. Hanya sedikit dari seniman tulen yang  sanggup melakukannya, sehingga predikat pencipta melekat pada sosoknya ketika berhasil melahirkan karya. Malam itu tentu saja Bambang berharap karyanya dapat diapresiasi secara tuntas.

Namun ketika karya itu tidak berhasil dikomunikasikan secara total, disebabkan oleh persoalan teknis, maka nilai dan karya tersebut bergentayangan di pikiran orang-orang yang terkait. Dia gagal dimaknai oleh publik sebagai tujuan penciptaannya. Eksistensinya pun tidak sempat menjadi ‘peristiwa’ yang senantiasa ingin diketahui oleh manusia apresiator. Tidak ingin lama bergentayangan, ia akan kembali pada senimannya, berusaha agar tetap diakui keberadaannya. Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan, sang seniman penciptanya hanya bisa pasrah, seraya membelai dan berharap semoga pada penampilan berikutnya dapat lebih baik. n

Tulisan dipersembahkan untuk almarhum Totom Kodrat, konsultan sound system dan akustik Anjung Seni Idrus Tintin, sosok operator yang sederhana, yang semasa hidupnya ia dedikasikan pada peningkatan kemampuan sound system. Semoga ada penerusnya. n

Aristofani Fahmi, musisi dan penonton kesenian. Tinggal di Kota Bertuah Pekanbaru, Ria

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Desember 2013

KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan III: Seribu Kali Sayang

-- Fedli Aziz


KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan yang dilaksanakan Teater Satu Lampung bekerja sama dengan Hivos (Belanda) telah berlangsung tiga kali. Dan helat khusus bagi sutradara perempuan se Sumatera ketiga dilangsungkan, 10-14 Desember 2013 lalu di Taman Budaya Lampung. Sayang, agenda itu belum mencapai kemajuan berarti karena hampir semua pengkarya yang tampil masih berkutat pada potensi belaka.

SEBANYAK delapan grup asal Sumatera, plus satu grup asal Solo berkumpul di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung. Bukan sekedar berkumpul dan berbagi pengalaman, mereka bahkan menampilkan karya panggung hasil dari workshop penciptaan teater yang dilaksanakan dua bulan sebelumnya di tempat yang sama. Agenda tersebut menjadi lanjutan dari agenda serupa pada 2009 dan 2011 silam.

Beragam karya lewat proses penciptaan yang dihasilkan sutradara bersama kelompoknya menjadi ukuran keseriusan. Sejauh mana sutradara dan kelompok yang mewakili daerahnya itu mampu mengaplikasikan teks ke atas panggung menjadi karya menarik untuk dinikmati. Apalagi setiap karya yang dibentang disaksikan ratusan penikmat teater yang didominasi para pelajar Kota Bandar Lampung sekitarnya. Artinya, karya-karya itu memang diapresiasi masyarakat sebagai tontonan alternatif yang kian diminati.

‘’Kami harus tampil total. Menyuguhkan karya terbaik kepada apresiator di sini yang memang antusias. Kami harap suguhan kami mampu ditangkap dan dirasakan secara mendalam masyarakat di sini,’’ ungkap sutradara Teater Selembayung Riau, Ika Elizar usai pertunjukan.

Ika Elizar bersama kelompoknya, kali ini mementaskan karya Sophocles berjudul Antigone yang diadaptasinya menjadi Putusan Akhir. Teks bergaya realis klasik barat itu dipadupadankannya dengan pendekatan Melayu dengan pola pemanggungan Teater Bangsawan Melayu yang saat ini mulai jarang dipentaskan, bahkan di kawasan Melayu sendiri, apalagi Riau. Paling tidak, usaha Ika dan kawan-kawan mendapat respon positif dengan banyaknya penonton yang memberi selamat dan menyatakan suka secara langsung usai pementasan.

Sesuai dengan tujuannya, helat itu memang untuk menggelar karya-karya drama dari dalam dan luar negeri dengan adaptasi baru ke dalam konteks budaya daerah setempat melalui petunjukan teater. Sehingga dapat memperkaya khasanah pemikiran dan produk artistik untuk membangun sebuah paradigma pengembangan dan pembangunan kebudayaan di Sumatera. Hal ini disampaikan Pimpinan Teater Satu Lampung Iswadi Pratama disela-sela acara yang berlangsung selama empat hari tersebut.

‘’Kami melihat potensi-potensi besar dari setiap sutradara dan grup yang tampil di sini dan berharap ke depan akan lebih maju lagi. Jangan sampai berhenti di sini saja, tapi terus berkarya dan berkarya,’’ ulasnya.

Ditambahkannya, agenda ini bertujuan membuka akses informasi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk maju dan berkembang bagi seniman dan kelompok-kelompok teater, juga dengan melibatkan LSM Perempuan di Sumatera, baik dalam persepektif gender maupun artistik dan organisasi. Sehingga secara kualitatif memiliki kesetaraan dengan seniman dan organisasi serupa yang telah lebih dahulu berhasil mengembangkan diri di lingkup nasional juga global.

‘’Tidak tertutup kemungkinan, nantinya grup-grup teater Sumatera, terutama karya sutradara perempuan mampu bersaing dan memperkaya khazanah budaya di Sumatera,’’ harapnya.

Ruang Dialog yang Menyenangkan
Pementasan karya-karya teater di Taman Budaya Lampung tidak berlalu begitu saja. Setiap sutradara harus mempertanggung jawabkan karyanya di depan beberapa pengamat dan apresiator, dalam hal ini grup lain yang menonton. Inilah ruang yang menakutkan bagi banyak sutradara, sekaligus menyenangkan sebab setiap pengkarya akan berbantah-bantahan mempertahankan konsep yang dipilihnya dalam penciptaan.

Apalagi pengamat yang dihadirkan, sebagai penghargaan bagi sutradara dan kelompoknya merupakan para aktor dan sutrdara serta pemerhati teater yang cukup ternama. Misalnya saja, Tony Broer yang saat ini menjadi dosen di STSI Bandung sekaligus menimba ilmu di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, S3. Selain aktor dan sutradara, Tony Broer dikenal sebagai tokoh butoh Indonesia. Selain itu, AJ Erwin dan Yani Mae serta Iswadi Pratama yang telah banyak menghasilkan karya-karya panggung untuk grup yang diasuhnya.

Setiap sutradara, terlebih dahulu membentangkan sekitar proses penciptaannya. Kemudian, menjelaskan konsep garapan dari penyutradaraan, keaktoran, serta penggunaan faktor pendukung seperti dekorasi panggung, kostum, make up, tata cahaya, musik dan sebagainya. Setelah itu, barulah para pengamat secara bergantian mengupas karya mereka dengan gaya dan cara masing-masing.  

Dalam diskusi yang berlangsung setiap pagi hingga siang itu, cukup banyak hal yang bisa ditangkap, terutama, menyoal kendala dan berbagai hal sekitar penciptaan. Terungkap berbagai kemungkinan yang seharusnya lebih digali maupun kemungkinan lain seperti masih minimnya pemahaman sutradara terhadap teks, bahkan kemampuan aktor-aktornya yang masih belum termaksimalkan dalam karya mereka. Selain itu, tentu saja minimnya pemahaman tentang adaptasi naskah besar bersanding dengan khazanah lokalitas daerah masing-masing.

‘’Saya kira mereka, sutradara-sutradara itu memiliki kekuatan dan ciri masing-masing dalam proses penciptaan. Hanya saja, masih belum tergali secara mendalam dan cendrung bermain pada permukaan saja. Padahal,  jika mereka lebih berani lagi, banyak hal yang bisa mereka perkaya sehingga karya mereka jauh lebih menarik,’’ ulas Tony Broer.

Berbagai utusan juga sempat mempertanyakan kelanjutan KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan selanjutnya. Mereka juga mengharapkan, ke depan, pelaksana kegiatan lebih memaksimalkan helat tersebut dengan memberi ruang lebih ‘lapang’ atau memberi waktu yang cukup panjang untuk proses penciptaan karya. Pasalnya, selama tiga kali helat itu berlangsung, waktu yang diberikan terbilang pendek, minimal dua hingga tiga bulan dari pengolahan naskah/teks hingga proses penciptaan karya pemanggungan.

‘’Jika KALA Sumatera masih ada di tahun-tahun ke depan, kami berharap Teater Satu dan Hivos memberi waktu lebih panjang untuk proses penciptaan. Seperti yang kita pahami bersama, proses penciptaan karya panggung, khususnya teater memerlukan waktu yang cukup panjang antara empat hingga enam bulan atau setahun. Kalau waktunya terlalu minim, ya kita akan bicara potensi dan potensi belaka sebab memang waktunya tidak mencukupi untuk penciptaan,’’ papar Ika Elizar dan sutradara-sutradara dari grup lainnya.

Menanggapi hal itu, Iswadi Pratama selaku Pimpinan Teater Satu Lampung dan juga penggagas KALA Sumatera menjelaskan, agenda ini memang potensial untuk pengembangan dan kemajuan grup teater di Sumatera. Hanya saja, untuk persoalan waktu, menjadi kendala serius karena dana dari donatur, turunnya hampir sama dengan dana yang dikucurkan pemerintah. Artinya, tidak bisa sesuai dengan keinginan penyelenggara dan hal itu belum ada solusi yang memadai.

‘’Keterlambatan pencairan dana dari donatur menjadi kendala yang belum ada solusinya. Karenanya, soal waktu kami juga menyayangkannya  tapi mau dibilang bagaimana lagi. Sudah begitu aturan mainnya,’’ tegas Iswadi.

Bahkan untuk KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan IV kemungkinan sulit untuk dilaksanakan sebab Hivos Belanda, sudah memindahkan program kebudayaan ke Afrika dan di Asia tinggal program lingkungan saja. Namun Iswadi berjanji akan mencari cara lain untuk tetap melaksanakan helat lanjutan, meski tanpa Hivos. ‘’Menang sayang seribu kali sayang jika program ini terhenti sampai di sini saja. Tapi kami akan berupaya untuk tetap melanjutkannya dengan cara lain asal helat ini tetap bisa terlaksana,’’ katanya mengakhiri.

Sebagai ilustrasi grup-grup yang tampil di KALA Sumatera - Panggung Teater Perempuan III 2013 antara lain Teater Selembayung Riau, Teater Kapook Impas Stain Metro (Lampung), UKMF FKIP Unila (Lampung), Teater Rumah Mata Medan (Sumut), Teater Sambilan Ruang Padangpanjang (Sumbar), Teater Tonggak Jambi (Jambi), Teater Kentroeng Rock N’ Roll (Solo), Komunitas Seni Lima Nol Satu Palembang (Sumsel), Teater Kedai Proses (Bengkulu). Pementasan ditutup tuan rumah Teater Satu Lampung dengan judul Tanjung Karang dan Kisah-kisah yang Mengingatkan. n

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Desember 2013

Pemulihan Identitas Negeri

SASTRAWAN adalah pemakna kekinian dari nilai-nilai tradisi dan budaya yang tumbuh berkembang dalam masyarakatnya. Dalam proses pemulihan tentang identitas sebuah negeri, terutama di alam Melayu khususnya Riau, sastrawan adalah orang yang berdiri di posisi hadapan. Hal itu dikemukakan salah seorang Budayawan Riau, Al Azhar dalam silaturahim sastrawan nusantara dalam kunjungan ke LAM Riau beberapa waktu yang lalu.

Sebuah tradisi atau budaya tentulah akan berkembang sesuai dengan dinamika dan faktor-faktor lain di dalam kehidupan itu sendiri. Peran yang dimainkan oleh sastrawan dalam hal ini adalah memasuki ruang dan memutar dinamo kebaruan di dalamnya. Jika hal itu tidak terjadi. Maka menurut Al Azhar justru sebuah tradisi itu sudah mati. Di sinilah kemudian, para sastrawan melakukan tafsir-tafsir baru terhadap nilai-nilai kehidupan yang ada dan hal-hal yang melingkupi kaumnya.

Dalam kebudayaan Melayu, sastrawan juga disebut orang yang patut. Yaitu orang yang apabila kita datang padanya menjadi tempat bercerita dan bila jauh menjadi tempat bertanya. ‘’Sastrawan berada di tengah-tengah keadaan, situasi yang melingkupi kaumnya karena itu sebagai orang yang patut dia harus siap menjawab segala pertanyaan yang akan muncul terkait dengan fenomena apa yang terjadi di dalam masyarakatnya,’’ jelas Al Azhar.

Pertemuan Sastrawan Nusantara ke 17 dilaksanakan di Riau yang berlangsung 19-22 Desember. Adapun tema dari pertemuan itu adalah Masa Depan Sastra Nusantara; Gagasan dan Cabaran. Pertemuan itu dihadiri dan diikuti oleh sastrawan jemputan dari berbagai provinsi di Indonesia, sastrawan jemputan dari negara-negara serumpun yakni Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan sastrawan jemputan dari Riau. Dalam pertemuan itu juga dilaksanakan seminar, pembacaan puisi di beberapa tempat, Taman Budaya, Universitas Lancang Kuning, Universitas Islam Riau dan Universitas Riau.

Beberapa capaian dan titik temu dari pertemuan kali ini, seperti yang dikatakan salah seorang Staring Comite, Fakhrunas MA Jabbar bahwa kesimpulan yang diperolah berdasarkan rumusan yang dihadiri beberapa perwakilan dari negara serumpun adalah dalam perkembangan masa kini, para sastrawan nusantara ternyata tidak hanya berhadapan dengan situasi dan iklim politik yang berlaku di negara masing-masing. Lebih dari itu, perkembangan ilmu dan teknologi yang bersifat global telah menghadapkan para sastrawan dengan tantangan yang lebih nyata. Sebutlah perkembangan dunia siber dan multimedia yang memungkinkan semua orang begitu mudah mengakses sumber data dan informasi atau sesiapa pun tak bisa mengelak dari serbuan informasi secara bebas dan terbuka.

Realitas ini telah pula membenturkan antara nilai atau tradisi lama yang molek dan santun dengan gerusan nilai modernitas yang sulit ditapis. Boleh jadi hal ini memperjauh jarak kendali antara sastrawan berlainan generasi atau sesama sastrawan di kawasan serumpun Melayu. ‘’Padahal keberadaan sastra nusantara sangat memerlukan kepaduan dan persatuan guna mengagungkan kejayaan sastra di masa depan,’’ kata Fakhrunas yang juga merupakan sastrawan Riau ini.

Salah seorang pembicara dalam seminar PSN ke 17, Taufik Ikram Jamil  menyebutkan sesungguhnya idiologi sastra tidak muncul di tengah keragaman media yang telah memudahkannya dari berbagai hal seperti biaya dan waktu. Malahan menurutnya banyak contoh yang kemudian ditemukan dan membuktikan bahwa sastra di tengah keberagaman media saat ini, tidak melambai kita untuk berpikir tentang kemanusian. ‘’Di jejaringan sosial misalnya, banyak kelompok bersahut-sahutan menulis apa yang mereka sebut sebagai puisi-puisi pendek tetapi kemudian berkumpul di suatu tempat untuk meluncurkan pembukuan terhadap tulisan digital mereka itu, tapi anginya seperti angin dari balon yang meletus saja, tus...setelah itu habis. Bandingkan dengan era 70-an dan 90-an, ketika sastra tidak perlu bergatal-gatal dengan konservatifnya,’’ jelas Taufik Ikram Jamil.

Ditegaskan Taufik kemudian terkait dengan pijakan kreatif adalah suatu pergumulan peradaban. Waktu tidak lagi menjadi semestinya. Sejarah pun bukan menjadi suatu catatan yang telah berlalu, tetapi adalah pengibar kekinian dan masa datang, semuanya direkat oleh data sekaligus fakta. ‘’Nah, satu titik dari pergulatan peradaban yang unsur-unsurnya begitu kental berpadu adalah suatu kawasan yang dinamakan nusantara kini meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand Selatan.’’

Pertanyaannya adalah adakah pergulatan peradaban itu akan tetap aktual dimunculkan dalam PSN sebab menurut saya hal itulah yang paling penting sehingga secara umum muncul sutu konsep kesusasteraan nusantara. ‘’Keragaman media, seharusnya mempercepat penularan virus tersebut yang menjadi sisi lain dari perkembangan sastra,’’ jelas Taufik lagi.

Sementara itu, Forum PSN dapat pula dijadikan sebagai sebuah upaya dari negara serumpun untuk dijadikan suatu perekat budaya. Hal itu diakui, sastrawan dari Jakarta, Jamal D Rahman. Keharmonisan yang sering kali terganggu oleh kondisi politik dan lain sebagainya. Artinya menurut Jamal, forum seperti ini dapat menjaga keharmonisan tersebut secara budaya. ‘’Inilah jalan kebudayaan untuk menjaga kebersamaan di kawasan nusantara yang seringkali diganggu oleh persoalan-persoalan politik,’’ jelasnya.

Di samping itu, kata Jamal forum seperti ini juga dapat menjalin komunikasi yang lebih inten antara sesama sastrawan, saling kenal lewat karya. Forum dimana mereka dapat bertatap muka secara langsung. Bertukar pikiran, membincangkan pokok-pokok penting dan membicarakan apa yang mungkin untuk memajukan sastra di masing-masing negara. ‘’Bahkan dengan adanya pembacaan puisi di berbagai tempat merupakan kesempatan bagi para sastrawan bertemu dengan audien dan sebaliknya,’’ jelasnya lagi.

Senada dengan itu, sastrawan asal Tahiland Selatan, Phaosan Jahwae menyebutkan Ada banyak perkara yang dicapai dari PSN. Salah satunya ke depan akan diberikan anugerah kepada sastrawan-sastrawan yang dalam hal itu menurutnya akan mampu memberi semangat kepada penulis untuk terus berkarya. PSN juga dapatmembantu perkembangan sastra di negara asing-masing. ‘’Kita saling mengenal, persaudaraan, kita menjadi tahu bagaimana perkembangan sastra di nusantara yang notabene memiliki latar belakang berbeda tetapi memilki tujuan yang sama dalam hal memperjuangkan sastra,’’ ucapnya.

Dari pertemuan tersebut, Agus R Sarjono, sastrawan Indonesia menyebutkan ada beberapa peluang yang kemudian dapat disimpulkan dari seminar yang diadakan misalnya bagaimana sebenarnya saat ini kita punya peluang besar untuk mengantarkan sastra Indonesia tampil di wilayah sastra dunia. Peluang-peluang itu terbaca dari bagaimana perkembangan sastra di Barat yang saat ini seperti kekurangan darah segar. ‘’Inilah cabaran kita, ini pulalah tantangan kita ke depannya. Tetapi kemudian yang perlu saya katakan, terutama di Indonesia sebenarnya pemahaman dan peran pemerintah masih lemah terhadap sastra sehingga masih banyak pekerjaan di bidang ini yang harus diselesaikan,’’ jelas Agus. 

Sementara itu, sastrawan asal Lampung, Isbedy Setiawan memiliki pandangan bahwa jika tidak benar-benar dikonsep dengan baik, PSN ini tidak akan memberikan efek apa-apa bagi perkembangan sastra di negara masing-masing. Menurutnya, di Indonesia sendiri misalnya tak ada pun acara seperti ini, para satrawannya tetap berkarya. Tetap mencari titik capaian estetikanya sendiri dalam menghasilkan karya sastra. Kata Isbedy seharusnya disamping sebagai ajang silaturahmi, PSN ini menjadi ajang pembelajaran juga bagi para sastrawan.

Begitu juga pendapat Hasan al Bana, sastrawan asal Medan yang mengatakan PSN ini tidak banyak pula memberikan kontribusi bagi perkembangan sastra di daerahnya. Secara pribadi, menurut hasan acara serupa ini semacam carger saja, ngecas sebentar. ‘’Pada dasarnya yang penting itu kembali kepada penyairnya. Ketika sudah dicas semua kita ini, akhirnya bagaimana kita memanfaatkannya, Itu yang penting. Substansi itu atau benturan apa yang didapat yang kemudian bisa dibawa balik,’’ jelasnya.

Diakuinya juga tidak mudah membuat format acara yang memiliki dampak yang sangat besar bagi perkembangan sastra. Dan harapannya agar PSN ke depan dapat juga melibatkan generasi-generasi muda karena menurutu Hasan, generasi muda juga harus tahu bagaimana sejarah PSN ini dan dalam hal lainnya generasi muda lebih  mungkin untuk menciptakan dan mencari ‘’pencapaian’’ yang lain. ‘’Silaturahmi tentu menjadi poin dalam PSN ini. Jadi memang tidak mudah membuat acara dengan format untuk mencapai kesepemahaman dan tujuan bersama tapi itulah tantangan kita,’’ jelasnya.(*6) n

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Desember 2013

Sastra Indonesia dalam Arus Globalisasi

-- Dessy Wahyuni

BAHASA tanpa sastra bagaikan jasad tanpa ruh. Bahasa tidak punya semangat jika tidak ada muatan sastra. Sastralah yang membuat bahasa menjadi hidup. Dalam sastralah terkesan harapan dan cita-cita masyarakatnya. Pernyataan ini seringkali diungkapkan U.U. Hamidy pada banyak kesempatan. Ia memberikan pengertian bahwa kreativitas sastra sangatlah penting dalam bahasa. Ia ingin keberadaan dan peranan sastrawan beserta karyanya diperhitungkan dalam perkembangan zaman.

Sastra kerap lahir dari proses kegelisahan sastrawan terhadap kondisi masyarakat. Sastra pun sering ditempatkan sebagai potret sosial, sebab sastra mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu, yang selalu memancarkan semangat zamannya. Sastra  tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya. Dengan demikian, sastra merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa. Kita dapat menemukanrefleksidan manifestasi tersebut dalam banyak karya sastra, salah satunya dalam Roman Siti Nurbaya.

Dalam perkembangan saat ini, para sastrawan tidak hanya berhadapan dengan situasi sosial dan politik lokal. Mereka jugamenghadapi globalisasi dan modernisasi. Mitos yang muncul selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas bangsa. Kebudayaan lokal akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Haruskah mitos ini dilestarikan? tentusajatidak. Sastrawanmelaluikaryanya, dapatberperandalammendobrak mitos tersebut.

Bagaimanapun sastra mampu memainkan banyak peran. Sastradapat membangunnama baik Indonesia di mata dunia. Jika beragam praktikpolitik mencemariIndonesia di mata duniamisalnya, tugas sastrawanlah, salahsatunya, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang patut diperhitungkan. Seperti yang diutarakan John F. Kennedy: ‘’Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.’’ Sastra memiliki peran besar dalam memengaruhi kehidupan manusia, begitu pula kebudayaan.

Kebudayaan membuat manusia memiliki batas nilai dalam berpikir, berperilaku, dan bertindak. Kebudayaan selalu berada dalam wilayah akal budi dan hati nurani, memberikan kekuatan bagi setiap manusia untuk menapis hal-hal buruk dari kehidupan. Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat. Selain itu menurut Koentjaraningrat, guru besar Antropologi Universitas Indonesia, kebudayaan merupakan keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki oleh masyarakat manusia; kebudayaan itu tidak diturunkan secara biologis melainkan diperoleh melalui proses belajar; dan kebudayaan itu didapat, didukung, dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Sastradan budaya mempunyai ketergantungan satu sama lain. Sastra sangat dipengaruhi oleh budaya, sehingga berbagai hal yang terdapat dalam kebudayaan dapat tercermin dalam sastra. Sastra dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Jika kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, sastra adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi.

Sebagai media yang dapat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kabudayaan yang patut diperhitungkan, sastra seharusnya bisa menjadi alat kontrol untuk meminimalisasi dampak negatif yang muncul dari sebuah arus globalisasi. Hal ini bisa dilakukan dengan membaca karya sastra. Membaca sastra dapat membuat bahasa seseorang menjadi indah. Di samping itu, membaca sastra dapat pula memberikan pengetahuan sosial budaya, yang tentu saja sangat diperlukan bila terjun ke masyarakat. Dengan mengetahui sistem sosial budaya suatu masyarakat, dapat dipelihara pergaulan sosial yang baik dengan masyarakat tersebut. Selain itu, membaca sastra juga dapat memperkenalkan seseorang pada pemikiran-pemikiran pengarang. Tentu saja hal ini bisa membuka wawasan seseorang.

Emha Ainun Najib pernah berkata bahwa sastra dapat memelihara kelembutan hati,  kepekaan perasaan, ketajaman intuisi, kedalaman jiwa, kearifan sifat sosial, dan keluasan pandangan hidup. Jika mengacu pada pendapat Emha Ainun Najib ini, maka segala dampak negatif tersebut akan terkikis. Misalnya membaca ‘’Gurindam Dua Belas’’ yang ditulis Raja Ali Haji, sastrawan dari Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Selain dapat menikmati keindahan kata-katanya (gurindam merupakan puisi Melayu lama yang terdiri atas dua bait, tiap bait terdiri atas dua baris kalimat dengan irama yang sama dan merupakan kesatuan yang utuh), pembaca juga dapat menyelami maknanya. Kedua belas pasal ‘’Gurindam Dua Belas’’ tersebut berisi nasihat tentang agama, budi pekerti, pendidikan, moral, dan tingkah laku. Contoh lainnya adalah syair-syair Hamzah Fansuri, yang merupakan syair Melayu kesastraan klasik berbentuk keagamaan. Selain itu, novel-novel karya Hamka, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Karya-karya sastra tersebut sering menyelipkan unsur pengajaran di dalamnya.

Oleh sebab itu, dalam proses globalisasi, janganlah sastra menjadi objek, tetapi sastra harus mengambil posisi sebagai subjek dalam perubahan itu. Sastra Indonesia harus mampu menjadi sebuah kekuatan budaya. Maka, tugas para sastrawanlah yang harus terus melahirkan karya-karya yang bermakna dengan penuh kejelian mengangkat tema dan isu lokalitas dalam imajinasinya. Dengan demikian, sastra bisa dijadikan tempat melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual bagi nilai-nilai kebenaran. Semoga. n

Dessy Wahyuni, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Desember 2013

[Buku] Seks dan Revolusi di Dunia Arab

Data buku:
Seks dan Hijab: Gairah dan Intimitas
di Dunia Arab yang Berubah

Shereen El Faki
Penerjemah: Adi Toha
Alvabet, Jakarta, 2013
444 hlm.
REVOLUSI sering berjalan tergesa mengubah segala hal. Revolusi di Mesir (2011) membuat jutaan orang di dunia terpana, melihat politik runtuh untuk disusun ulang dengan rumus dan pelaku berbeda. Revolusi itu memang berembus, menggerakkan perubahan dalam sendi-sendi kehidupan. Revolusi tak cuma politik. Demonstrasi, letusan senjata, teriak, air mata dalam arus revolusi memang kelaziman. Di lakon revolusi, seks turut mengalami gejolak, mengubah wajah Mesir dan dan negeri-negeri di Arab.

Sheeran El Feki, yang mengajukan buku Seks dan Hijab, mengajak pembaca melihat dunia Arab melalui perubahan-perubahan pandangan dan tindakan merujuk ke seks, asmara, pernikahan, agama, identitas, politik. Peristiwa akbar di Lapangan Tahrir (Mesir) menjadi perhatian dunia. Ratusan ribu orang, selama sekian hari, berkumpul untuk melantunkan suara-suara kebebasan, keadilan, demokrasi. Lapangan itu mirip papan iklan untuk pelbagai misi. Apakah seks turut disuarakan di Lapangan Tahrir, ada bersama revolusi?

Kita bakal menemukan persoalan-persosalan seks dengan pelbagai argumentasi di buku Shereen. Pembacaan buku-buku dan pengakuan orang-orang di dunia Arab menjadi kumpulan informasi mengejutkan. Petuah-petuah ulama mengajak umat untuk melindungi diri dari ajaran seks Barat. Shereen mengutip pandangan Sayyid Qutb sebagai representasi pandangan konservatif tentang seks. Qutb menganggap Barat adalah “jamban kekacauan seksual” dan “kebusukan moral”. Pandangan ini mulai mendapat tantangan dari generasi mutakhir, berbarengan dengan revolusi politik dan dominasi teknologi internet. Seks perlahan menjadi tema cair, mengubah selera dan pemaknaan. Seks telah meresap ke dunia Arab dengan aroma Barat, bercampur adat dan agama.

Di Mesir, seks adalah persoalan pelik, mulai urusan pernikahan sampai perzinaan. Selama gerakan revolusi di Lapangan Tahrir, ada poster ganjil berisi seruan kaum muda: ‘Aku ingin menikah!’. Seruan ini disuarakan kaum revolusioner. Mengapa? Pernikahan di Mesir selalu memunculkan gelisah dan kehormatan, merujuk ke pelaksanaan ajaran agama, adat, anutan modernitas. Keputusan menikah mesti dibarengi dengan pelbagai modal, dari iman sampai uang. Pernikahan memang menjalankan ajaran agama Islam, tetapi mengikutkan beban berat. Beban itu bernalar konsumerisme. Hasrat menikah memerlukan uang, berdalih demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan berlatar adat. Kaum revolsuioner pun berseru agar ada revolusi seks dan pernikahan.

Urusan seks di dunia Arab dijalankan institusi keluarga, negara, perusahaan, media massa. Bisnis seks dan pernikahan mulai menjalar di dunia Arab. Shereen El Faki melaporkan ada bisnis perjodohan, pelacuran, pernikahan kontrak, konsultasi seks, program seks di televisi, perbukuan seks, situs seks. Semua memberi aroma dalam lakon seks dan pernikahan.  

Selebrasi seks juga bermunculan di penerbitan buku-buku fiksi. Para pembaca novel di dunia Arab menemukan sensasi dan imajinasi saat menikmati bacaan-bacaan bercorak seks. Sensor dan kecaman memang ada, tapi publik memiliki siasat agar bisa menikmati seks dalam kata-kata.
Seks di dunia Arab abad XXI berbeda dengan lakon-lakon masa silam. Seks adalah basis pengisahan keluarga, kota, negara. Shereen dalam penelitian ke pelbagai negeri di Arab menemukan ada pola-pola perubahan untuk memahami seks, berbarengan dengan perubahan situasi ekonomi-politik lokal dan internasional. Seks adalah tema besar dan pelik.

Buku Seks dan Hijab sudah mengajukan pelbagai kisah dan penjelasan meski tak pernah tuntas. Lakon seks terus bergerak dan berubah. Shereen El Faki mengakui buku Seks dan Hijab bukan bahasan terakhir mengenai seks di dunia Arab. Buku ini menjadi langkah awal pada sebuah titik balik dalam sejarah dunia Arab. Kisah-kisah revolusi masih berlangsung di dunia Arab. Kita pun menginsafi dunia Arab mutakhir tak cuma revolusi politik. Lakon revolusi seks juga terjadi, mulai dari ranjang sampai peristiwa-peristiwa di ruang publik. Begitu.

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Desember 2013

Saturday, December 28, 2013

Fenomena Sastra Kembar Siam

-- Maria M Bhoernomo

SEJUMLAH teks sastra Indonesia yang dipublikasikan di sejumlah media beberapa tahun terakhir ini mirip bayi kembar siam. Misalnya, puisi-puisi yang prosais dan cerpen-cerpen yang puitis yang makin banyak mewarnai rubrik-rubrik sastra di media cetak. Dan sebagaimana bayi kembar siam, banyak yang menganggapnya sebagai kelainan atau tidak normal.

    Anggapan demikian tentu berdasarkan pemahaman yang terlanjur diyakini sebagai yang paling sahih: bahwa bayi normal adalah bayi dengan sosok tubuh yang utuh dengan satu jenis kelamin. Dan jika ada dua atau lebih bayi dalam satu rahim yang lahir dengan memiliki sosok tubuh yang utuh dan satu jenis kelamin masing-masing maka juga dianggap sebagai bayi kembar yang normal.

    Bayi kembar siam, di mana dan kapan pun, karena (dianggap) tidak normal, ternyata sering merepotkan, sehingga selalu ada upaya untuk memisahkannya meski risikonya bisa membuatnya mati. Dan jika bayi kembar siam dibiarkan hidup, biasanya akan menimbulkan rasa iba, takjub, lucu, unik, atau heboh. Demikian juga dalam ranah sastra. Munculnya teks-teks sastra yang mengandung dua unsur prosa dan puisi ternyata sempat menghebohkan, atau setidaknya bikin bingung publik. Berbagai komentar pun bermunculan.

    Saya lebih suka berkomentar bahwa teks-teks "sastra kembar siam" merupakan hasil dari proses kreatif yang bimbang atau "nakal". Pada saat menulisnya sedang dilanda kebimbangan apakah mau menulis puisi atau prosa maka jadilah teks prosa yang puitis atau puisi yang prosais. Atau pada saat menulisnya muncul "kenakalan" untuk mengacaukan pakem sastra normatif.

    Dalam proses kreatif menulis, memang sering diwarnai kebimbangan dalam menentukan jenis teks yang hendak ditulis. Bagi sejumlah sastrawan yang setia pada pakem sastra normatif, akan selalu berusaha untuk melahirkan teks-teks sastra yang normal. Itulah sebabnya, dalam sejarah sastra mana pun selalu muncul sastrawan-sastrawan yang menulis prosa dan puisi dengan mempertahankan pakem sastra normatif. Suatu ketika menulis prosa yang baik. Di saat lain menulis puisi yang indah. Pada waktu lainnya lagi menulis esai yang cerdas.

    Bagi sastrawan yang setia pada pakem sastra normatif, melahirkan teks sastra yang normal merupakan keharusan. Tujuannya, tentu agar dunia sastra tetap mengenal kategori-kategori sastra yang membedakan mana prosa dan mana puisi. Tujuan ini dianggap final. Maka tidak akan ada proses kreatif yang kemudian berujung pada menghalalkan segala eksperimen dalam berkarya yang dapat merusak kategori-kategori sastra. Sastrawan-sastrawan yang setia pada pakem sastra normatif selayaknya mendapat apresiasi yang proporsional, karena mereka akan selalu membantu publik pembaca untuk bisa mengenal mana puisi dan mana prosa dengan jelas.

    Dalam pandangan mereka, puisi yang baik tidak perlu menyerupai prosa dan sebaliknya prosa yang baik tidak perlu menyerupai puisi.

    Jika misalnya sastrawan-sastrawan yang setia pada pakem sastra normatif mau mencoba "nakal", tentu bukan hal yang sulit. Dalam hal ini, "nakal" dengan sengaja atau tidak sengaja melahirkan teks-teks "sastra kembar siam" hanya masalah teknis dan kemauan saja.

    Tidak ada yang sulit untuk menulis prosa yang puitis atau sebaliknya puisi yang prosais jika sudah mahir menulis puisi dan prosa. Jika ditamsilkan, siapa pun yang punya anggota tubuh sempurna, menulis prosa yang puitis atau puisi yang prosais bisa saja seperti berjalan dengan kedua kaki dan tangan sekaligus. Sama sekali tidak sulit. Tapi tidak dilakukan, karena dianggap tidak pantas, atau memalukan, atau sayang kepada diri sendiri.

    Sebaliknya, bagi sastrawan-sastrawan yang "nakal", sengaja menulis puisi yang prosais atau prosa yang puitis bisa jadi dianggap sebagai suatu kebanggaan. Mereka mungkin justru gembira jika publik pembaca terheran-heran lalu ramai-ramai menggunjingkannya. Tak peduli karyanya telah mengaburkan kategori-kategori sastra. Persetan dengan pakem sastra normatif.

    Jika ada yang mencela "kenakalannya", mereka bisa saja akan membela diri bahwa si pencela tidak tahu estetika, kuper, kolot dan kolokan.

    Mirip anak nakal yang suka break-dance atau menari jumpalitan di jalan, mereka akan puas jika dapat menimbulkan kekacauan berlalulintas yang menghebohkan karena itu identik dengan sensasi yang diidam-idamkannya.

    Begitulah. teks "sastra kembar siam" memang telah mengacaukan. Dan semakin banyak orang yang meributkannya semakin membuatnya cepat populer.

    Kalau menari berjumpalitan saja di tengah jalan hanya bikin kacau suasana, tentu akan lebih menghebohkan jika dilakukan dengan membuka-buka kelamin. Maka kemudian bermunculan teks-teks "sastra kembar siam" yang sangat deskriptif dan artikulatif membeberkan urusan seks dan seksualitas. Dan siapa saja yang mengecamnya akan dianggap tidak tahu kemajuan jaman. Mereka akan bersikap apologis: "Maklumlah! Sekarang jaman modern! Bukan jaman Siti Nurbaya lagi!"

    Fenomena "sastra kembar siam" mungkin akan tetap berlanjut pada masa-masa mendatang, karena ranah sastra sama dengan ranah sosial. Selalu ada yang setia pada norma-norma demi normalitas sastra dan selalu saja ada yang "nakal" demi sensasi-sensasi dan popularitas. Keduanya sama-sama berhak hidup dan berkembang.

    Ada satu masalah yang layak didiskusikan berkaitan dengan munculnya fenomena "sastra kembar siam". Yakni masalah kebijakan yang berlaku di ruang publikasi.

    Pemegang otoritas di ruang-ruang publikasi harus dapat mengapresiasi sastra normal maupun "sastra kembar siam", karena keduanya sama-sama membutuhkan habitat untuk hidup dan berkembang di ruang-ruang publikasi. n

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Desember 2013

Melawan Malin Kundang

-- Mohammad Fadlul Rahman

"BANGUNLAH, bangkitlah, kesaksian harus diberikan, supaya kebenaran terjaga", demikian petikan sajak si Burung Merak WS Rendra. Sajak ini menunjukkan suatu ajakan kepada segenap komponen bangsa agar tetap menyalakan api atau semangat perjuangan dimana saja dan dalam keadaan apapun juga. Perjuangan tidak boleh meredup, temaram, apalagi sampai padam.

    Mengapa demikian? Perjalanan hidup bangsa ini perlu dikawal, dijaga, dan diselamatkan dari kemungkinan terjerumus dalam kematian atau kehancurannya. Kepada segenap komponen bangsa inilah, the founding fathers mempercayakan amanat atau tugas besar itu, yaitu sebuah perubahan yang tidak berada di tangan satu dua orang, partai politik, dan komunitas elit saja, tetapi di tangan semua elemen bangsa.

    Pilar-pilar bangsa seperti yang ditunjukkan oleh para pemuda di zaman Sumpah Pemuda dulu merupakan teladan konkrit. Bahwa, kaum muda mampu memberikan yang terbaik demi bangsa atau masyarakatnya, dan tidak selalu menuntut diberi yang terbaik dari negaranya. Mereka telah membaiat dirinya dalam agenda sejarah bangsa sebagai kekuatan strategis, yang mampu dijadikan kiblat semangat kejuangan atau perubahan. Namun, dalam perjalanannya ternyata tidak selalu pemuda mau dan mampu menjadikan baiat historis itu sebagai referensi moral kehidupannya. Tidak sedikit diantaranya yang menderita penyakit amnesia kesejarahan, terbukti, mereka ini berlawanan dengan norma keagungan yang diajarkan leluhur.

    Salah satu komponen bangsa strategis yang wajib selalu diingatkan adalah mahasiswa, yang notabene komunitas pemuda. Memang pada dirinya ada nyanyian kebenaran yang bisa disenandungkan, ada ketajaman pena yang bisa difungsikan laksana pedang, atau tersimpan kekuatan untuk melakukan perubahan besar di saat komponen bangsa lain sedang tidak berdaya atau dihinggapi ketakutan untuk beraksi.

    Realitas tak bisa dipungkiri, bahwa mahasiswa memang telah menunjukkan dan menyejarahkan "birahi" perubahan radikal lewat berbagai "karya" besar seperti yang terjadi pada Mei 1998 ditandai bergulirnya era reformasi, meskipun saat ini seolah mengalami stagnasi atau tak berlanjut. Ada pena yang tumpul, ada vokalitas yang menurun, ada gerakan yang bercorak setengah hati, dan ada gebyar hura-hura atau euforia kelompok dan perburuan klas yang lebih superior.

    Perubahan radikal, yang disebut oleh Nurchols Majid sebagai "kemerdekaan kedua" itu telah membuktikan, bahwa di tengah multikulturalisme bangsa pun, jika mahasiswa (pemuda) bangkit kesadarannya, sedang menyala idealismenya, membara etos mujahadahnya, dan jiwa kepejuangannya berkobar, apapun bisa terjadi. Ketika tentara, politisi, ulama, dan kekuatan di luar mahasiswa gagal merebut kemerdekaan dari hegemoni rezim otoritarian, mahasiswa bisa membuat keajaiban sejarah, merotasi perjalanan negeri ke era yang diharapkan lebih terbuka, demokratis, dan memartabatkan manusia Indonesia.

    Setelah kemerdekaan kedua berhasil direbut, ada diantara mahasiswa yang terjebak dalam euphoria yang diproduknya sendiri. Mereka masuk dalam jaringan-jaringan yang bercorak eksklusif, yang merangsang dan menawarkan kemapanan politik-ekonomi. Ada diantaranya yang menyebut atau menggolongkan mereka dalam jebakan hedonisasi dan mafia struktural, yang dimungkinkan atau dipastikan akan mematikan daya kritisnya atau "membunuh" idealismenya. Bahkan di kalangan komunitas reformis radikal, mereka dijuluki telah melakukan pengkhiatan intelektual atau kejahatan moral.

    Sementara, golongan terakhir ini berdalih bahwa perjuangan mengenal tipe, model, dan strategi. Seorang pejuang harus berani masuk kandang "malin kundang" jika berkeinginan mengetahui dan menjelajahi lautan perjuangan yang sebenarnya, harus berani menyelam di telaga "abu-abu" jika berkeinginan merubahnya. Perubahan tidak hanya bisa dilakukan dan digerakkan di luar gelanggang, tetapi harus masuk di dalam gelanggang dan berani bertarung dengan kekuatan apapun.

    Memang lambat laun, suara-suara kritis dan mencemooh aktivis yang bergerak di jalur politik itu mulai tidak terdengar, di samping karena faktor beragamnya episode kegiatan dan tantangan yang dihadapi mahasiswa, juga terjebaknya mahasiswa dalam dunianya yang bercorak komunitas kultural eksklusif. Ini mengakibatkan mahasiswa sedang jadi "terdakwa" berat, karena diposisikan sedang mengidap kematian gerakan moral atau mengidap keloyoan pada ranah gerakan fitri. Bahkan secara umum mengalangi kematian akibat daya magis hegemoni kultural yang memabukkan yang mampu menggiringnya jadi obyek yang tak berdaya.

    Jebakan perubahan yang menawarkan keragaman dan kenikmatan kultural, khususnya bangunan gaya hidup yang diproduksi oleh pemilik modal besar yang berkeinginan meraup keuntungan sebesar-besarnya, di samping tawaran kemapanan politik, ternyata punya pengaruh luar biasa dalam kehidupan mahasiswa, yang terlena dan mabuk dalam revolusi kebudayaan yang menggiringnya menjadi konsumen-konsumen yang pasif.

    Bisa disaksikan panorama kehidupan mahasiswa sekarang di kota-kota besar seperti Surabaya dan Malang, yang mempertontonkan revolusi gaya hidup berpola serba hedonisme atau menurut Idi Subandy Ibrahim terperangkap "ekstasi gaya hidup". Ini, semakin menjebaknya lupa jati diri atau mengamnesiakan komitmen kebangsaan dan kerakyatannya.

    Kalau mahasiswa gagal membangkitkan sendiri kesadarannya untuk menghidupkan gerakan moral, bisa dipastikan negeri ini akan semakin banyak "penjahat berdasi" atau neo kolonialis yang menjarah dan menjajah bangsanya. Bahkan, bangsa ini kembali menjadi bangsa terjajah akibat sumberdaya strategis bangsa dikuasai "Malin Kundang" yang pintar menggunakan baju reformasi, penegakan hukum, kerjasama dengan asing, dan bahkan dalih kepentingan pencitraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kalau tidak para pemuda yang membangun dan membumikan militansi dirinya, mau siapa lagi? n

Mohammad Fadlul Rahman, pemerhati masalah kebijakan pembangunan dan pemerintahan, peneliti ElKaPM dari Universitas Negeri Malang.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Desember 2013

Wednesday, December 25, 2013

Empat Generasi Sastrawan dalam Satu Panggung

Oleh Oyos Saroso H.N.


Asaroeddin Malik Zulqornain Ch.
SILATURAHMI dan Panggung Sastrawan Lampung yang dihelat Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL), Selasa malam (24/12/2013) pada dasarnya merupakan sebuah pertemuan empat generasi sastrawan di Lampung. Yaitu generasi 80-an, Generasi 90-an, generasi 2000-an, dan generasi 2010-an.

Generasi 80-an diwakili Asaroeddin Malik Zulqornain Ch., Isbedy Stiawan ZS, dan Syaiful Irba Tanpaka. Generasi 90-an yang tampil antara lain Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin, Ari Pahala Hutabarat, dan Udo Z. Karzi. Generasi 2000-an diwakili Inggit Putria Marga, Iskandar GB, dan Fitri Yani.

Iswadi Pratama
Kalau kita tinjau jejak sastrawan Lampung, Isbedy dan kawan-kawan bukanlah generasi pertama sastrawan Lampung. Sebab, sebelumnya sudah ada sastrawan Lampung yang namanya kemudian menasional, yaitu Motinggo Busye. Sastrawan bernama asli Bustami Djalid itu lahir di Kupangkota, Bandarlampung, 21 November 1937 dan meninggal di Jakarta, 18 Juni 1999 pada umur 61 tahun.

Motinggo dikenal sebagai sastrawan terkemuka, sutradara teater, dan penulis lakon. Sebelum menulis lakon Malam Jahanam pada 1958, kemungkinan besar Motinggo Busye sudah berkarya sejak tinggal di Lampung. Artinya, ia tidak bisa dilepaskan dari jejak sejarah sastra modern di Lampung.

Inggit Putria Marga
Selain Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, dan Asaroeddin Malik Zulqornain, pada barisan generasi 80-an sastrawan Lampung sebenarnya ada nama-nama lain. Di antaranya Iwan Nurdaya Djafar, Dadang Ruhiyat, Sugandhi Putra, Djuhardi Basri, Sutarman Sutar, Christian Heru, dan Hasanuddin Z Arifin.

Yulizar Fadli
Sementara generasi kedua ada juga nama Juperta Panji Utama, Rifian Chepy, Ivan Bonang, dll. Sebagian di antara nama-nama itu tidak aktif lagi mempublikasikan karya-karyanya. Sementara beberapa sastrawan yang masih aktif, karena alasan tertentu tidak bisa hadir pada malam silaturahmi sastrawan.

Generasi 2000-an, selain Inggit Putria Marga, ada nama lain yang menonjol yaitu Jimmy Maruli Alfian, Dina Oktaviani, Yogi Agit Subandi, Lupita Lukman, dan Dyah Merta.

Sementara generasi 2010 saya baru melihat untuk pertama kalinya Yulizar Fadli. Malam itu, Yulizar membacakan cerpen yang lumayan bagus: “Sapi”. n

Sumber: Lampungreview.com, Rabu, 25 Desember  2013

Sunday, December 22, 2013

Tuhan dan Manusia Dalam Pentas Wayang

-- Den Muhammad Rasyidi

WAYANG adalah salah satu budaya tradisional di Jawa yang masih eksis di era modernisasi ini. Suatu budaya yang bersejarah. Meski terdapat beberapa perbedaan persfektif tentang budaya Wayang, Rizem Aizid menegaskan dalam bukunya “Atlas Tokoh-Tokoh Wayang”, bahwa secara konvensional Wayang diartikan sebagai bentuk tiruan manusia yang terbuat dari kulit, kardus, seng, atau bahan-bahan lainnya dengan melambangkan watak manusia.

Sebagian sejarawan mengatakan, budaya Wayang lahir berkisar pada tahun 1500 SM. Sehingga budaya Wayang yang berkembang di Jawa adalah hasil impor budaya India yang datangnya bersamaan dengan Agama Hindu ke Jawa. Sebab, sekitar tahun 900 SM Hindu sudah masuk ke Indonesia. Melihat dari tahun ungkapan itu memang dapat diterima, sebab ada pementasan Wayang pada masa Prabu Erlangga, Raja Kahuripan (976-1012) pada saat itu juga penduduk Jawa sudah beragama Hindu. Menurut Prof. Schlegel dalam Bukunya “Chineesche Brauche Und Spiele In Europa” pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan bayang-bayang semacam Wayang di Cina. Pertunjukan ini kemudian menyebar ke India. Dari India kemudian dibawa ke Indonesia.

Lebih jelasnya, pada abad ke-4 orang-orang Hindu, terutama para pedagangnya datang ke Indonesia. Pada kesempatan tersebut mereka membawa ajarannya dengan Kitab Wedadan Epos Cerita Maha Besar India, yaitu Mahabharata dan Ramayana dengan bahasa Sanskrit. Pada abad ke-9 mulailah bermunculan cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata dan Ramayana tersebut, seperti Arujunawiwaha karangan Empu Kanwa dan lainya.

Makna Filosofis Wayang
Terlepas dari perdebatan di atas, ada hal yang lebih penting untuk diketahui dari budaya tersebut. Wayang, bukan sekadar budaya yang membudaya dan menyejarah tanpa makna. Terlepas budaya Wayang lahir di negara apapun, atau dari negara manapun, atau juga cerita di dalamnya tidak sesuai dengan fakta sosial, semisal Gareng, Petruk dan sebagainya. Lebih-lebih kisahnya memang benar-benar nyata di masa lalu yang kemudian diceritakan kembali. Akan tetapi lepas dari setiap skeptisisme tersebut, Wayang mempunyai makna filosofis yang erat kaitannya kehidupan manusia hubungannya dengan Tuhan.

Sesuai definisi yang telah disepakati Wayang hakikatnya adalah bayang-bayang atau ilustrasi suatu watak dan prilaku manusia yang berada di bawah kekuasaan penuh Tuhannya. Semua sifat manusia dan Tuhan tergambar dalam pewayangan; lewat dewa dewi yang di ceritakan mestinya kita tahu bagaimana Tuhan mempunyai sifat kasih, sayang dan perkasa. Sebab dewa dan dewi tersebut tak lain adalah manifestasi dari rasa kasih dan sayang Tuhan kepada manusia. Ia yang membantu pekerjaan manusia jika sulit. Melalui pewayangan itulah, harusnya kita sadar bahwa manusia tak selamanya benar dan tak selamanya salah, ada kalanya baik dan kadang juga buruk. Itulah hidup, tidak lebih.

Selebihnya, dalam pementasan Wayang, kita dikenalkan pada profesi Dalang yang menjadi penguasa seutuhnya atas kehidupan para Wayang. Kertas atau kardus-kardus itu hanya bisa berjalan atas kehendak Dalang. Bila Dalang berkehendak mematikan atau melemahkan mereka, Kun Fayakun maka semua itu akan terjadi. Dalam dalam hal ini tak ubahnya Tuhan yang memegang tindak-tanduk manusia.

Manusia sepenuhnya ada di tangan Tuhan yang Maha di atas segala maha. Bagai dalam pewayangan, Tuhan mempunyai otoritas tertinggi pada makhluknya, Tuhan adalah Dalang yang mengatur hidup manusia. Tuhan juga yang menentukan manusia harus seperti apa dan berbuat apa. Maka tidak salah jika kemudian sebagian dari Agama yang masuk ke Indonesia, menjadikan Wayang sebagai media dakwah. Sebab bagi mereka merasa lebih mudah menyampaikannya karena juga lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Pendek kata, Wayang tidak hanya mengandung budaya yang minta dikenang atau di-sejarah-kan. Selebihnya, Wayang juga budaya yang harus dipelajari dan direnungi dalam kehidupan. Sebab, dalam Wayang terdapat nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap penokohannya yang diceritakan. Semisal sikap sabar, berlaku adil, dan bertata krama yang baik dengan sesama manusia. Nilai-nilai itu akan menciptakan kehidupan yang bermakna jika diaplikasikan secar sempurna. Jelas sudah, Wayang bukan hanya pergelaran yang bersifat menghibur, tetapi juga budaya yang serat akan nilai-nilai falsafah hidup.

Tak salah kiranya, jika kita menceritakan ulang kisah-kisah Wayang pada setiap generasi. Dengan orientasi awal, untuk mengabadikan budaya Wayang. Sebab, negara yang besar adalah negara yang cinta dengan budayanya lokalnya. Apalagi Wayang, tanpa menafikan budaya yang lain, suatu budaya yang menumbuhkan nilai spiritualitas manusia. n

Den Muhammad Rasyidi, pegiat kajian filsafatdi Lingkaran Metalogi, Fakultas Ushuluddin,UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 Desember 2013

Puisi “Manusia Lain” Dahta Gautama: Konkretisasi Makna Kedalam Keindahan Teks Sastra

 -- Sayyid Fahmi Alathas

Konkretisasi Makna

Apabila menurut salah seorang tokoh berkebangsaan Polandia bernama Roman Ingarden, dengan mengatakan bahwa karya sastra mempunyai struktur yang objektif, yang memberi peluang kepada pembaca untuk memberi arti terhadapnya.

Akan tetapi struktur karya sastra sementara belum bisa berbuat banyak terhadap pembaca sehingga di perlukan suatu kegiatan konkretisasi terhadap kemungkinan makna yang disediakan oleh struktur objektif tadi. Disini kegiatan makna karya dibatasi oleh struktur itu sendiri; karena struktur objektif itu hanya satu maka konkretisasi makna hanya ada satu terlepas dari pengaruh masa dan tempat.

Meskipun yang terdapat pada karya sastra menekankan keberlangsungan teori, dikarenakan kajian mengenai teori resepsi sastra menentukan kebermulaan makna yang mudah dicerna para pembaca selaku pemberi makna. Dimana tidak ubahnya serupa artefak atau benda mati!. Dimana di perlukan proses konkretisasi, dimana mesti mengartikan kode-kode makna sesuai yang ada dihadapannya.

Namun menyangkut kosakata bahasa kedalam proses konkretisasi pada kalimat membentuk makna mencakup tema serta bahasa. Ada seorang tokoh pelopor sejarah sastra berkebangsaan Jerman Barat, bernama Hans Robert Jausz, melalui pokok pokok bahasannya penekanan pembaca selaku pemberi makna dapat ditelusuri dalam makalahnya berjudul “ Literatur Geiscichte Als Provokation”. Yakni sejarah sastra sebagai tantangan. Berisikan mengenai “Dinamika Sastra” yang timbul berdasarkan diakronis dan sinkronis.

Apabila dari segi estetik karya sastra sebagai karya seni, pembacalah yang menentukan apakah karya sastra dapat diterima atau ditolak, apakah karya sastra bernilai atau tidak, apakah karya sastra yang tertonjol itu nilai esetetik atau nilai kegunaannya. Dengan mengatakan pula bahwa interpretasi seorang pembaca terhadap sebuah teks sastra ditentukan oleh apa yang disebutnya dengan Horison Penerimaan. Dimana dibaginya kedalam dua bagian. Pertama yang bersifat estetik atau yang ada di dalam teks sastra. Kedua yang tidak bersifat estetik atau yang tidak berada di dalam teks sastra tetapi sesuatu yang melekat kepada pembaca.

Apabila menurut salah seorang tokoh berkebangsaan Polandia bernama Feliks Vodicka, merupakan seorang murid seorang tokoh kaum strukturalis Praha yang mengembangkan teori lanjutan kaum Formalis Rusia, dengan menekankan fungsi estetik bahasa dengan konteks sosial, dengan mengatakan bahwa karya sastra puisi tak ubahnya artefak, benda mati. Pembacalah yang menghidupkan melalui proses konkretisasi. Sebagai artefak, karya sastra tidak jelas maknanya; ia baru jelas atau konkret setelah berinteraksi dengan pembaca.

Meskipun Jan Mukarovsky, dengan mengatakan  bahwa karya sastra sangat berkaitan dengan konteks sosial, sehingga fungsi estetik dan puitika bahasa tidak terlepas dari fungsi sosial sementara fungsi estetik dan fungsi sosial selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan fungsi sosial itu sendiri. Fungsi estetik dan fungsi sosial selalu berubah-ubah pada suatu masyarakat sepanjang zaman. Kadang kala lebih mementingkan fungsi sosial dan kadang kadang lebih mementingkan fungsi estetik ( Teeuw, 1984-7).

Disebabkan dalam suatu masyarakat fungsi bahasa kerap berkaitan dengan fungsi estetik dan fungsi sosial suatu lingkungan masyarakat, apabila keindahan seni terletak pada karya sastra puisi bermain dalam proses ruang bahasa berhadapan langsung dengan kenyataan kosakata bahasa itu sendiri, yang apabila digunakan seorang pengarang dalam setiap kali menciptakan karya sastra puisi untuk menemukan makna.

Akan tetapi proses konkretisasi kedalam ruang bahasa membentuk kalimat, apakah proses kosakata bahasa yang apabila pendapat seorang tokoh ilmu tata bahasa yakni “Transformatif Generatif” bernama, Noam Chomsky, dengan mengatakan bahwa setiap penutur bahasa asli sesuatu bahasa alami telah menyimpang dari rumus gramatis bahasa yang ada dalam otaknya. Pada dasarnya bahasa mempunyai dua struktur yakni struktur dalam (Deep Structure) dan struktur permukaan ( Surface Structure), yang dapat disamakan dengan istilah “Comptence” atau penguasaan bahasa dalam otak sesuai dengan aturannya, dan “Performance” atau pelahiran bahasa oleh seeseorang. Orang yang sama mungkin berbeda dalam “Performance” atau “Surface Structure”.

Keindahan Teks Sastra Puisi “Manusia Lain”

Namun menurut kaum strukturalis dengan mengatakan bahwa karya sastra dapat didekati dari dua segi yakni segi pertentangan dengan bentuk dan pemakaian bahasa dan segi seni dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk-bentuk seni yang lain. Mendekati sastra dari segi seni  berarti mendekati sastra dari segi estetik atau keindahan. Akan tetapi sastra lebih ditekankan pada aspek bahasanya karena aspek seni pada sastra melekat pada penggunanan bahasa itu sendiri. Bahasa pada sastra tidak sama dengan cat, gerak, atau bahan baku seni yang lain, karena bahasa sebelum digunakan dalam sastra telah mempunyai makna yang mau tak mau melandasi penciptaan sastrawan (Bdk, Teeuw, 1984:34).

Dimana bahasa masih berlangsung kontekstual meskipun keuniversalan makna melingkupi penciptaan karya sastra. Akan tetapi karya sastra menerobos kearah perkembangan kajian ilmu sastra, kearah kajian ilmu bahasa menentukan makna yang mudah dicerna dan dipertanggung jawabkan pengarangnya terhadap pembaca. Dimana kesimpulan karya sastra menekankan keberlangsungan teori, bukan hanya menyulitkan pengarangnya selaku pencipta karya sastra dari beraneka ragam kosakata bahasa sampai membentuk kalimat.

Apabila sejauh mana kejadian atau peristiwa dalam bahasa, dimana pengarangnya menyikapi segala bentuk yang berhubungan beraneka ragam kosakata bahasa membentuk kalimat, dimana mengembangkan cerita membawa perubahan zaman kearah bahasa. Kemungkinan pengarangnya menciptakan karya sastra berkualitas bukan hanya terletak kepada pencapaian fungsi estetika dan puitika bahasa dari beraneka ragam kosakata bahasa membentuk kalimat. Apabila dilihat dari aspek mengandung batasan kenyataan dan ketidaknyataan koeralasi beraneka ragam kosakata bahasa membentuk kalimat. Apabila koeralasi antara satu kosakata bahasa kedalam kalimat.

Pertama, seperti koeralasi langkah awal menentukan kalimat, dimana mengandung batasan antara kenyataan dan ketidaknyataan maksud, tujuan, sebab, akibat, sejauh mana karya sastra puisi “manusia Lain” menjadi suatu karya berkualitas. Seperti terdapat pada puisinya berjudul “Persekongkolan Anjing”;  Anjing-anjing berburu Tuhan dirumahmu./ ditempat yang paling basah dalam keluargamu./ Istri selalu mengira bahwa engkau pulang membungkus nabi dalam tas ranselmu. /Ia tak pernah memahami, gerakan anjing bisa melukai rumah tangga/ Demikianlah, anjing mencarinya, dan menemui Tuhan dirumah itu./ Sementara engkau menjadi lelaki yang selalu marah/ dan Tuhan, tak pernah memberi mu’jizat pada laki-lakijahat,/ maka engkau hanya dapat menjumpai perempuan/ kering diatas ranjang berderik/ Nabi yang dipuja istri, tak pernah engkau bawa pulang/ Padahal engkau sudah terlalu payah untuk bernapas.

Apabila menurut salah seorang kaum Formalis Rusia yang pertama kali memulai penekanannya atas bahasa dalam karya sastra, agar  bisa terjadinya proses efek pengasingan atau penggelapan bernama, Roman Jakobson, dengan mengatakan bahwa sumber-sumber puitis yang tersembunyi pada struktur morfologi dan sintaksis sering kali tidak diketahui oleh pakar bahasa tetapi dikuasai oleh penulis penulis kreatif; ahli bahasa tuli terhadap fungsi puitis bahasa dan pakar sastra bersikap dingin terhadap masalah linguistik adalah mereka yang membuat kesalahan besar atau anakronis. ( Simanjuntak 1982: 38).

Seperti terdapat pada puisinya berjudul “Lelaki yang Tumbang”;  Demikianlah, aku menemukan perempuan lain dikartu nama yang salah./ Ketika engkau menyebut satu orang berbeda/ dan dia pasti memiliki kesempatan serupa untuk membunuhmu./ Aku berada di tempat busuk, di bawah akasia layu./ Menatap pucuknya dan ingin benar mengecup sisa getahnya./ Perempuan yang tak pernah kukenal asalnya./ Mungkin engkau mendamba bau tubuh lain./ Kau merindu perilaku ganjil, dari lelaki telanjang./ Itulah sebabnya, kau tak sudi, ada lelaki sama dalam sejarah hidup mu yang ringkas itu./ Engkau selalu menyebutku sebagai lelaki tumbang./ Sebab tak pernah memahami tatacara mengeja nama musuhmu./ Engkau pasti ingin bercinta dalam waktu purba, kemudian menghujamkan belati kedada ku./ Sungguh, aku cuma lelaki penggembira./ Lelaki yang tak pintar bergerak, menghindar kalah.

Pertama, apakah makna yang terdapat pada baris dan bait setiap karya sastra puisinya itu puitis? Kedua, apakah setiap jenis kosakata bahasa menjadi unsur kalimat apabila dipadukan dalam setiap karya sastra puisinya itu puitis? Ketiga, apakah proses generalisasi struktur kosakata bahasa seorang pembaca memperoleh makna dari karya sastra puisinya itu puitis? Keempat, apakah proses generalisasi struktur kosakata bahasa, membangun setiap unsur pada kalimat dalam karya sastra puisinya itu puitis! Kelima, apakah proses generalisasi karya sastra puisinya itu seperti yang dikemukakan oleh seorang tokoh kaum Formalis Rusia murid dari seorang tokoh kaum praha yakni, Jans Mukarovsky, bernama Feliks Vodicka!

Disebabkan pandangan-pandangan suatu masyarakat terhadap karya sastra, kepada pandangan nilai-nilai lingkungan sosial masyarakat dimana karya sastra tersebut berada. Apabila dalam suatu karya sastra makna berpusat kepada bahasa? Apakah yang mesti dilakukan seorang sastrawan dimana mesti berhadapan langsung dengan “realitas” kosakata bahasa sebagai pembentuk teks. Dimana dalam menyampaikan makna merupakan bagian “integral” yang tidak dapat dipisahkan dari fungsi utama penggunaan struktur kosakata bahasa kedalam kalimat. Disebabkan pengarangnya melakukan proses permentasi dari beraneka ragam kosakata bahasa yang disusunnya kedalam kalimat.

Sehingga menjadikan bahasa yang berbeda dari pemakaian bahasa biasa pada umumnya. Apabila menurut salah seorang tokoh bernama, Jurich Lotman dengan mengatakan bahwa bahasa mempunyai potensi bentuk dan makna tidak terbatas. Karena disatu sisi, pengarang harus tunduk pada tata bahasa, disisi yang lain pengarang  bebas menggunakan tata bahasa sesuai dengan prinsip-prinsip “Lincetia Poetica”. Dikarenakan teks sastra ditengah perubahan arus sosial kearah absurditasnya, bukan hanya kontestual namun universal, dimana menyesuaikan harapan pengarangnya, seperti kedua tokoh, Ariel Haryanto dan Arief Budiman, dengan mengatakan bahwa perubahan-perubahan didalam teks sastra dapat berkembang kapan saja, dimana saja, sekalipun ditengah kontroversi arus pengkritisi dan pengarang. n

Sayyid Fahmi Alathas, Karya Sastra berupa Puisi Dan Esai terbit di sejumlah Belasan Media Massa Lokal dan Nasional

Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 Desember 2013

Culture Night Ditutup Kolaborasi Tiga Negara

-- Fedli Azis

Malam penutup Culture Night atau Malam Kebudayaan tajaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau ditutup dengan manis lewat kolaborasi musisi tiga negara, Indonesia (Riau), Malaysia dan Singapura. Helat seni bernuansa Islami yang perdana digelar itu dihajatkan akan berlangsung setiap tahunnya, sebagai peringatan tahun baru Islam.

SELAIN membawakan lagu-lagu Iwan Fals, kolaborasi musisi tiga negara itu juga menampilkan karya musik secara spontan namun asyik untuk disaksikan dan didengarkan. Tidak hanya itu, disela-sela penampilan musik, tampil pula sastrawan Riau Yoserizal Zen dengan sajak andalannya yang menghentak. Paling tidak, kolaborasi itu cukup memberi kesan akan keakraban dan keramahan seniman tiga negara serumpun.

Tampilan seni berlandaskan Islami digelar selama lima malam berturut-turut, 11-15 Desember di Laman Bujang Mat Syam, komplek Bandar Serai (purna MTQ). Sebanyak 30 grup seni menampilkan hasil kreativitas mereka di atas panggung mewah, bersimbah cahaya lampu dan tentu saja gemuruh tepuk tangan penonton yang hadir. Ini menjadi bukti bahwa seni dan budaya Melayu yang berlandaskan Islami layak dan mampu duduk sejajar dengan bentuk seni lainnya.

Kesenian yang di dalam proses kreativitasnya melalui berbagai tapisan pemikiran dan penghayatan serta pengalaman batin terkait langsung dengan fenomena kebudayaan yang dimiliki ras atau pun suku bangsa. Pada akhirnya menjadi pintu kebudayaan dan menjadi modal penting dalam memberi identitas sebuah negeri.

‘’Hal ini sesuai dengan visi Riau 2020 menjadikan Riau sebagai pusat kesenian dan kebudayaan di Asia Tenggara dan kesenian sebagai pintu kebudayaan itu menjadi modal penting dalam memicu pencapaian visi dan misi tersebut,’’ ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau Said Syarifuddin.

Ragam tampilan dari seluruh grup yang tampil berpijak pada nilai-nilai Islami, dikemas dalam suguhan bentuk seni yang bervariasi. Kreativitas sang kreator tampak jelas dari tiap-tiap garapan yang berangkat dari ide dan gagasan mereka. Kekuatan unsur-unsur tradisi dari tiap-tiap daerah dan negara berbancuh padu dengan nuansa Islami, baik itu tari, musik maupun unsur-unsur seni lainnya.

‘’Dengan mengusung nilai-nilai Islami, tentunya menjadi filter untuk menjaga masuknya kebudayaan dari luar yang lambat laun dapat merusak nilai-nilai budaya kita dan secara tidak langsung dengan mengedepankan nilai-nilai Islami itu juga menjadi perisai bagi budaya Melayu Riau sendiri,’’ jelasnya lagi.

Tampilan dari Dumai misalnya, berjudul Mastautin. Mereka membawakan sebuah lagu yang menceritakan tentang telah benderangnya zaman jahilliyah semenjak turunnya Rasulullah. ‘’Musik yang diaransmen dengan enam bentuk tempo itu terdiri dari tempo funk, langgam, inang, zapin dan shuffle dan disela-sela tempo dibumbui dengan warna-warna arabic dan sentuhan orkestra,’’ ujar Yopi. 

Demikian juga penampilan dari Sanggar Warisan Meranti, Kabupaten Kepulauan Meranti binaan Abdul Gani. Mereka menampilkan sebuah aransmen lagu yang berjudul Nafas Orang Pulau yang dikolaborasi dengan tradisi Islami, berzanji. Gani Menjelaskan bahwa kebudayaan Melayu memang tak bisa lepas dari nilai-nilai Islami. Banyak sekali di pulau tempatnya bermastautin seni-seni Islami yang menjadi nafas kehidupan masyarakat seperti misalnya berzanji, maulud, zapin, bardah dan lain-lain.
‘’Makanya dalam kesempatan ini, kami mementaskan sebuah aransmen musik yang dikolaborasikan dengan barzanji,’’ jelas Gani.
Sementara itu, Kepala Taman Budaya Pulsiamitra menyebutkan bila dilihat dari penampilan malam pertama dan malam terakhir dari seluruh peserta persisnya dalam rangka mengusung seni Islami. Semuanya menarik dan tampak tiap peserta betul-betul mempersiapkan karya mereka untuk pertunjukan ini. ‘’Dan pada akhirnya menjadi kekuatan sendiri bagi kita dalam seni pertunjukan yang bernuansa Islami. Saya kira bisa menjadi kekuatan seni pertunjukan kita ke depan,’’ jelasnya.

Karya-karya yang digarap baik dalam pola-pola tradisi maupun pola tradisi yang dikreasikan, menurut Pulsiamitra dapat dilihat bagaimana antusias penonton setiap malamnya. Bagaimana masyarakat mengapresiasi pertunjukan pola tradisi yang katakanlah menggunakan pola-pola yang menonton tapi tetap diapresiasi dengan baik.

‘’Artinya, inilah kekuatan itu. Kalau sekarang masih mengundang artis ibukota untuk meramaikan acara ke depannya dengan potensi seni tradisi yang dimiliki saja pastilah akan menjadi seni pertunjukan yang menarik,’’ jelasnya lagi.

Senada dengan itu, disampaikan Kepala Museum Sang Nila Utama (SNU) Riau Yoserizal Zen bahwa acara Culture Night atau Malam Kebudayaan membuktikan bahwa pusat Ibukota negara memanglah Jakarta tetapi pusat kebudayaan itu belum tentu Jakarta. Hal itu dicontokan Yoserizal misalnya jumlah penonton berimbang ramainya baik penampilan dari artis-artis ibukota yang turut diundang dengan penampilan grup atau tim seni yang berasal dari daerah-daerah. ‘’Ini membuktikan bahwa peononton kita sudah pintar, tidak mutlak artis dari ibukota ramai penontonnya tapi tampilan dari kabupaten dan provinsi lainnya dalam bentuk seni pertunjukan tradisi, pun tetap diapresiasi dengan baik. Hal ini juga terbukti, dari pertunjukan yang pernah dipersembahkan kawan-kawan seniman di Riau, baik itu teater, tari, musik yang tampil di Anjung Seni Idrus Tintin, penontonnya malah membludak,’’ katanya.

Hanya saja menurut Yoserizal, perlu evaluasi dari acara malam kebudayaan tersebut baik pihak pelaksana maupun dari peserta. Misalnya, ke depan alangkah lebih baik setiap acara ada temanya sehingga acara yang ditaja memiliki kesan yang lebih baik lagi kalau bisa acara malam kebudayaan ini mampu menarik wisatawan ke Riau. ‘’Untuk para peserta, barangkali lebih bisa mengemas karyanya agar lebih baik dalam arti kata mampu memanfaatkan kekuatan-kekuatan tradisi yang bernuansa Islami untuk dipadukan dengan kesenian masa kini dan semuanya terkemas dalam seni pertunjukan yang menarik dan berkualitas,’’ jelas Yoserizal.

Tampil juga dalam acara Culture Night tersebut, sanggar Tasek Seminai Kabupaten Siak. Mereka membawakan sebuah tarian yang berjudul Kumandang Kompang. Sebuah tarian yang memadukan antara gerak dan bunyi yang kemudian dirangkai menjadi sebuah tarian yang tetap berpijak pada langkah-langkah zapin yang bernuasa Islami. ‘’Seperti diketahui, Siak merupakan sebuah kabupaten yang memiliki latar belakang budaya tari, diantara salah satunya adalah zapin yang berasal dari Arab. Ada beberapa motif bunga zapin seperti geliat dan meniti batang yang dijadikan landasan gerak karya ini,’’ jelas M Sobri sebagai penata tarinya.

Penampilan dari negara tetangga, Malaysia yang turut memeriahkan acara tersebut. Dari kelompok musik yang menamakan grupnya Field Player Entertainment. Sebelum menunjukkan aksinya, Jart Hasan yang mengaku sudah beberapa kali pentas di Riau mengatakan pertunjukan musik mereka terkemas dalam sebuah judul besar Hijrah. Dikatakannya setiap jiwa yang berhijrah pada mulanya pasti beramal untuk fadhilat, berusaha membuat kabaikan untuk mendapat maghfirah Allah SWT, namun semakin lama beramal, akhirnya bukan lagi semata-mata mengharapkan fadhilat mahupun ganjaran tetapi semata-mata untuk keredhaan dariNYA demi cinta dariNYA dan cinta kepadaNYA. ‘’Hijrah dari Zulumat kepada barokah, Jazakallah Khair,’’ ucap Jart.

Begitu juga dengan pertunjukan dari Kabupaten Bengkalis yang sarat dengan nilai-nilai Islami dalam pertunjukannya. Sanggar yang bernama Terubuk Emas itu membawakan aransmen musik yang berpijak dari tradisi murni. Diantaranya kompang, gambus, marwas, gendang panjang, nafiri, biola dan accordion. Di dalam garapan tersebut diselingi dengan pantun, syair, gurindam, barzanji, asyrokal serta salawat. Pimpinan rombongan, Jaafar menyebutkan ini semua merupakan seni budaya dan alat tardisi Melayu yang telaten dimainkan oleh kelembutan jari jemari tangan budak-budak Melayu sejak zaman dahulu yang merupakan peninggalan budaya para pedagang Arab yang membawa kepada peradaban tinggi terutama di sepanjang pesisir pantai.

‘’Kondisi dunia yang berkembang saat ini, tak heran kalau seni tradisi yang sebenarnya menancapkan nilai-nilai Islami hampir lenyap dari peredaran tanah Melayu. Berterima kasih kita kepada pendahulu dan panitia penyelenggara helat ini karena sesungguhnya tradisi Melayu yang bernafaskan Islam masih berkembang dan dapat diwariskan kepada generasi penerus anak-anak di aman zamannya berada tidak tertelan oleh zaman,’’ ucap Jaafar semangat.

Ada banyak tampilan lagi dari masing-masing kabupaten/kota, provinsi lainnya yang turut menggairahkan malam kebudayaan tajaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau tersebut. diantaranya, sanggar dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, Kepri, DKI Jakarta dan sanggar asal Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hilir, Pelalawan, serta sanggar-sanggar seni yang ada di Pekanbaru lainnya. Ke semua tampilan yang mengusung nilai-nilai tradisi Melayu dan Islami dinilai salah seorang seniman musik Riau, Dandun Wibawa memiliki kekuatan tersendiri bagi perkembangan seni budaya di Riau. ‘’Karya musik yang mereka persembahkan menurut saya berkembang sangat pesat apalagi kebanyakan oleh tangan-tangan kreator anak muda, luar biasa menurut saya,’’ ujarnya.(*6) n

Sumber: Riau Pos, Minggu, 22 Desember 2013