Sunday, December 08, 2013

[Buku] Mozaik Sejarah Pers di Tanah Andalas

Data buku:
Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an)

Sastri Sunarti

Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), bekerjasama dengan Ècole française d'Extrême-Orient (EFEO) KITLV-Jakarta, Fadli Zon Library

Oktober, 2013

xxii + 287 hlm

"MASA lalu adalah sebuah negeri asing. Senantiasa asing. Kita, yang hidup hari ini, tak akan pernah kenal benar dunia luar dan dalamnya, jalan raya dan jurang-jurangnya, penghuni dan perkakasnya, tentu saja sejarah ditulis." (Goenawan Mohamad, Caping, 24 Oktober 2013)

Membincang buku karya Sastri Sunarti tentang sejarah pers di tanah tempat lahirnya legenda si Malin Kundang, Sumatera Barat, sungguh memikat. Sebab, historisitas kelahiran pers di Indonesia, utamanya di Minangkabau, memiliki kekhasan dan keunikan. Sejarah kemunculan pers di daerah itu, justru dipelopori oleh kaum muda terdidik lewat sistem pendidikan tradisional suraunya.

Di sisi lain, buku yang mengupas tentang sejarah pers di Sumatera memang masih sangat langka. Hampir sebagian besar kajian tentang perkembangan pers di negeri ini, secara umum historisitas perkembangannya hanya tampak di tanah Jawa. Tak kurang dari 530-an artikel jurnal dan buku yang berhubungan dengan sejarah pers di Indonesia?seperti diutarakan Ignatius Haryanto dalam pengantar buku ini?memang masih sangat ?Jawa-sentris? (hlm. xii).

Oleh sebab itu, penulisan tentang sejarah pers di tempat lain pun layak mendapat apresiasi. Apalagi kajiannya berusaha menghubungkan tradisi budaya kelisanan dan keberaksaraan dengan dunia pers. Maka, pengajar jurnalistik di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) itu mengibaratkan karya Sastri Sunarti ini ?semacam melengkapi kepingan mozaik dari suatu papan yang masih banyak memiliki ruang kosong?.

Buku yang awalnya merupakan disertasi penulisnya ini, secara faktual terinspirasi dari buku Early Malay Printed Books karya Ian Proudfoot. Dari buku tersebut kita memperoleh informasi bahwa percetakan pertama di Sumatera berlabel Sumatra Mission Press, berdiri pada 1819 di Bengkulu (Bencoolen) di mana wilayah-wilayah seperti Moko-Moko (sekarang Muko-Muko), Pangkalan Jambi, dan Kerinci pada saat itu masih termasuk daerah kekuasaan kerajaan Alam Minangkabau. Percetakan tersebut diperkenalkan oleh kolonial Inggris melalui jasa seorang misionaris bernama Baptist Nathaniel Ward dan William Robinson. Dua orang tersebut datang ke Pulau Andalas atas undangan Thomas Stamford Rafles. Mesin cetaknya sendiri dihadirkan dari Kalkuta, India (hlm. 37).

Pers di Minangkabau pada masa awal kemunculannya merupakan proses kesinambungan dari tradisi budaya tutur (lisan) dan selanjutnya berevolusi ke budaya tulis. Oleh sebab itu, gemerlapnya dunia penerbitan dan percetakan terbitan awal di Minangkabau menandakan bahwa tradisi keberaksaraan masyarakat Minang pada saat itu sudah tercegak begitu kuat.

Tema-tema yang diusung oleh surat kabar ?tempoe doloe? itu, misalnya, mengusung gagasan tentang pendidikan, agama, adat dan budaya, serta gender. Bahkan, syair dan pantun sebagai bentuk sastra tradisional Melayu juga menjadi genre sastra yang paling digemari dalam terbitan surat kabar dan majalah pada saat itu. (hlm. 72).

Lewat pisau analisis yang menggunakan pendekatan lintas disiplin ilmu antropologi wacana dan linguistik serta didukung buku Orality and Literacy (The Technologizing of the Word) karya Walter J. Ong, karya Sastri Sunarti ini juga tak kalah memukau. Sebab, penelitian yang dilakukannya merupakan sebuah kontinum dari dua medium: budaya kelisanan di satu kutub dan budaya keberaksaraan di kutub lain. Kedua kutub itu kemudian oleh penulisnya diberlakukan secara universal.

Maka, menelisik perkembangan budaya kelisanan dan keberaksaraan dalam konteks perkembangan sejarah pers di Minangkabau, kita tidak bisa meneropongnya dari sudut pandang hitam putih. Sikap yang cenderung memberi label orang lisan sebagai orang ?buta huruf? (illiterate) sama sekali tidak bisa untuk menelisik konteks sejarah perkembangan pers di Minangkabau. Sebab, tradisi kelisanan (orality) dalam perkembangan sejarah pers di Minangkabau, justru yang melatari pemikiran keberaksaraan (literacy) orang Minang.

Sekadar menyebut contoh naskah-naskah lama yang pernah dikaji dan diterbitkan asal Minangkabau, serta menjadi bukti bahwa tradisi kelisanan dan keberaksaraan hidup dan maju secara berdampingan di wilayah itu misalnya, terdapat Hikayat Nakhoda Muda, disunting oleh G.W.J. Drewes (1961) berjudul De Biografie van een Minangkabausen Peperhandelaar in de Lampongs. Naskah ini merupakan tulisan mengenai riwayat hidup orang Minangkabau yang paling awal ditulis. Hikayat itu menceritakan tentang seorang tokoh bergelar ?Nakhoda Muda? yang pernah hidup di tanah Lampung (hlm. 9).

Akhirnya, didasarkan pada informasi itu, pertanyaan besar yang layak dimunculkan dalam nalar kita adalah, siapa sesungguhnya tokoh yang bergelar Nakhoda Muda itu? Sebab, sampai saat ini, sepengetahuan saya, masih jarang ditemukan teks-teks sejarah kebudayaan Lampung yang mengkaji asal-usul tokoh yang dimaksud dalam teks Hikayat Nakhoda Muda itu. Di sinilah, seperti diungkapkan Goenawan Mohamad di awal tulisan ini, sejarah memang wajib ditulis. Wallahualam bissawab.

Ali Murtadho, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 Desember 2013

No comments: