Sunday, December 08, 2013

Gelora Teater dan Lomba Film Pendek DKR 2013: Gelora Semangat Kreativitas

-- Fedli Azis

Dewan Kesenian Riau (DKR) menaja dua helat sekaligus yakni Gelora Teater dan Lomba Film Pendek se-Riau. Helat yang berlangsung, 28 November-2 Desember di Anjung Seni Idrus Tintin tersebut berhasil menggelorakan semangat kreativitas seni.

DALAM petunjuk pelaksana Gelora Teater, terdapat empat hal yang diisyaratkan panitia penyelenggara Dewan Kesenian Riau (DKR) bagi peserta. Keempat itu diantaranya kewajiban peserta menggunakan naskah terjemahan, naskah yang bersumber dari cerita lisan Melayu Riau dan naskah buatan sendiri. Peserta juga diwajibkan menggarap pertunjukan dalam bentuk modern. Selanjutnya pertunjukan hendaknya bersumber pada ‘roh’ budaya Melayu Riau serta menggunakan bahasa Indonesia atau logat Melayu yang mudah dimengerti penonton.

Sebanyak 18 peserta yang tampil di helat Gelora Teater se Riau di Anjung Seni Idrus Tintin, seperti dikatakan salah seorang dewan juri dari Jogjakarta, Prof Dr Yudiaryani MA, semua peserta sudah berusaha mengikuti kriteria yang menjadi kehendak panitia. Peserta memilih naskah dengan budaya sumber Melayu Riau, seperti misalnya Dang Gedunai, Buan Ancak. Peserta juga berusaha mengadaptasi naskah mancanegara seperti Oedipus dan Jocasta, Dokter Gadungan, Ceki di mana pertunjukan yang kemudian ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa campuran Indonesia-Melayu. Juga artistik yang ditata sebagai ekspresi individual seperti pada pertunjukan naskah Makan dan tata artistik yang juga bersumber pada cerita rakyat Melayu Riau seperti Peri Bunian.

‘’Demikian juga persoalan-persoalan yang tumbuh dalam masyarakat coba ditampilkan pula pengkarya dalam beberapa pertunjukan seperti Bakau, Patung Sumbang dan Caleg Gagal,’’ jelas Yudiaryani.

Namun demikian, semangat para peserta yang serius menggarap pertunjukan ternyata dinilai dewan juri belum menunjukkan hasil yang optimal. Masih banyak hukum-hukum dan prinsip-prinsip pemanggugan yang belum dipahami oleh hampir seluruh peserta festival. ‘’Saya kira keberlanjutan program Gelora Teater ini penting sekali bagi peningkatan kualitas seniman Melayu Riau itu sendiri,’’ ucap Yudiaryani lagi.

Patut dipahami bersama, kata Yudiaryani bahwa semangat berteater harus pula diimplementasikan melalui dilaksanakannya kegiatan pembinaan seni teater bagi siswa dan seniman teater karena penggarapan teater modern adalah garapan yang memerlukan pelatihan, diantaranya pelatihan seni peran, penyutradaraan, penataan artistik, manajemen produksi serta pelatihan menulis naskah drama bagi seniman. Teater modern berbasis pada naskah-naskah realis dengan ide realisme yang menjadikan gaya pertunjukan padat, efisien logis dan kontekstual dan gaya teater modern mengeksplorasi nilai dan pesan-pesan seni budaya tradisional bagi kepentingan pengayaan teater modern itu sendiri. 

‘’Tetapi beberapa perangkat di atas, tidak bisa di dapatkan pada teater tradisional yang notabene berangkat dari ‘apa adanya’ yang menguntungkan dari seni budaya tradisonal adalah ianya bersifat luwes, kaya dan adaptif sehingga layak didekatkan, disandingkan bahkan dileburkan dengan teater modern. Nah, peleburan inilah antara seni budaya tradisonal (Melayu Riau) dan modern (mancanegara dan nasional) akan menumbuhkan suatu seni hibrida yang tetap beraroma tradisi tetapi mencirikan juga citarasa modern,’’ jelas Yudiaryani.
Pada akhirnya kemampuan memahami konsep modern dan unsur-unsur tradisional yang kemudian dikemas dalam sebuah pertunjukan yang utuh dan integral akan mampu menjadi alat solusi berbagai persoalan masyarakat masa kini yaitu mampu meningkatkan apresiasi estetis penonton. Meningkatkan fungsi dan peran kesenian sebagai tuntunan, tatanan dan tontonan. Dengan demikian, seni budaya Melayu Riau sebagai budaya sumber berperan konkret bagi peningkatan kualitas hidup seni budaya Melayu Riau masa kini.

‘’Teater modern berbasis pada seni budaya Melayu Riau diharapkan mampu menunjukkan identitas seni budaya Melayu Riau yang membedakannya dengan seni tradisi di daerah lain yang barangkali dapat disebut sebagai Teater Melayu Riau Modern. Jika ini berhasil, bukankah seni teater tersebut akan memberi sumbangan yang cukup berarti bagi terciptanya ketahanan budaya Indonesia pada umumnya dan budaya Riau pada khususnya,’’ papar Yudiaryani.

Azis Fikri, salah seorang dewan juri Gelora Teater lainnya mengatakan mencipta pertunjukan teater merupakan upaya tranformasi dari naskah drama atau suatu ide menjadi pertunjukan panggung. Tugas seniman adalah memindahkan elemen-elemen naskah, seperti tema, plot, penokohan dan latar cerita menjadi dialog, suasana dan spektakel. ‘’Nah, spektakel itu sendiri adalah pengelolaan kreativitas sutradara, aktor, penata artistik, penata lampu dan pemusik di atas panggung. Artinya tidak mudah bagi seniman untuk menciptakan spektakel panggung karena mereka membutuhkan pemahaman konsep seni dan budaya serta konsep artistik,’’ kata Azis Fikri.

Menilai Gelora Teater tahun ini, menurut Azis yang menarik adalah terkait dengan ide dan gagasan setiap peserta apalagi semangat. Namun demikian perlu pula diperhatikan atau yang menjadi masalah sebagian peserta adalah antara memahami teks dan konteks. Dijelaskannya, banyak peserta yang terjebak pada teks namun lalai pada konteks. Dalam hal ini, misalnya beberapa peserta yang berusaha mengadaptasi naskah. Proses adaptasi tidak hanya berbicara pada tataran kulit saja. Ianya harus dan terkait langsung dengan isi dan keseluruhan naskah, latar belakang, psikologis peran, set artistik dan lain-lain.

‘’Adaptasi naskah dengan latar budaya berbeda belum mampu diwujudkan seniman secara konsisten sehingga kadangkala banyak pertunjukan yang mencerminkan korelasi yang tak jelas antara budaya Melayu Riau dengan naskah drama berbasis budaya Barat, misalnya. Atau pada teks yang berbicara budaya dan tradisi setempat belum pula sepenuhnya mampu diwujudkan dalam konteks kekinian atau modern. Akibatnya pertunjukan belum mampu memotret persoalan masyarakat Melayu Riau secara kemprehensif dan utuh,’’ jelas Azis lagi.

Sementara itu, dewan juri asal Lampung, Imas Sobariah juga mengakui semangat para peserta yang luar biasa dalam Gelora Teater yang ditaja Dewan Kesenian Riau 2013. Bahkan yang juga turut menggembirakan di mana hampir seluruh peserta didominasi para remaja. Namun demikian, ada beberapa kelemahan yang muncul yang kesemua itu mengacu pada persoalan teknis dan proses. Misalnya lemahnya artikulasi atau pola ucap aktor ketika berdialog sehingga pesan tidak terdengar dan terkomunikasikan kepada penonton. Lemahnya penghayatan aktor terhadap karakter tokoh. Belum mampunya sutradara mengelola area-area permainan di atas panggung sehingga komposisi, blocking, garis dan levelling belum tergarap dengan baik. Demikian juga penataan artistik yang belum mampu menampilkan suasana cerita. Bahkan pertunjukan nyaris meniadakan konsep artistik. Panggung gelap hampir terjadi disemua kelompok, baik di awal adegan maupun di antara adegan.

‘’Yang perlu kita ketahui bersama, gaya teater modern atau masa kini, di setiap pergantian adegan tidak perlu gelap tapi cukup remang saja meskipun set harus berganti. Ini diperlukan karena panggung gelap akan memperlambat waktu pertunjukan dan membuat penonton tidak nyaman dan begitu juga dengan musik. Tata musik yang belum maksimal tergarap sehingga mengakibatkan irama pertunjukan tidak terjaga dengan baik,’’ jelas Imas yang juga merupakan petinggi Teater Satu Lampung tersebut.

Keseluruhan persoalan yang ada, diakui dewan juri adalah merupakan hal-hal dasar. Dengan program DKR yang berkelanjutan serta melakukan pembinaan dalam bentuk workshop dan pelatihan serta seminar penulisan naskah drama, penyutradaraan, keaktoran, penataan artistik, penataan musik dan manajemen produksi, semua persoalan akan terjawab. Kecendurangan para peserta yang hampir mampu mengangkat ide dan gagasan dari kekuatan dan kekayaan tradisi Melayu Riau menjadi catatan penting untuk tetap dipertahankan.

‘’Itulah identitasnya, dengan mengenali ide terlebih dahulu kemudian meningkatkan keterampilan serta mampu berbicara terkait dengan konteks kekinian akan menghasilkan bentuk teater Melayu Riau modern,’’ tegas Yudiaryani yang juga selaku ketua dewan juri.

Film Sebagai Media Pendidikan Budaya
Sebanyak tujuh karya film yang masuk ke meja panitia Lomba Film Pendek DKR 2013 diakui ketiga dewan juri, Al Azhar, John De Rantau dan Pradonggo masih relatif minim dibandingkan di provinsi lain untuk festival yang sama. Apalagi jika disandingkan dengan kekayaan ide dan gagasan yang dimiliki Riau. Ide dan gagasan yang dimaksud terkait dengan kekayaan budaya dan tradisi serta petuah-petuah bijak yang sangat beragam di provinsi Riau yang kesemua itu dapat dikemas menjadi pesan dengan menggunakan aspek sinematografi.

Al Azhar, salah seorang dewan juri yang fokus menilai pada tataran nilai-nilai budaya dalam sebuah karya film menyebutkan tujuan pembuatan atau produksi sebuah film yang ideal itu adalah bagaimana film dapat dijadikan sebagai media pendidikan budaya, efektif dikonsumsi orang banyak. Hal ini dapat tercapai jika nilai estetika dan karya film sebagai industri dapat dikawinkan secara bersamaan, tidak berjalan sendiri-sendiri.

‘’Tetapi memang tampaknya bentuk-bentuk sintesis dari tujuan berbeda itu, dalam sejarah film di Indonesia selalu sulit dipertahankan atau tidak pernah stabil. Contohnya ada film yang secara artistik menarik tetapi tidak laku atau tidak ramai diminati atau sebaliknya, film yang artistiknya tidak begitu menarik tetapi sangat ramai diminati,’’ jelas Al Azhar.

Terkait dengan karya yang sudah masuk kepada dewan juri, dikatakan Al Azhar bahwa apa yang telah dihasilkan oleh para pelaku film di Riau ini setidaknya sudah berupaya membuat artefak-artefak dalam bentuk karya film dan akan menjadi sejarah tentunya. Namun perlu pula diperhatikan terlebih dahulu adalah tujuan atau mengapa seseorang atau komunitas membuat film. Dalam konteks kesenian, orang membuat film atas desakan ekspresi. Kehendak menghidangkan ekspresi lewat media tertentu dalam hal ini film. Dan ada pula sebagian komunitas atau seseorang membuat film dengan menempatkan atas apa yang dihasilkan itu menjadi produk yang tentu saja memperoleh imbalan dalam hal ini, industri ataupun festival dan perlombaan.

Di alam Melayu, menurut Al Azhar kedua tujuan itu pernah dapat dicapai. Misalnya film siklus P Ramlee. Pada zamannya bisa mempertemukan kedua hal di atas. Artinya apa yang dimaksud  dengan lokal genius atau syarat lokalitasnya dengan film sebagai industri dapat disandingkan dengan baik.

Al Azhar juga mengatakan sebenarnya nilai-nilai budaya Melayu yang bisa dijadikan ide atau gagasan dalam pembuatan karya film terbentang di alam Melayu Riau ini. Tinggal lagi bagaimana si pengkarya dengan sadar tahu akan kekayaan yang dimiliki. Persoalan yang terjadi saat ini terutama generasi muda sepertinya abai akan nilai-nilai dan filosofis serta petuah-petuah yang dimiliki nenek moyangnya. Generasi muda saat ini seperti orang ‘jalu’, berjalan atau melakukan aktifitas sambil tertidur dalam istilah Al Azhar yaitu posisi logis yang mudah untuk tidak berisiko, posisi liminal atau antara.  

‘’Artinya, ini persoalan percaya diri untuk menetapkan pilihan dan setiap pilihan pasti ada resiko. Ke depan hendaknya berani untuk tegak mantap di bumi kita supaya dengan sadar dan mampu menemukan nilai-nilai budaya yang kita miliki. Jangan pernah  berpikir yang lain itu terbaik, yang baik bagi kita itu adalah apa yang kita ketahui secara inten. Dan ingat, penyatuan kita terhadap tempat kita dibesarkan itu tak ada kuliahnya, kita yang mencari dan menemukan sendiri,’’ jelas Al Azhar.

Dewan juri film pendek lainnya juga menyatakan hal serupa. Pradonggo, praktisi film di Riau menyebutkan kekayaan budaya Melayu Riau banyak sekali yang bisa dipelajari dan dijadikan ide atau gagasan dalam pembuatan film yang menarik. Riau kaya dengan petuah-petuah di mana nilai-nilai dan pesan yang bijak itulah yang seharusnya ditangkap oleh seorang sutradara film atau penulis naskahnya.

Onggo panggilan akrabnya mencontohkan pada opening PON 2012 lalu. Isi atau pesan yang terkandung dalam pementasan secara keseluruhan, melingkupi pertunjukan seni maupun multimedia adalah pesan-pesan bijak yang diangkat dari budaya Melayu. Di sana terlihat sebuah upaya bagaimana menguniversalkan, meringkas puluhan pesan budaya menjadi hanya berdurasi 10 menit. ‘’Inikan bagian dari proses pembuatan sebuah film, mengemas pesan ke dalam frame dalam waktu yang ditentukan,’’ ujar Onggo.

Yang kaya di Riau itu adalah ide dan gagasan cerita terutama dalam aspek kebudayaan. Jadi yang terpenting untuk cinias Riau menurut Onggo buat saja karya, jangan terpengaruh dengan anggapan orang karena tidak ada dikotomi lokal atau pusat. ‘’Biar dianggap orang, kita kecil tapi yang penting menggigit,’’ tegasnya.

Di dalam film setidaknya ada beberapa aspek yang membentuk sebuah pemahaman pesan. Muali dari framing, color, komposisi, camera work, artistik, gestur, dialog, acting hinga tata suara. Semua itu bisa dipelajari dengan mudah. Film menurut John De Rantau adalah sebuah geliat kerisauan seseorang yang dicurahkan melalui dunia visiual.(*6) n

Sumber: Riau Pos, Minggu, 8 Desember 2013

No comments: