Sunday, December 29, 2013

Sastra Indonesia dalam Arus Globalisasi

-- Dessy Wahyuni

BAHASA tanpa sastra bagaikan jasad tanpa ruh. Bahasa tidak punya semangat jika tidak ada muatan sastra. Sastralah yang membuat bahasa menjadi hidup. Dalam sastralah terkesan harapan dan cita-cita masyarakatnya. Pernyataan ini seringkali diungkapkan U.U. Hamidy pada banyak kesempatan. Ia memberikan pengertian bahwa kreativitas sastra sangatlah penting dalam bahasa. Ia ingin keberadaan dan peranan sastrawan beserta karyanya diperhitungkan dalam perkembangan zaman.

Sastra kerap lahir dari proses kegelisahan sastrawan terhadap kondisi masyarakat. Sastra pun sering ditempatkan sebagai potret sosial, sebab sastra mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu, yang selalu memancarkan semangat zamannya. Sastra  tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya. Dengan demikian, sastra merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa. Kita dapat menemukanrefleksidan manifestasi tersebut dalam banyak karya sastra, salah satunya dalam Roman Siti Nurbaya.

Dalam perkembangan saat ini, para sastrawan tidak hanya berhadapan dengan situasi sosial dan politik lokal. Mereka jugamenghadapi globalisasi dan modernisasi. Mitos yang muncul selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas bangsa. Kebudayaan lokal akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Haruskah mitos ini dilestarikan? tentusajatidak. Sastrawanmelaluikaryanya, dapatberperandalammendobrak mitos tersebut.

Bagaimanapun sastra mampu memainkan banyak peran. Sastradapat membangunnama baik Indonesia di mata dunia. Jika beragam praktikpolitik mencemariIndonesia di mata duniamisalnya, tugas sastrawanlah, salahsatunya, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang patut diperhitungkan. Seperti yang diutarakan John F. Kennedy: ‘’Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.’’ Sastra memiliki peran besar dalam memengaruhi kehidupan manusia, begitu pula kebudayaan.

Kebudayaan membuat manusia memiliki batas nilai dalam berpikir, berperilaku, dan bertindak. Kebudayaan selalu berada dalam wilayah akal budi dan hati nurani, memberikan kekuatan bagi setiap manusia untuk menapis hal-hal buruk dari kehidupan. Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat. Selain itu menurut Koentjaraningrat, guru besar Antropologi Universitas Indonesia, kebudayaan merupakan keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki oleh masyarakat manusia; kebudayaan itu tidak diturunkan secara biologis melainkan diperoleh melalui proses belajar; dan kebudayaan itu didapat, didukung, dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Sastradan budaya mempunyai ketergantungan satu sama lain. Sastra sangat dipengaruhi oleh budaya, sehingga berbagai hal yang terdapat dalam kebudayaan dapat tercermin dalam sastra. Sastra dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Jika kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, sastra adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi.

Sebagai media yang dapat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kabudayaan yang patut diperhitungkan, sastra seharusnya bisa menjadi alat kontrol untuk meminimalisasi dampak negatif yang muncul dari sebuah arus globalisasi. Hal ini bisa dilakukan dengan membaca karya sastra. Membaca sastra dapat membuat bahasa seseorang menjadi indah. Di samping itu, membaca sastra dapat pula memberikan pengetahuan sosial budaya, yang tentu saja sangat diperlukan bila terjun ke masyarakat. Dengan mengetahui sistem sosial budaya suatu masyarakat, dapat dipelihara pergaulan sosial yang baik dengan masyarakat tersebut. Selain itu, membaca sastra juga dapat memperkenalkan seseorang pada pemikiran-pemikiran pengarang. Tentu saja hal ini bisa membuka wawasan seseorang.

Emha Ainun Najib pernah berkata bahwa sastra dapat memelihara kelembutan hati,  kepekaan perasaan, ketajaman intuisi, kedalaman jiwa, kearifan sifat sosial, dan keluasan pandangan hidup. Jika mengacu pada pendapat Emha Ainun Najib ini, maka segala dampak negatif tersebut akan terkikis. Misalnya membaca ‘’Gurindam Dua Belas’’ yang ditulis Raja Ali Haji, sastrawan dari Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Selain dapat menikmati keindahan kata-katanya (gurindam merupakan puisi Melayu lama yang terdiri atas dua bait, tiap bait terdiri atas dua baris kalimat dengan irama yang sama dan merupakan kesatuan yang utuh), pembaca juga dapat menyelami maknanya. Kedua belas pasal ‘’Gurindam Dua Belas’’ tersebut berisi nasihat tentang agama, budi pekerti, pendidikan, moral, dan tingkah laku. Contoh lainnya adalah syair-syair Hamzah Fansuri, yang merupakan syair Melayu kesastraan klasik berbentuk keagamaan. Selain itu, novel-novel karya Hamka, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Karya-karya sastra tersebut sering menyelipkan unsur pengajaran di dalamnya.

Oleh sebab itu, dalam proses globalisasi, janganlah sastra menjadi objek, tetapi sastra harus mengambil posisi sebagai subjek dalam perubahan itu. Sastra Indonesia harus mampu menjadi sebuah kekuatan budaya. Maka, tugas para sastrawanlah yang harus terus melahirkan karya-karya yang bermakna dengan penuh kejelian mengangkat tema dan isu lokalitas dalam imajinasinya. Dengan demikian, sastra bisa dijadikan tempat melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual bagi nilai-nilai kebenaran. Semoga. n

Dessy Wahyuni, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 Desember 2013

No comments: